Waktu menginap di Hotel Nayak Wamena, Papua pada Maret 2011, saya tidak bisa tidur nyenyak. Di Jalan tepat depan Bandara, terdengar orang berteriak-teriak. Kemudian saya bertanya kepada seorang karyawan hotel yang kebetulan orang Manado dan jawabannya adalah karena orang itu banyak minum air kata-kata. Air kata-kata dalam bahasa Manado adalah minuman keras, yang bisa membuat orang berkata-kata sembarangan, yah karena mabuk itu.
Peristiwa besar terjadi karena adanya perkataan. Dari kejadian yang saleh seperti mendirikan lembaga amal sampai peristiwa yang keji, seperti pembunuhan, dimulai dari perkataan. Namun, ada juga suatu tindakan sadis yang tidak dimulai dengan berkata dengan orang lain, Marquis de Sade misalnya.
Marquis de Sade (1740-1814) penulis Prancis ini memulai kegiatan sadisnya dengan berkata-kata dengan dirinya sendiri dalam bentuk tulisan. Dalam film yang berjudul Quills dilukiskan bagaimana sang filsuf dan sastrawan kelahiran Paris, yaitu Marquis de Sade (1740 – 1814) dengan gigih membuka tabir dalam diri manusia yang pada dasarnya memiliki sifat suka menyakiti orang lain. Dari sanalah muncul istilah yang akrab dengan telinga kita yaitu sadisme. Kesadisan yang dibuat oleh si de Sade ini tidak dengan kata-kata.
Tindak kejahatan besar seperti pemboman, perampokan, pembunuhan, senantiasa diprakarsai dengan perkataan dari kelompok kecil yang dalam istilah politiknya disebut sebagai konspirasi. Pembunuhan Julius Caesar (100 – 44 SM) yang terjadi pada pertengahan Maret, yakni 15 Maret 44 karena ditusuk hingga mati oleh Marcus Junius Brutus (85 – 42 SM).
Peristiwa ini terjadi karena adanya perkataan yang mengarah pada perundingan (conspiration) dari Marcus Brutus, Cassius, Casca, Trebonius, Ligarius, Decius Brutus dan Metellus Cimmber. Maka apa yang dikatakan oleh Yohanes, penulis Injil yang keempat bahwa “pada mulanya adalah Firman” (Yoh 1: 1 a) itu memang benar sekali.
Bukankah perang yang dikutuk oleh umat manusia itu pada mulanya adalah perkataan. Rajagopalachari dalam Mahabharata, menulis, “Kalau pada waktu itu, Doryudana, putra mahkota Astina rela mendengarkan apa yang dikatakan oleh Kresna, sang duta perdamaian, tentu tidak akan terjadi perang Mahabharata yang mengerikan itu.”
Homerus (± VIII s.M) dalam The Illiad, menulis, Perang Troya tidak akan terjadi, jika ayah Paris yang bernama Raja Priamus itu mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Kasandra, sang nujum yang juga adalah putrinya. Istilah Jawa, “Sabda pandita ratu” yang artinya apa yang dikatakan sang raja akan menentukan nasib rakyatnya itu, hendak menunjukkan bahwa perkataan sang raja begitu besar pengaruhnya bagi banyak orang.
Banyak tokoh politik dunia yang konon dikatakan belum sempurna jika belum membaca buku karya Bung Karno (1901 – 1970), yang disebut “singa podium” itu. Dalam kesempatan sebuah seminar yang diadakan oleh Sema Hima STF Seminari Pineleng, Manado tahun 90-an, Franz Magnis Susena juga termotivasi salah satunya karena tertarik dengan kehadiran Bung Karno dalam panggung politik.
Perkataannya dan pidatonya yang penuh wibawa itu menggelegar dan menggoncang dunia, sehingga Indonesia pernah disegani oleh negara-negara lain.
bersambung
Air Kata-kata (1) | SESAWI.NET