Waktu saya berlibur di kampung halaman, Desa Playen Wonosari, Gunung Kidul, saya sempat meminta mbok Ngadirah menyeterikakan kemejaku yang lusuh.
Mbok Ngadirah yang adalah pembantu setia keluargaku kemudian mulai membakar arang. Setelah beberapa saat, saya baru sadar ternyata mbok Ngadirah ini menyeterika pakai seterika jadul (Jaman Dulu). Kemudian saya bertanya, “Kenapa mbok tidak menggunakan seterika yang ini (listrik)?”
jawabnya dengan polos, “Walah le, seterika ini lebih mantep, abot dan bagus dan saya sudah senang pake ini!”
Ini adalah pengalaman comfort zone. Orang yang sudah merasa nyaman dan aman dengan dirinya akan sulit dan (bahkan) tidak mau keluar atau hengkang dari kenyamanan tersebut.
Tommy Siawira dalam Blueprint Kesuksesan mengatakan bahwa musuh terbesar dari seorang pemenang adalah comfort zone. Karena seseorang yang terjebak di dalamnya akan merasa nyaman sehingga membuatnya enggan untuk beranjak dan pindah ke keadaan yang baru.
Manusia memang mudah terbuai dengan comfort zone dan melupakan hal-hal penting yang seharusnya dilakukan. Buku tebal warna hijau berjudul Mao Zedong, juga hendak memperlihatkan rasa nyaman yang dialami oleh Mao Zedong (1893-1976) tersebut.
Jika hendak mengadakan meeting, ia tidak berpakaian resmi, tetapi hanya memakai piyama saja. Ia mengundang para dewannya mengelilingi tempat tidurnya. Dari sana lah, Mao memimpin rapat. Dan katanya, ide-ide meluncur dengan cepat, ketika badan dan jiwanya terasa nyaman.
Good is not enough
Dalam bahasa motivasi, ada istilah good is not enough, yang berarti: baik saja tidak cukup. Seseorang berusaha meninggalkan hal yang dianggap sudah baik dan beranjak ke lebih baik lagi, agung dan mulia. Good to great!! Hidup di atas rata-rata, yang dalam bahasa Injil sebagai pemberian diri lebih (extra mile), merupakan sikap yang melawan rasa kenyamanan.
Yesus bersabda, “Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat 5: 40 – 41).
Dalam kisah Gunung Tabor, juga hendak memperlihatkan bahwa Yesus hendak meretas rasa nyaman. Petrus berkata kepada-Nya, “Guru betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Eli” (Luk 9: 33).
Tabernaculum, kemah, papan merupakan tempat yang nyaman, apalagi tempatnya di atas gunung tentu amat sejuk dan semilir dan membuat orang ingin tidur dan bermalas-malasan. Tetapi rupanya Yesus tidak mau berlama-lama di atas gunung “madeg pandhita ratu” melainkan harus turba (turun ke bawah) ke Yerusalem.
Ia membongkar kemah sebagai simbol kenyamanan dan menghadapi dunia yang penuh intrik-konspirasi-korupsi di Yerusalem. Taruhannya adalah nyawa-Nya sendiri.
Andre Wongso dalam Audio Book, bercerita tentang Si Raja Elang. Burung ini ketika anak-anak sudah mulai remaja, sangkarnya diobrak-abrik dan ini memaksa anak-anak ini supaya tidak krasan lantas mau tidak mau harus terbang, meskipun bulu-bulu sayapnya belum begitu kuat.
Dan seandainya anak-anak itu tidak kuat, langsung induk turun dan mengangkat anaknya dalam kepaknya. Kita bisa belajar dari sana. bersambung