DARI tahun 1808 sampai dengan tahun 1902, seluruh wilayah Hindia Belanda (Indonesia) hanya merupakan satu Prefektur Apostolik dan kemudian sejak 1842 meningkat menjadi Vikariat Apostolik.
Lebih tepatnya, tulah keadaannya sejak pertama kali dua misionaris imam praja Belanda yang bernama Jacobus Nellisen Pr (Umur 55 tahun) dan Lambertus Prinsen Pr (umur 29 tahun) tiba di pelabuhan laut Sunda Kelapa di Batavia pada tanggal 4 April 1808 sampai dengan tanggal 22 Desember 1902.
Pada kurun waktu itu, seluruh wilayah Nusantara hanyalah merupakan satu wilayah Gerejani yang disebut Prefektur Apostolik (1808–1842).
Dan kemudian, ketika Mgr. Jacobus Grooff Pr. diangkat menjadi Vikaris Apostolik Batavia, pada tahun1842, statusnya berubah menjadi Vikariat Apostolik Batavia.
Adapun perbedaan antara Prefektur Apostolik dan Vikariat Apostolik ialah bahwa Ordinaris Wilayah atau seorang Pemimpin Gereja Lokal untuk Prefektur Apostolik tidak harus seorang uskup, meskipun yang bersangkutan disapa dengan sebutan Monsinyur; sedangkan Vikariat Apostolik dipimpin oleh seorang Uskup.
Dalam kesatuan wilayah misi itu, dari tahun 1808 sampai dengan tahun 1859 yang berkarya hanyalah para imam praja berkebangsaan Belanda.
Imam dari kongregasi lain dan imam praja dari kebangsaan bukan Belanda dilarang masuk ke wilayah Hindia Belanda yang dikuasai oleh penjajah Belanda.
Para imam diosesan berkebangsaan Belanda itu dianggap sebagai pegawai pemerintah yang harus melayani orang-orang katolik Belanda dan Eropa lainnya. Mereka dilarang untuk mewartakan Injil dan untuk bekerja di antara penduduk pribumi.
Tahun 1859 datanglah dua imam Yesuit yang pertama bernama Pastor Martinus van den Elzen SJ dan Pastor Yohanes Baptis Palinckx SJ. Sejak saat itu, para misionaris Yesuit bekerja di Vikariat Apostolik Batavia yang meliputi seluruh wilayah Nusantara. P
emimpin Gereja Lokal pada waktu para Jesuit datang pertama kali adalah seorang Vikaris Apostolik bernama Pastor Petrus Vrancken Pr. Dan ketika Mgr. Petrus Vrancken Pr memimpin seluruh Vicaris Apostolik Batavia tahun 1847–1874 yang mencakup seluruh wilayah Nusantara, beliau sudah merasakan perlunya pemekaran wilayah gerejani yang terlalu luas.
Mgr. Vrancken pernah membuat usulan ke Roma untuk membagi Vikariat Batavia menjadi 4 wilayah, yaitu:
- Pulau Jawa.
- Daerah Flores dan Nusa Tenggara Barat.
- Maluku dan Sulawesi.
- Sumatera dan Kalimantan.
Namun usaha tersebut tidak pernah direspon oleh Vatikan dan juga mendapat penolakan dari para misionaris Jesuit sendiri dengan alasan untuk tetap mempertahankan kesatuan wilayah misi.
Penolakan dari para misionaris Yesuit disebabkan oleh karena:
- Serikat Yesus masih mampu mengirimkan tenaga misionaris untuk bekerja di Hindia Belanda;
- Untuk tetap menjaga kesatuan wilayah misi supaya koordinasi dan komunikasi di antara para misionaris Yesuit tetap terjalin.
Sebaliknya mengenai tidak adanya respon dari pihak Vatikan tidak diketahui alasannya. Ternyata kemudian, soal pemekaran itu terjadi justru atas ketetapan dari Vatikan sendiri, tanpa perlu diusulkan oleh Vicaris Apostolik pada waktu itu, yakni Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen SJ (1898–1923). Dan ketetapan itu sedikit banyak berkaitan dengan peranan Tarekat MSC yang sudah lebih dahulu hadir bermisi di wilayah Papua New Guinea bagian timur melalui para misionaris MSC dari Perancis.
