Sebaliknya, orang yang diam seringkali menimbulkan banyak penafsiran dan membuat takut bagi lawan politiknya. Ketika Megawati diam dan “no comment”, maka di Harian Kompas, pernah muncul artikel yang berjudul, Mega, Berbicaralah.
Kalau menghadapi suasana yang chaos, memang tepat jika bersikap diam. Ketika Socrates ( 469 – 399 SM) hendak dieksekusi, para muridnya membujuknya supaya mengalah saja dan mengaku kalah, tetapi ia tetap diam dan bergeming.
Dalam dunia politik juga ada istilah peniup peluit (whistle-blower) Orang yang sebagai juru kunci seperti Mohammad Nazaruddin atau Nunun Nurbaeti, apa yang muncul dari bibirnya adalah sebuah kata magis. Siulan, kicauannya dan kata-katanya ditunggu-tunggu dan dinanti-nantikan serta bernilai milyaran rupiah.
Tetapi ingat bahwa jika kata-kata itu tidak lagi memiliki nilai: berdemo, dan berkata-kata di depan istana dan di depan gedung DPR ternyata kata-kata itu pun tidak dihiraukan. Kata-kata itu bagaikan suara di padang gurun.
Berbagai kalangan dibuat terperangah dan terenyak atas kasus bakar diri mahasiswa Sondang Hutagulung di depan Istana Negara. Reaksi terperangah bertambah karena bakar diri tidak dikenal sebagai ekspresi perjuangan politik dalam sejarah Indonesia merdeka. Tindakan bakar diri juga tidak mempunyai akar budaya di Nusantara.
Kata-kata sudah kehilangan daya persuasi untuk mendorong pejabat pemerintah mengungkapkan kasus kematian Munir, peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti dan kasus orang-orang hilang (Kompas dalam Tajuk Rencana, 12 Desember 2011).
Peristiwa ini bisa disejajarkan dengan tindakan mepe, (berjemur) di alun-alun kerajaan Majapahit pada zaman itu. Sidharta Buda Gautama (563 – 483 SM) pernah berkata bahwa peristiwa yang membela kebenaran itu paling tidak bisa membuat masyarakat menjadi “sadar”.
Sadar bahwa tidak ada ketidakadilan, korupsi, serta HAM diabaikan. Kata-kata Sondang tidak seperti orang yang bersuara di padang gurun, melainkan tetap hidup menjadi refleksi kita. bersambung