Film “The Great War”, Saling Bunuh Sebelum Perang Dunia I Resmi Berakhir

0
3,028 views
Ilustrasi: Kejamnya perang dan gamangnya manusia menghadapi medan laga dalam film epik Perang Dunia I "The Great War" (Ist)

TIDAK ada kata “tidak” bagi seorang serdadu, ketika dihadapkan pada perintah komandan. Kata “siap” harus selalu meluncur dari mulutnya.

Atas nama ketaatan kepada perintah komandan, maka kata “siap” itu harus mampu menaklukkan ringkihnya fisik dan gemetarnya rasa karena traumatik melihat anak buahnya jadi santapan mesin mitralyur pasukan Jerman.

Gamang terhadap perang

Itulah yang terjadi pada Kapten William Rivers (Bates Wilder). Di tengah kegamangan menghadapi ganasnya Perang Dunia I, ia hanya bisa “menghangatkan” dan menghibur diri dengan sebatang cerutu.

Perancis menjadi medan perang bagi pasukan AS pimpinannya menghadapi gempuran artileri dan senapa mesin caliber besar pasukan Jerman. Nun jauh di sana Jenderal Pershing (Ron Perlman) dan Kolonel Jack Morison (Billy Zane) dengan mudahnya menyuruh peleton Rivers maju ke belakang garis pertahanan musuh.

Kapten Rivers memerintahkan pasukannya tetap bertahan memperebutkan bukit strategis dari penyerbuan tentara Jerman dalam Perang Dunia I. (Ist)

Pasukan “berwarna”

Tujuan satu, yakni menyelamatkan dan membawa pulang pasukan “Red Platoon” –nama bernada ejekan untuk menyebut pasukan kulit hitam yang saat itu terjebak dalam jangkauan tembak pasukan Jerman.

Saat itu pula, isu rasisme ikut melanda pasukan AS yang didominasi oleh serdadu kulit putih. Sedangkan para serdadu “kulit berwarna hitam” dikisahkan telah menjadi warga kelas dua. Tidak hanya di masyarakat Amerika.

Namun juga di medan perang. Utamanya di kancah Perang Dunia I di mana Perancis saling intai dan intip dengan pasukan Jerman untuk mengusai kawasan bukit strategis yang memisahkan garis batas negara.

Maju tak gentar melawan musuh, namun gamang mengalahkan kerisauan diri. (ist)

Taat pada perintah

Kapten Rivers tak mau terjebak dalam dikhotomi tersebut. Ia tetap berangkat ke medan laga. Membawa hanya sedikit orang yang loyal kepada misi penyelamatkan kompi “berwarna”.

Tak disangka, di medan perang di perbatasan Perancis-Jerman itu, para tentara “berwarna” itu punya nyali besar untuk menyelesaikan perang. Meski hanya beberapa jam, sebelum “detik akhir” ketika Perang Dunia I itu resmi berakhir.

Di meja perundingan, Jerman dan Sekutu sepakat mengakhiri perang. Di medan laga, Kapten Rivers tetap bergeming menggelorakan semangat perang melawan pasukan Jerman.

Di ujung cerita, Kapten Rivers mati tertusuk banyonet musuh. Ia gugur di tengah kawanan pasukan Amerika yang kini tidak ada lagi batas “rasisme” antara pasukan “putih” dan “berwarna”.

Menyelamatkan pasukan “berwarna” dari sergapan tentara Jerman adalah misi Kapten Rivers yang berujung pada kematiannya. (Ist)

Perang tak “berwajah” kemanusiaan

Sekilas pintas, film The Great War (2019) ini mengingatkan kisah pada epik film perang senada Saving Private Ryan. Misinya sama, tapi konteks cerita berbeda.

Ini Perang Dunia I, sedangkan Saving Private Ryan berkisah tentang Perang Dunia II.

Namun, kedua film perang ini mengisahkan satu hal sama.

Manusia gentar melihat kekejam perang lantaran kepentingan politik global. Kemanusiaan di ujung tombak banyonet. Kegamangan manusia akan perang terukir dalam getaran jiwa yang mulai gemetar setiap kali dentuman meriam datang memekakkan telinga.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here