Dalam arti ini, kita dapat mengatakan bahwa justru berkat Tarekat MSC, Vikariat Apostolik Batavia yang luasnya sama dengan negara Indonesia sekarang ini dapat dimulai pembagiannya karena Vatikan sendiri membentuk sebuah Prefektur Apastolik baru yang dipisahkan dari Vikariat Batavia.
Pemekaran wilayah Prefektur Celebes tahun 1919 ini sebenarnya pemekaran kedua setelah pemekaran pertama pada tahun 1902 didirikan prefektur Apostolik Maluku dan Papua dengan pusatnaya di Langgur, Pulau Kei, dengan nama Prefektur Apostolik Nieuw Guinea.
Ketika pemekaran kedua untuk memisahkan Pulau Sulawesi dari Vikariat Apostolik Batavia terjadi, Mgr. Luypen SJ, sebagai Vikaris Apostolik tinggal menerima dengan senang hati pembagian wilayahnya yang sangat luas itu dan mendapat bantuan tenaga misionaris baru dari Tarekat MSC.
Tarekat–tarekat lain tiba kemudian. Misalnya tahun 1905, Paus Pius X menyerahkan Pulau Kalimantan kepada Ordo Kapusin. Tahun 1911 ordo ini memperluas karya mereka ke Pulau Sumatera dan pulau–pulau di sekitarnya, yaitu Kepulauan Mentawai, Pulau Nias dan sekitarnya.
Tahun 1913 daerah Flores dan Nusa Tenggara diserahkan kepada Tarekat SVD.[1]
Tepatnya pada tanggal 22 Desember 1902 Paus Leo XIII mendirikan Prefektur Apostolik Nieuw Guinea [2] dan menyerahkan wilayah pelayanan Prefektur Apostolik baru ini ke dalam tangan Tarekat MSC.
Romo Rudolph Kurris memberikan keterangan sebagai berikut: “Prefektur Apostolik Nieuw Guinea mencakup juga daerah Maluku Timur. Pelayanan Prefektur baru ini diserahkan kepada Tarekat MSC. Provinsi Perancis dari tarekat tersebut sedang menjalankan misi di Irian Timur, sehingga nama Irian atau Nieuw Guinea sudah tidak terlalu asing bagi anggota MSC Provinsi Belanda.” [3]
Romo Kurris menyebutnya wilayah Maluku Timur.
Pastor Böhm MSC yang lebih tahu tentang keadaan wilayah menyebutnya wilayah Papua. Jadi Prefektur Apostolik itu meliputi wilayah Maluku dan Papua.
Tentang hal ini, Pastor Böhm menyebutkan dalam bukunya bahwa pada tanggal 5 Agustus 1933, Mgr. Johannes Aerts MSC mengirim surat kepada Kardinal di Propaganda Fide bahwa wilayah Maluku dan Papua dipercayakan kepada Tarekat MSC Provinsi Belanda pada tahun 1920 dan ditingkatkan statusnya menjadi Vikariat Apostolik. [4]
Menarik untuk diperhatikan atau hanya kebetulan saja, namun bisa pula dimaknai sebagai penyelenggaraan Tuhan bahwa menurut data di atas, maka tahun 1920 adalah saat berdirinya Vikariat Apostolik Amboina menurut buku dari Pastor Böhm, yang mengutip juga surat permohonan Mgr. J. Aerts MSC yang diajukan kepada Propaganda Fide.
Dan tahun yang sama tersebut adalah saat kedatangan Trio MSC pertama mendarat di Bumi Nyiur Melambai atau Sulawesi Utara pada tanggal 2 September 1920. Namun dekrit penetapan untuk memisahkan Prefektur Apostolik Sulawesi dari Vicatiat Apostolik Batavia sudah dikeluarkan oleh Paus Benedictus XV sejak tanggal 19 November 1919.
PS:
- R. Kurris, Sejarah Katedral Jakarta, Obor, 1992, hlm 140-141.
- Data dari P. C.J. Böhm MSC mengatakan bahwa Propaganda Fide tanggal 22 Desember 1902 telah memisahkan wilayah Maluku dan Papua dari Vikariat Apostolik Batavia dan didirikan sebagai daerah otomon dengan nama Prefektur Apostolik Nederlandsch Nieuw Guinea. (Lihat Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara 1534–2009, Kanisius, 2010, hlm 173.
- R. Kurris, Sejarah Katedral Jakarta, Obor, 1992, hlm 140.
- Böhm MSC, Sejarah Gereja Katolik Maluku Utara 1534–2009, hlm 173.