Pastor Herman Josef Stahlhacke MSF: Batal Jadi Tukang Cukur, Malah Jadi Imam Peletak Misi di Kalteng (1)

0
497 views
Para imam MSF misionaris dari Provinsi MSF Jerman. (Dok MSF Kalimantan)

PANGGILAN itu datang tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk menjadi seorang imam, apalagi seorang misionaris di negeri orang.

Tetapi siapa kira, benih itu ternyata tumbuh perlahan-lahan dalam dirinya. Dia memang suka membaca tulisan-tulisan dalam sebuah Majalah Misi bulanan yang menumpuk di rumahnya. Namun tidak ada kesimpulan bahwa ada suara yang memanggilnya.

Suara itu terus menggema dalam senyap, mengalun lembut tanpa disadari. Hingga suatu ketika, mengetahui bahwa seorang teman ingin menjadi imam, dia sontak bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa saya tidak ikut mencoba? Apakah saya lebih jelek dari dia?”

Begitulah awal mula kisah panggilan imamat Pastor Herman Josef Stahlhacke MSF, seorang imam misionaris Jerman yang ikut merintis perkembangan agama Katolik di Kalimantan Tengah.

Pengin jadi tukang cukur

Herman, begitu sapaanya, menghabiskan masa remaja selayaknya anak-anak pada usianya. Ia suka menggembalakan kambing bersama teman-temannya, mengumpulkan batu-batu dan bermain-main.

Selepas menamatkan Sekolah Dasar di Jerman, saat berusia 14 tahun, sang ayah sebenarnya sudah mencarikan pekerjaan untuknya sebagai seorang tukang cukur rambut. Pada masa itu, orang yang ingin bekerja harus memiliki seorang majikan yang tidak hanya mempekerjakan, melainkan juga mendidik dan membiayai.

Kesepakatan sudah dibuat bersama, bahwa Herman akan bekerja pada majikan tersebut.

“Keluarga saya sudah memastikan pada majikan tersebut bahwa saya akan bekerja sebagai tukang cukur. Tetapi suatu malam, sebuah keputusan tiba-tiba saya dapatkan. Saya harus ikut mendaftar di Sekolah Misi. Maka, saya tidak bisa bekerja pada majikan itu,” kenang laki-laki kelahiran Drolshagen, Jerman, 10 Februari 1933 ini.

Pada sore hari sebelumnya, Herman berjalan-jalan bersama seorang teman, selepas menggembalakan kambing. Teman itu menyampaikan niat untuk mendaftar pada Sekolah Misi menjadi seorang calon imam pada Herman.

Bagai disambar petir, cerita tersebut menggetarkan nyali yang tertanam dalam diri, menggemakan suara dari dalam dan menantang dirinya untuk mendaftar, “Kenapa saya tidak ikut mencoba? Apakah saya lebih jelek dari dia?”

Semula ayahnya sangsi akan niat Herman yang tiba-tiba. “Itu api rumput?,” katanya, “Hanya menyala sebentar, lalu padam,” lanjut sang ayah.

Tetapi keesokan hari, atas dukungan keluarga, Herman ikut mendaftar di Sekolah Misi.

“Pada waktu mendaftar, saya sudah terlambat tiga pekan. Tetapi saya mendapat dispensasi dan diterima di sekolah tersebut,” ujar alumnus Sekolah Dasar Drolshagen, Sauerland, Westfalen di Jerman tahun 1939-1947 ini.

Di Sekolah Misi MSF yang bernama Missionsschule Oberhundem ini, Herman menempuh pendidikan bersama sang teman yang sama-sama mendaftar dari tahun 1947-1952.

Mereka kemudian pindah ke Provinsialat MSF di Dueren untuk melanjutkan di Gymnasium Negeri hingga tamat pada tahun 1955.

Ia melanjutkan ke Novisiat MSF pada tahun 1955. Setahun kemudian, ia mengucapkan Kaul Pertama pada April 1956 dan menjadi seorang Skolastik MSF di Ravengiersburg.

Sang teman yang sama-sama mendaftar,tidak melanjutkan pilihan menjadi imam. Tinggal dia sendiri yang membiarkan dirinya terus merajut impian pada Sang Pemilik Ladang Anggur.

Pada tanggal 2 Juli 1961, Herman Stahlhacke menerima tahbisan imam dan mendapat tugas studi di Universitas Bonn, fakultas Bahasa Jerman dan Teologi, untuk melengkapi tim pengajar di salah satu Sekolah Misi MSF di Jerman.

Misionaris di Kalimantan

Bagi umat Katolik wilayah Kalimantan Tengah –khususnya daerah Barito, Pangkalan Bun dan sekitarnya–, nama Pastor Herman Josef Stahlhacke MSF tidak asing lagi. Misionaris Jerman ini menjadi salah satu pelaku sejarah pertumbuhan dan perkembangan iman Katolik.

Sejak menginjakkan kaki di Tanah Borneo bulan April 1964, terobosan demi terobosan dibuatnya agar agama Katolik dapat menancapkan kaki lebih dalam dan terus berkembang di wilayah Zending ini.

Sejarah mencatat bahwa pada zaman penjajahan Belanda wilayah Kalimantan Tengah dan Selatan pernah menjadi kawasan ‘terlarang’ bagi kegiatan para missionaris Katolik dari negara-negara Eropa.

