Pastor Herman Joseph Stahlhacke MSF: Kisah Imam Misionaris Jerman di Muara Teweh, Kalteng (2)

1
807 views
Romo Herman Joseph Stahlhacke MSF, pastor misionaris asal Jerman di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. (Dok MSF Kalimantan)

Bermula di Muara Teweh

Sejarah Kekatolikan di wilayah Barito bermula lagi dari Muara Teweh. Saat itu, sudah ada 3-4 Keluarga Katolik datang dari Tiongkok.

Mereka dilayani oleh para imam misionaris MSF, meski kegiatan misionaris Katolik waktu itu dilarang oleh kolonial Belanda.

Pelayanan terus dilakukan hingga pada tahun 1954. Muara Teweh resmi menjadi paroki untuk daerah aliran Sungai Barito.

“Imam pertama di paroki tersebut adalah Pastor Kappert MSF yang kemudian harus pulang, karena sakit. Ia digantikan oleh P. Zoetebier MSF yang boleh disebut peletak dasar Gereja Katolik di daerah aliran Sungai Barito,” tulis Mgr. Demarteau MSF.

Dari beberapa orang ini, para misionaris berusaha merawat mereka. Dan supaya misi semakin berkembang, para misionaris melibatkan kaum awam. Bahkan tercatat, kaum awam awal dari penduduk setempat membantu para misionaris dari Eropa.

“Kelompok pertama kaum awam adalah empat anak muda tamatan SGB (Sekolah Pendidikan Guru) di Muara Teweh, yang dibaptis Pastor Kappert. Mereka pulang ke kampung dan dibekali dengan buku-buku pelajaran agama Katolik, buku doa dan nyanyian. Mereka memulai gerakan sederhana membentuk umat Katolik di hilir Muara Teweh, daerah Kandui, Buntok, Telekoi dan Hingan.”

“Kelompok kedua adalah anak-anak muda bekas pejuang gerilya yang dipenjarakan di Muara Teweh. Selama di penjara, mereka secara bergilir mendapat siraman rohani atas permintaan kepala penjara oleh pendeta, ulama dan pastor.”

“Lima di antara mereka kemudian minta dibaptis oleh Pastor Zoetebier MSF yang juga membekali mereka dengan buku-buku rohani. Tiga di antara mereka kemudian menjadi aktif mengumpulkan anggota keluarga dan kenalan di kampung halaman.” 

“Ketika daerah Barito sudah dinyatakan bebas gerilya dan pastor boleh mengunjungi kampung-kampung, ia sudah bertemu dengan kelompok-kelompok kecil yang mirip umat Katolik,” demikian kisah yang pernah ditulis oleh alm. Mgr. Demarteau MSF.

Romo Herman Joseph Stahlhacke MSF, pastor misionaris asal Jerman di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan bersama anak-anak Dayak dan lainnya. (Dok MSF Kalimantan)

Pada tahun 1965, oleh Mgr. Demarteau, Uskup Keuskupan Banjarmasin waktu itu, Pastor Stahlhacke MSF ditugaskan sebagai Pastor Paroki Buntok, di wilayah Barito.

Paroki ini berdiri pada 1 Januari 1965 dengan jumlah umat waktu itu sekitar 500 jiwa. Ini merupakan hasil pemekaran dari Paroki Muara Teweh, di mana masih tinggal 300 orang Katolik.

Dengan demikian, dia menjadi Pastor Paroki pertama di Buntok.

Peran kaum awam

Pada awal karya misionernya di Kalimantan Tengah, Pastor Herman Stahlhacke MSF —sama halnya dengan para misionaris awal lainnya– berhadapan dengan aneka tantangan.

Tidak hanya soal letak geografis dan kondisi infrastruktur, tetapi juga menyangkut jumlah umat yang masih bisa dihitung dengan jari.

“Para misionaris melayani 3-4 keluarga Katolik dari Tiongkok yang tiba di Muara Teweh untuk berdagang. Mereka sudah dibaptis di negeri asal. Sedangkan penduduk asli yang begitu banyak juga harus kami layani. Kami tidak bisa berkarya sendiri. Kami harus melibatkan kaum awam,” kenang imam Kongregasi Keluarga Kudus yang kini sudah menjadi warga negara Indonesia ini.

Para misionaris membutuhkan kaum awam sebagai perpanjangan tangan untuk mewartakan Injil dan menjadikan mereka murid Tuhan. Sebagian orang setempat belum mengenal agama. Masyarakat masih hidup sesuai dengan keyakinan agama asli mereka. Tetapi panggilan Tuhan sudah sampai dalam hati mereka seiring dengan datangnya para misionaris.

Sebagaimana sabda Tuhan, “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit,” (Mat 9:37), begitulah situasi mulai dihadapi para misonaris. Banyak orang menyatakan diri untuk menjadi Katolik. Sementara tenaga misionaris sangat terbatas.

Para pastor hanya bisa mengunjungi umat di satu kampung sekitar 2-3 bulan sekali. Untuk itu, sebelum ke kampung tersebut, Pastor mengirim para guru agama atau katekis untuk menyiapkan mereka.

