AKANKAH ada banyak perubahan dalam diri Mgr. Ignatius Suharyo paska pelantikannya bersama 12 Kardinal baru nanti di Vatikan tanggal 5 Oktober 2019 mendatang?
Itu pertanyaan media kepada beliau akan digelar jumpa pers sekitar latar belakang mengapa Indonesia ”diganjar” dengan Kardinal baru, sementara Kardinal lama masih ada.
Terhadap pertanyaan yang mengusik ini, dengan amat taktis dan diplomatis –sangat khas dalam diri Mgr. Ignatius Suharyo—diperoleh jawaban seperti ini.
Jawaban taktis diplomatis
“Saya akan tetap seperti biasa seperti sekarang ini. Bangun pagi, misa, sarapan dan bekerja bersama-sama dan dibantu oleh anggota Kuria menjalankan pekerjaan saya sebagai pemimpin Gereja Katolik Lokal (baca: Keuskupan Agung KAJ) dan juga lain-lainnya,” jawab Mgr. Ignatius Suharyo.
“Nah, kalau sebagai Kardinal, maka kalau ada peristiwa-peristiwa penting –misalnya ada perayaan besar di Keuskupan Agats di Papua atau di Keuskupan Amboina di Maluku—maka saya wajib hadir, datang untuk melihatnya,” tambahnya.
Sekilas, pernyataan itu memang terdengar “sangat biasa”.
Namun, sejatinya itu menyiratkan bahwa sebagai Kardinal nanti, maka Mgr. Ignatius Suharyo pasti juga akan berperan penting manakala Vatikan meminta pendapat-pendapatnya atau saran terhadap berbagai “masalah” atau “persoalan” yang tengah menimpa sejumlah Keuskupan di Indonesia.
Sekarang ini, sejumlah Keuskupan di Indonesia perlu mendapat perhatian khusus yakni:
- Keuskupan Sibolga di Provinsi Sumatera Utara: Tidak ada Uskup, paska meninggalkan Mgr. Ludovicus Simanullang OFMCap.
- Keuskupan Agung Merauke di Provinsi Papua: tidak punya Uskup, lantaran Mgr. Nicolaus Adi Seputra MSC disuruh menjalani program bina diri yang sering disebut ongoing formation. Tata kelola pemerintahan gerejawi Keuskupan Agung Merauke kini ditangani oleh Mgr. Petrus Canisius Mandagi MSC dalam kapasitasnya sebagai Administrator Apostolik (baca: Vatikan). Mgr. PC Mandagi MSC adalah Uskup Keuskupan Amboina (bukan “Ambonia”) dan pernah menjabat Provinsial Tarekat Imam Hati Kudus (MSC).
- Keuskupan Ruteng di Flores, NTT: tidak ada Uskup, pasla pengunduran diri Mgr. Hubert Leteng. Tata kelola pemerintahan gerejawi di Keuskupan Ruteng kini ditangani oleh Mgr. Sylvester San dalam kapasitasnya sebagai Administrator Apostolik. Mgr. San adalah Uskup Keuskupan Denpasar.
- Keuskupan Sorong-Manokwari di Papua Barat: terjadi friksi sosial di kalangan Umat Katolik paska perselisihan yang melibatkan dua imam diosesan lokal di Keuskupan ini.
- Keuskupan Timika di Papua: tidak punya Uskup, paska meninggalnya Mgr. John Philip Saklil. Kini, tata kelola pemerintahan gerejawi ditangani oleh Vikjen Keuskupan Timika Romo Marthen Kuayo Pr dalam kapasitasnya sebagai Administrator Keuskupan.
Itulah barangkali beberapa “tugas” tambahan yang mungkin akan melibatkan Mgr. Ignatius Suharyo sebagai Kardinal yang ikut memberi perhatian khusus dan kemudian ikut membereskan atau menyelesaikannya.
Itu urusan “dalam negeri” Gereja Katolik Indonesia.
Untuk urusan “internasional” Gereja Katolik Semesta, demikian penjelasan Mgr. Ignatius Suharyo, setiap Kardinal harus “siap grak” berangkat ke Vatikan menjawab “panggilan” Bapa Suci.