Ada pembagian jelas antara Kalimantan Tengah-Selatan sebagai wilayah pelayanan missionaris Protestan (Zending), sedangkan Kalimantan Timur dan Barat sebagai wilayah karya misionaris Katolik.

Alhasil, perkembangan kekatolikan di wilayah Kalteng dan Kalsel sempat terhambat. Namun, tidak ada kata terlambat bagi sebuah usaha demi kemuliaan Tuhan dan keselamatan manusia.

Setelah Indonesia merdeka, para imam misionaris asal Belanda bebas berkarya di Kalsel dan Kalteng. Tetapi misionaris baru mendapat hambatan untuk izin masuk Indonesia. Situasi tersebut menjadi perhatian Kongregasi MSF.

Saat masih muda.

Tiga gelombang

Perlu ada orang imam misionaris MSF dikirim ke Kalimantan. Maka, Superior Jenderal MSF waktu itu, Pater Bliestle MSF, meminta MSF Propinsi Jerman untuk menyiapkan calon-calon misionaris ke Indonesia demi memperkuat barisan para misionaris Eropa yang sudah ada di wilayah Kalimantan.

Mereka dikirim dalam tiga gelombang.

  • Angkatan pertama datang tiga imam misionaris pada tahun 1960. Mereka ditempatkan di Sampit dan Palangka Raya.
  • Kelompok kedua dicari dua orang. Salah seorang tenaga misonaris yang sudah bersedia yaitu adalah P. Josef Mohr MSF yang juga menjadi misionaris di Kalimantan selatan. Masih diperlukan satu tenaga lagi.
  • Melihat situasi ini, Pastor Herman mengajukkan dirinya untuk menjadi misionaris ke Indonesia.

“Setelah ditahbiskan menjadi imam, saya melanjutkan studi di Universitas di Jerman. Tetapi saya ingin menjadi misionaris. Maka saya mengajukan diri kepada Provinsial MSF Jerman untuk dikirim ke Kalimantan,” kisahnya.

Api misioner yang sedang berkobar-kobar dalam diri Pastor Stahlhacke disambut baik oleh Pastor provinsial.

Bersama dengan Pater Mohr, kedua imam muda ini segera dikirim pada akhir 1963 untuk mengikuti kursus singkat mengenai pengobatan khusus daerah tropis di Basel-Swiss. Setelah kursus, Pater Mohr lebih dahulu menuju Indonesia.

Sebulan setelahnya, Pater Stahlhacke tiba di Indonesia. Tepatnya 28 Maret 1964 di Tanjung Priok dengan menumpang kapal laut dari Genoa, Italia.

“Semula kami mendapat tugas perutusan di Keuskupan Samarinda, tetapi kemudian Pater Jenderal memindahkan kami ke Keuskupan Banjarmasin dengan alasan agar para imam misionaris Jerman berada dalam satu Keuskupan,” ujarnya.

Keduanya belajar bahasa Indonesia di Banjarmasin beberapa pecan bersama dengan seorang suster SFD.

Pastor Mohr, rekannya, mendapat tugas di Palangka Raya bersama teman imam misionaris Jerman lainnya yakni Pastor Karl Klein MSF.

Dan atas permintaan sendiri, Pastor Mohr MSF ditugaskan di Pangkalan Bun yang belum mempunyai seorang gembala. Sedangkan P. Stahalhacke mendapat tugas pembenuman di Muara Teweh bersama Pastor Jan Zoetebier MSF.

Kehadiran kedua  imam misionaris Jerman ini memperkuat tenaga misionaris Jerman yang sudah datang ke Kalteng.

Para imam MSF misionaris dari Jerman yang berkarya di Kalimantan. (Dok MSF Provinsi Kalimantan)

Mereka berhadapan dengan situasi baru dan mengalami akibat baik dari perkembangan Gereja Katolik sesudah Konsili Vatikan II yang berbeda dari masa lalu, waktu ada perlawanan dari para misionaris Zending.

Bahkan dua misionaris muda ini memulai suatu gerakan ekumenis dengan mendirikan masing-masing sebuah SMP Oekumenis. Satu sekolah berdiri di Buntok dan yang lain di Pangkalan Bun.

Hal ini diperkuat dan diresmikan oleh Uskup Banjarmasin waktu itu yakni alm. Mgr. Wilhelmus Demarteau MSF dengan mendirikan Yayasan Pendidikan Ekumenis Abdi bersama Ketua Majelis GKE, Pendeta Saloh.

Kekatolikan dan metode pewartaan harus dicari untuk memulai pewartaan Kabar Gembira di Tanah Tambun Bungai ini.

Dalam buku Mereka Itu datang Dari Jauh, Uskup Keuskupan Banjarmasin alm. Mgr. Demarteau MSF mencatat, pada tahun 1896 sebenarnya sudah ada imam Jesuit yakni Pater E. Engbers SJ yang mengunjungi Muara Teweh dan Puruk Cahu. Beberapa orang sudah menjadi Katolik, namun tidak terdata.

Tahun 1907, beberapa anggota Ordo Kapusin di Kalbar membuka stasi di Laham, Hulu Sungai Mahakam Kaltim. Mereka juga melayani daerah ini. Hanya dua tempat inilah yang diizinkan pemerintah kolonial Belanda.

Namun pelayanan itu sempat terhenti karena kekurangan tenaga misionaris. Hingga akhirnya datanglah Kongregasi MSF ke Kalimantan pada tahun 1926. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here