Tahun C-1. Pekan Biasa XXVI. SP. Maria, Ratu Rosario.
Senin, 7 Oktober 2019.
Bacaan: Yun 1:1-17;2:10; Yun 2:2.3.4.5.6.8; Luk 10:25-37.
Renungan:
PERUTUSAN Allah untuk mempertobatkan orang Ninive tidak “matching” dengan pikiran dan perasaan Yunus. Pertimbangan ini nampaknya adalah pertimbangan “hari nurani” tetapi sebenarnya bukani, tetapi karena ia pengalaman sakit hati atas kehancuran Yehuda karena perlakuan Babel dan Babel pantas mendapatkan penghukuman. Dengan pertimbangan “hati nurani” versi Yunus itulah, ia mengambil keputusan sendiri untuk lari dari tanggungjawab perutusan. Ia “tertidur” dan “merasa tidak ada apa-apa” sebagai tanda bahwa ia masuk dalam kepuasaan dan kedamaian semu; karena de fakto nyawanya terancam dan karena tindakannya orang-orang yang di sekitarnya terancam. Tuhan selalu punya cara bagi Yusuf untuk menundukkan pikiran dan perasaannya sendiri dan mengambil tanggungjawab untuk melaksanakan kehendak Allah.
Kisah Yunus dapat mencari cermin dari kisah kita yang kadang mudah lari dari tanggungjawab dengan mengatasnamakan “hati nurani” yang sebenarnya lebih didorong oleh pikiran dan perasaan kita yang tidak sesuai dengan tanggungjawab kita. Hal ini terjadi dalam penerimaan kita atas perutusan tarekat dan tugas perutusan kita dalam komunitas hidup menggereja. Cocok dan tidak cocok, senang dan tidak senang, kita jadikan alasan untuk melepas tanggungjawab. Kita menentukan ukuran kemampuan kita sendiri dan merasa berhak untuk menolak baik secara halus atapun terus terang dengan alasan “hati nurani saya mengatakan”. Kita melupakan bahwa dibalik perutusan yang kita terima itu adalah perutusan Tuhan. Ketidakmampuan atau maukan kita memikul tanggungjawab perutusan Allah itu merugikan dan membahayakan hidup iman orang-orang lain atau umat yang kita layani. Kita berdosa terhadap Tuhan dan terhadap gereja.
Perutusan Yunus menjadi pembelajaran kita untuk memprioritaskan perutusan Allah diatas pikiran dan perasaan senang dan tidak senang kita sendiri. Justru perutusan Allah itu menjadi kesempatan kita untuk mendewasakan diri kita sendiri, menundukkan pikiran dan perasaan kita dan melatih kita untuk discernment dengan hati yang jernis. Ketika Tuhan mengutus, Ia tidak hanya berpikir mengenai kebaikan dan keselamatan umat yang kita layani; tetapi Ia juga berpikir akan kebaikan dan keselamatan hidup kita sebagai pribadi yang diutus.
Kontemplasi:
Gambarkan bagaimana Yunus terbelokkan dalam perutusan karena discernment pribadinya yang didasarkan pada keputusan ‘hati nurani” yang semu. Dan gambarkan bagaimana akibatnya bagi dia dan orang di sekitarnya.
Refleksi:
Apakah aku menjalankan tanggungjawab perutusanku baik sebagai seorang imam/religius atau anggota komunitas gerejawi dengan sungguh-sungguh? Apakah aku menempatkan kehendak dan rencana Tuhan di atas pikiran dan perasaanku sendiri?
Doa:
Ya Bapa, semoga kami belajar untuk taat dan mengemban tanggungjawab dengan sungguh-sungguh dalam setiap tugas perutusan yang dipercayakan kepadaku.
Perutusan:
Terima dan laksanakan tugas perutusan dan tanggungjawab Allah dan Gereja dengan sungguh-sungguh.
(Morist MSF)- www.misafajava.org
Kredit foto: Ilustrasi (Ist)