Siapa pun itu orangnya, maka Kardinal bisa sewaktu-waktu dipanggil Paus untuk diajak berembug bersama, diminta saran dan nasehatnya untuk menjaga kepentingan tata kelola reksa pastoral atau menjawab tantangan zaman.
Catatan penting
Terhadap keterangan di atas yang memang tidak dijelaskan secara gamblang di hadapan media massa, Mgr. Ignatius Suharyo memberi catatan penting.
Ini agar konteksnya jelas, tidak melebar ke mana-mana dan meletakkan konteks itu pada proporsinya.
“Saya tentu harus berangkat ke Vatikan, kalau memang Paus memanggil saya untuk berangkat ke sana,” terang beliau.
“Kardinal itu bukan superior atau atasan Uskup. Pemimpin Gereja Katolik Lokal yang bernama Keuskupan adalah Uskup,” paparnya.
“Lain halnya kalau Uskup itu juga seorang Kardinal. Ia memimpin Keuskupan dalam kapasitasnya sebagai Uskup, bukan Kardinal,” jelasnya.
“Karena itu, tidak setiap negara punya Kardinal. Bahkan negara dengan jumlah penduduk umat Katolik sangat kecil pun bisa punya Kardinal seperti yang terjadi dengan Kardinal Charles Maung Bo dari Myanmar,” tegasnya.
Sebenarnya, sejumlah media ingin menanyakan apakah dalam kapasitasnya sebagai Kardinal nanti, Mgr. Ignatius Suharyo akan bersikap tegas dan “galak” terhadap para imam atau bahkan Uskup yang tidak berperilaku sepatutnya.
Namun, pertanyaan itu seperti tersekat di masing-masing tenggorokan wartawan Katolik, sehingga pertanyaan “nakal” itu tidak sempat terartikulasikan.
Dan –seperti biasanya—Mgr. Ignatius Suharyo pun sangat “lincah” menjawab pertanyaan yang sedikit banyak terkesan akan “mengarah ke arah sana”.
Beliau cukup mengatakan hanya komentar ini: ”Sebagai Kardinal nanti, saya akan banyak ‘jalan-jalan’ keluar wilayah KAJ.”
Beliau lalu menyebut Keuskupan Agats di Papua dan Keuskupan Amboina sebagai ilustrasi saja. Kedua Keuskupan ini sekarang “adem ayem” saja. Bisa jadi, beliau mungkin saja memang tidak mau menyebut nama Keuskupan-keuskupan lain yang lagi punya perlu mendapat perhatian khusus atau mengalami masalah.
Bukan fungsi kerja
Catatan penting lainnya adalah keterangan bahwa Kardinal itu hanyalah “status kehormatan”, bukan sebuah fungsi kerja.
Kalau pun mesti menyebut sebuah “fungsi kerja” seperti yang akan dilakoninya nanti sebagai Kardinal, demikian Mgr. Suharyo, maka hal itu sebatas memberi saran atau pertimbangan.
Sekali lagi, itu pun kalau memang diminta Vatikan.
Status Kardinal Mgr. Suharyo adalah Kardinal Uskup. Ini agak beda dengan status Kardinal Diakon yang sehari-harinya menjalani fungsi kerja sebagai “kepala kantor” lembaga-lembaga kepausan di Roma.
Menjadi Kardinal juga bukan “karena” tahbisan. Tidak ada yang namanya Tahbisan Kardinal, melainkan pengangkatan.
Tahbisan hanya ada tiga kategori: Tahbisan Diakonat, Tahbisan Imamat, dan Tahbisan Uskup.
Menjadi Kardinal tidak harus “melewati” jalur Tahbisan Uskup. Tapi haruslah seorang imam. Dengan demikian, Kardinal itu pasti sudah menerima Tahbisan Diakon dan Tahbisan Imamat atau Sakramen Imamat.
Kardinal bisa memilih dan dipilih jadi Paus, asalkan umurnya belum mencapai 80 tahun.
Kalau ada Kardinal Diakon terpilih menjadi Paus –padahal belum pernah jadi Uskup—maka dia harus ditahbiskan “menjadi Uskup” melalui Tahbisan Episkopal atau Tahbisan Uskup. (Selesai)