Pengamat hukum dari Universitas Narotama (Unnar) Surabaya Rusdianto SH MH mengusulkan perlunya ada kajian tentang efektivitas hukuman mati untuk kasus narkoba terkait kasus “sopir maut” Apriani Susanti (29).
“Saya setuju ada hukuman mati untuk kasus narkoba untuk pencegahan, tapi perlu ada kajian dulu terkait efektivitasnya, karena kalau dihukum mati, tapi kasus narkoba tidak berkurang, tentu tidak efektif,” katanya kepada ANTARA di Surabaya, Senin.
Ia mengemukakan hal itu menanggapi kasus “sopir maut”, Apriani Susanti, yang menewaskan sembilan orang dan melukai tiga orang lainnya dalam tabrakan maut di dekat Tugu Tani, Jakarta Pusat, Minggu (22/1).
Kecelakaan itu terjadi pascapesta ekstasi yang dilakukan Apriani bersama tiga temannya, yakni Adistria Putri Grani (26), Deny Mulyana (30), dan Arisendi (34), sehingga keempat tersangka dijerat Pasal 112 juncto Pasal 132 subsider Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman penjara 4-12 tahun.
Menurut Rusdianto yang ahli Hukum Administrasi Negara dan Hukum Tata Negara itu, hukuman itu bertujuan mengurangi kasus pidana dan memperbaiki pelaku pidana.
“Kalau hukuman mati tidak mengurangi kasus narkoba, maka hukuman yang perlu diberlakukan sebaiknya diarahkan untuk memperbaiki tersangka narkoba,” katanya.
Namun, ia sepakat dengan UU 35/2009 tentang Narkotika yang menjatuhkan hukuman rehabilitasi untuk pengguna narkoba, sedangkan hukuman penjara diberlakukan untuk pengedar dan bandar narkoba. Pengguna itu korban, bukan pelaku, karena itu hukuman untuknya harus hukuman yang memperbaiki,” katanya.
Alumni Universitas Mataram Lombok (S1) dan Universitas Airlangga Surabaya (S2) serta pernah studi di Australia semasa SMA itu menjelaskan efektivitas hukum itu tidak hanya ditentukan sanksi hukuman, namun juga ditentukan kultur hukum dan sarana penegakan hukum.
“Misalnya, kasus suap harus ada budaya anti-suap antara pelaku dan penerima, sebab kalau penerima sudah anti-suap tapi kalau masyarakat sebagai pelaku belum anti-suap dan masih suka jalan pinta tentu tidak akan efektif. Sarana penegakan hukum juga penting agar tidak terjadi sumbangan Freeport itu,” katanya.
Secara terpisah, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Jatim, Otto Bambang Wahyudi, menilai program diversi di Australia yang efektif untuk mengurangi kasus narkoba itu tidak menghilangkan proses penegakan hukum, karena bandar dan pengedar juga perlu dijerat secara hukum.
“Tapi, untuk pecandu atau pengguna narkoba, proses hukum perlu diarahkan pada pengalihan ke program rehabilitasi, seperti di Australia. Penangkapan pelaku narkoba tetap ada, tapi bukan dipenjara bila pengguna, melainkan ke lembaga rehabilitasi,” katanya.