KEADAAN negeri kita yang terjadi hari-hari ini penuh dengan gelombang protes, mulai dari soal rasis di Papua, kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan sampai pada soal revisi UU KPK dan KUHP.
Jika sebelumnya “istana raja” diberi “makan” pujian oleh penggemar dan pendukungnya, maka kini malah berbalik arah.
Pujian para penggemar dan pendukung mayoritas sebelumnya memang membuat penguasa menjadi “kegemukan”.
Dan memang kekuasaan itu, bila tidak disertai dengan menu “kritik oposisi dan autokritik”, maka penguasanya cenderung menjadi “gemuk”, nyaman dan keenakan.
Dampaknya? Dialog dan budaya baca di “istana kerajaan” sebagai tanda kritis, mati ditelan “obesitas” kekuasaan.
Mengapa? Karena di dalam sana, pendukungnya sibuk memikirkan bagi-bagi jatah proyek, kursi dan kekuasaan. Rakyatnya sebagai pemberi mandat menjadi terlantar tak terawat.
Dan dalam banyak sejarah kekuasan di dunia demokrasi, tirani, otoritarian, ketidakadilan dan kemiskinan berangkat dari sana semua. Tatkala kritik oposisi waras muncul di publik, warga pendukung istana malah bilang, tukang sirik, nyinyir, tidak puas, pengganggu, dan semacamnya.
Boleh dong kita bertanya? Betulkah kritik itu hanya semata-mata sebagai ungkapan keirihatian dan ketidaksukaan oposisi kepada mereka yang sedang berkuasa?Bukankah kritik oposisi itu berfungsi sebagai alarm untuk mengingatkan penguasa supaya bertindak bijak dan jujur?
Entahlah.
Bacaan Injil hari ini mengisahkan kegelisaan Raja Herodes atas munculnya isu yang beredar di istana kerajaan yang mengatakan bahwa ada “Orang Waras dan Jujur” yang akan muncul di publik.
Sebagai penguasa, dia panik dan cemas. Mengapa?
Karena Yesus sebagai Tuhan adalah seorang oposisi tulen yang tidak takut menyuarakan kebenaran dan kejujuran di ruang publik. Dia tidak bisa didikte dan tidak bisa kongkalikong dengan mafia kekuasaan.
Sikap keberanian Yesus untuk mengatakan yang sebenarnya ini, menjadi alasan rasa panik dan cemas bagi penguasa Herodes dan kroni-kroninya.
Dia panik karena takut aib busuk dan rahasia kebijakan dapur pemerintahannya terbuka dan diketahui publik.
Orang bijak berkata, “Kalau kekuasaan itu dibumbui pencitraan, kemunafikan dan diselubungi isu-isu dan opini-opini yang baik di depannya. Dan itu semua sengaja dibuat demi menjaga rahasia dapur penguasa dan kroni-kroninya, maka lambat laun akan tertangkap oleh fakta”.
Makanya, kalau kamu suka akan takhta dan tongkat kerajaan, maka hargailah kebijaksanaan, hai para penguasa bangsa, agar kamu menjadi raja selama-lamanya” (Keb 6:21).
Bila tidak, demonstrasi dan gelombang protes akan membututimu. Dan orang waras tidak lagi akan menggunakan ruang kelas untuk mengkritikmu dan memberimu kuliah, melainkan mereka akan menggunakan fasilitas jalan-jalan umum untuk menguliahimu.
Apa itu tidak memalukan?
Renungan: “Besarnya jumlah orang bijak menjadi keselamatan dunia semesta, dan raja yang arif merupakan kesejahteraan rakyatnya”. (Keb 6:24)
Tuhan memberkati.
Apau Kayan, 26.9.2019