“Peranan kaum Awam di wilayah Barito Timur sangat besar. Wilayah pelayanan bahkan dibuka oleh kaum awam. Salah satunya adalah Bapak Pieter Dinan, guru agama waktu itu di Tabak Kanilan.”

“Bapak Pieter Dinan sudah pernah dibaptis di denominasi gereja lain GKE, waktu misionaris Katolik masih dilarang di Kalteng. Beliau kemudian mendapat buku-buku Agama Katolik dari orang Katolik kelompok di atas.”

“Dan beliau bilang sama saya, ‘Saya melihat Agama Katolik cocok untuk orang Dayak, bisa dipegang, ada Tanda Salib, ada Air Suci, ada Dupa, seperti pada adat orang Dayak. Bapak Pieter Dinan menjadi pejuang Agama Katolik yang tidak kenal lelah. Berminggu-minggu beliau tinggal di stasi-stasi Barito Timur dan mempersiapkan umat untuk pembaptisan,” ujarnya.

Lebih lanjut, P. Herman mengisahkan, seiring dengan perkembangan zaman, datanglah tenaga dari para Bruder dan Suster untuk memperkuat pelayanan khususnya di bidang kesehatan, pengembangan ekonomi dan pendidikan.

Situasi berubah

Situasi mulai berubah ketika ada kejadian dalam sejarah Indonesia yang mengerikan, G30S/PKI. Dalam rangka perubahan politik, pemerintah mengambil kebijakan dan menegaskan ‘bahwa setiap warga harus memiliki agama’.

Banyak orang yang menjadi takut atas kebijakan tersebut, mengingat dalam usaha untuk memberantas gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan segala kekerasan, Pemerintah Indonesia mengharuskan agar setiap orang memiliki agama yang diakui oleh negara.

Sebagian besar penduduk adalah orang Dayak dan masih menganut aliran kepercayaan Kaharingan. Oleh karena peraturan tersebut, banyak penduduk Dayak mencari hubungan dengan Gereja Katolik.

“Dari mulut-ke mulut, orang menyampaikan keinginannya untuk dibaptis. Saya terus menerima daftar-daftar nama orang dari banyak kampung yang ingin masuk Gereja Katolik. Di sinilah, tanpa kaum awam yang dijadikan guru-guru agama dadakan tanpa pendidikan khusus, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka bertugas menyiapkan calon baptis, sambil pengetahuan dan keterampilan mereka ditingkatkan dengan macam-macam penataran,” kisahnya.

Melihat gelombang calon pemeluk agama Katolik yang makin banyak, Pastor Herman mengutus Bapak Pieter Dinan pergi dari satu kampung ke kampung lain untuk mengajar dan mempersiapkan mereka.

Pastor Stahlhacke mengakui, peran bapak Pieter sungguh amat penting.

Dialah “rasul” awam pertama dalam karya penyebaran agama Katolik di daerah Barito Timur. Dengan berjalan kaki, dia berkeliling di seluruh daerah Barito Timur untuk menyiapkan orang-orang yang mau dibaptis.

“Beliau seorang pendidik tulen; misalnya ia membawa alat peraga, sebuah boneka untuk mengajar umat, membaptis anak-anak atau orang tua dalam sakratul maut. Sehingga waktu pertama kali saya tiba di daerah itu, saya diantar ke kuburan, di mana ada orang yang dibaptis orang yang belum dibaptis juga,” kenangnya.

Masa persiapan dan pembaptisan orang-orang Katolik dari periode 1965-1968 meningkat.

Selama periode ini, P. Stahlhacke bersama beberapa awam terus berupaya untuk meningkatkan kualitas iman umat.

Mula-mula para pemimpin umat harus dibekali agar mampu memimpin umat atau memimpin ibadat mengingat bahwa Pastor hanya bisa mengunjungi umat-umat muda ini 2-3 bulan sekali.

Sebagai imam muda.

Dalam hal tersebut, Pastor Herman merasa sangat dibantu oleh adanya buku panduan Kumpulan Upacara Ibadat karya Pastor Dr. Michael Coomans MSF tentang Ritual untuk para Pemimpin Umat.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah memberi kursus kepada guru-guru agama untuk mengajar di sekolah-sekolah dan kampung-kampung.

“Atas izin uskup, kami mengangkat dan mempersiapkan beberapa orang menjadi guru agama. Mereka inilah yang pergi ke kampung-kampung untuk menyiapkan umat yang mau menjadi Katolik, sehingga pada waktu kunjungan, kami bisa membaptis,” tandasnya.

Guru-guru agama ini sungguh dipersiapkan. Secara berkala mereka diikutkan dalam acara penataran, seminar atau kursus-kursus tentang agama Katolik. Secara berkala juga, para pastor membekali mereka dengan pengetahuan agama sebagai modal dalam pelayanan.

Tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan, mereka juga difasilitasi dengan sarana dan prasarana , misalnya sepeda motor atau perahu motor, agar pelayanan mereka dapat berjalan dengan baik.

“Para guru agama ini pada awalnya bukan orang yang hebat-hebat, tetapi mereka bersemangat dan mau belajar sendiri, sehingga mereka dilayakkan oleh Tuhan menjadi pewarta,” tandas mantan Provinsial MSF Provinsi Kalimantan tiga kali periode ini. (Berlanjut)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here