Hari Minggu Biasa XXX 27 Oktober 2019; Warna Liturgi Hijau Bacaan Injil: Lukas 18:9-14
DALAM kunjungannya di Mozambique pada awal Oktober 2019 lalu, Paus Fransiskus menyempatkan diri mengadakan audiensi dengan sekitar 20-an orang Jesuit di Maputo.
Dalam audiensi itu, Paus menyampaikan kepada koleganya demikian: “My election as pope did not convert me suddenly so as to make me less sinful than before. I am and I remain a sinner. That’s why I confess every two weeks”.
Paus Fransiskus mengatakan bahwa dengan terpilihnya dia menjadi seorang Paus tidak lantas membuat dirinya berkurang dosanya dibandingkan sebelum menjadi Paus.
Ia mengakui bahwa dirinya seorang pendosa dan masih berdosa. Untuk itulah ia rutin mengaku dosa setiap dua pekan sekali.
Pernyataan Paus Fransiskus ini sejalan dengan amanatnya sendiri yang disampaikan kepada Serikat Jesus pada bulan September 2014 saat memperingati 200 tahun Restorasi Ordo tersebut.
Paus mengatakan berikut ini: “Recognizing oneself as a sinner, really recognizing oneself as a sinner, means putting oneself in the correct attitude to receive consolation”.
Dengan mengenali dan menyadari diri bahwa ia seorang pendosa, berarti seseorang menempatkan dirinya dalam posisi/sikap yang tepat di hadapan Allah untuk menerima penghiburan.
Pater Jenderal ke-19 SJ
Dalam kesempatan itu, Paus mengajak para Jesuit meneladani Pater Lorenzo Ricci SJ (Superior Jenderal ke 19).
Ketika itu Jesuit ditolak, diusir dan dikejar-kejar hampir di banyak tempat di Eropa. Pada 17 Agustus 1773, satu hari setelah bulla “Dominus Ac Redemptor Noster” dipromulgasi di Roma, Pater Ricci ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara di Kastil Sant’Angelo, Roma.
Di sana ia mendekam selama dua tahun, dilarang menerima tamu bahkan untuk merayakan misa sekali pun.
Dalam masa sulit nan suram ini, Pater Ricci bukannya meratapi diri sebagai korban sejarah. Akan tetapi di hadapan Allah, dalam proses discernment yang ia jalani, ia melihat dan menyadari bahwa dirinya seorang pendosa.
Memang pada akhirnya ia wafat di dalam tahanan pada bulan November 1775. Namun ia meninggalkan warisan spiritual yang sangat bernilai kepada para Jesuit penerusnya melalui surat-surat yang ia tulis selama mendekam di penjara.
Yaitu pengalamannya dalam menjalani masa sulit nan suram selama di situ berikut berbagai perlakuan buruk yang ia terima.
Sosok kontradiktif
Dalam bacaan Injil hari minggu ini, Yesus menyodorkan dua sosok yang saling kontradiktif satu sama lain.
Yang satu adalah seorang Farisi, yang satunya adalah seorang pemungut cukai. Keduanya hadir bersama-sama di Bait Allah untuk beribadah.
Yesus menilai sikap pemungut cukai itulah yang tepat dan seharusnya diteladani ketika berada di hadapan Allah. Dengan jujur ikhlas dan rendah hati, si pemungut cukai menyadari dan mengakui di hadapan Allah bahwa ia seorang pendosa.
Oleh karena sikapnya di hadapan Allah inilah, maka ia menerima penghiburan, yaitu : “pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah” (Luk 18:14a).
Sedang orang Farisi yang membanggakan diri di hadapan Allah seraya menyebut-nyebut pencapaian hidup religiusnya (seolah itu tercapai atas usahanya semata-mata sehingga merasa berhak menghakimi hidup religius sesamanya), justru dianggap sebagai orang yang tidak benar. Oleh karena itu maka orang Farisi itu “akan direndahkan”.