PETANG menjelang malam, di jalan tol dalam kota Jakarta. Saya terjebak di lintas padat merayap, Semanggi-Cawang.
Mobil antri bak ular naga panjangnya bukan kepalang. Tak tahu apa yang terjadi di depan sana. Kemacetan di jalan raya, sering tanpa sebab musabab yang jelas.
Sampai juga di atas perempatan Kuningan. Biang keladi terjawab sudah. Di lajur sebelah, kecelakaan tunggal menimpa sebuah sedan kecil berwarna hitam yang menyerempet pagar pembatas jalan.
Tak ada yang parah. Dua petugas sibuk mengatur lajur ke arah Semanggi. Nampaknya, semua bakal baik-baik saja.
Sesaat setelah titik itu, jalan lancar kembali. Terlihat lalu lintas di seberang sana macet berat. Wajar, ada penghambat di depan mereka. Tapi mengapa lajur kami, yang tak terhalang apa pun, tadi ikut terimbas macet?.
Kami ingin menonton apa yang terjadi di lajur tetangga. Kerumunan apa pun selalu menarik perhatian orang. Hiruk-pikuk kecil membuat orang tersita perhatiannya. Suara yang tak biasa seakan magnit yang menarik orang untuk menoleh. Perhatian terbelah oleh hal-hal yang tak ada gunanya.
Saat kecelakaan terjadi di lajur sana, sekian puluh mobil di lajur sini mengurangi kecepatannya, atau bahkan berhenti. Sang pengemudi ingin menyaksikan “sesuatu” di seberang sana.
Timbul antran. Itulah yang dimaksud “sensasi selalu menarik hati”.
Tahun 1990-an, mulai muncul acara TV yang menyiarkan cerita gosip kehidupan selebriti. Orang menyebutnya infoteinmen, “informasi yang menghibur”.
Tak peduli isinya benar atau tidak, penonton menyukainya. Koran dan tabloid kuning yang mengabarkan kisah pribadi sang pesohor dibeli dan dibaca banyak orang. Talk show yang isinya debat tanpa akal-sehat dan niretika mempunyai rating tinggi.
Pengkhotbah yang pandai membakar emosi banyak diundang orang, yang lemah lembut hanya didengar, kadang-kadang.
Tak peduli isinya melanggar privasi atau tidak. Tak peduli mengandung edukasi atau pemerosotan kecerdasan. Yang penting, sensasional. Sekali lagi, “sensasi selalu menarik hati”.
Senggolan motor di pinggir jalan atau penjambret HP yang tertangkap massa membentuk kerumunan orang untuk menontonnya.
Berita buruk mudah terekam dan dipercaya, berita baik cepat terlupakan. Satu berita kebencian, hujatan, kejelekan atau fitnah, baru berhasil terhapus setelah ada 3000 berita lain yang membantah sebaliknya.
Konon begitulah rule of thumb yang berlaku. Berita buruk sangat digdaya di depan berita baik. “Good news is not news, bad news is good news”.
Sangat memprihatinkan, kalau fakta ini merupakan gambaran umum dari makhluk hidup yang menyebut dirinya “manusia”.
Majalah online www.psychologytoday.com, dalam artikel yang berjudul “Why We Love Bad News”, May 27, 2003 mensitir hasil studi psikolog dari Ohio State University, John T. Cacioppo, Ph.D.
“Due to the brain’s ‘negativity bias’: your brain is simply built with a greater sensitivity to unpleasant news”.
Tak tahu mengapa, kekejian mencetak dampak yang lebih drastis dan dramatis di kepala kita. “Nastiness makes a bigger impact on your brain”.
Manusia lebih sulit melupakan “kesalahan” orang lain, dibanding “kebaikan” yang pernah diterimanya.
Sedikit lebih jauh. Kesalahan atau kejahatan disimpan rapat-rapat hingga bertransformasi menjadi dendam. Itu yang justru banyak menggerogoti manusia dalam rupa penyakit.
Masih menurut Cacioppo, otak manusia bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap rangsangan negatif. Ada lonjakan “listrik” yang lebih besar menanggapi sesuatu yang berkonotasi jahat.
Gottman, Psikolog lain yang meneliti tentang neraca pasangan suami-isteri menemukan angka ajaib 5: 1 agar mereka tetap bersatu.
Perasaan positif harus 5 kali lebih banyak ditabung oleh isteri atau suami dibanding 1 perilaku negatif yang diterima dari pasangannya.
Tak heran kalau Pastor Anthony de Mello, guru spiritual, penulis dan pembicara publik, menyindir ulah manusia yang sedang menghadapi wabah penyakit.
“Wabah menyerang 1000 manusia, tetapi 5000 manusia lainnya mati oleh dirinya sendiri dengan ketakutan, panik, dan perasaan negatif lainnya”.
Sebagai peringatan bagi kita, mari kita simak cerita yang penuh pesan bermakna. Konon ada d serigala di dalam diri kita, serigala baik, dan serigala jahat. Awalnya, mereka sama besar.
Peliharalah serigala baik dengan kasih-sayang dan sepenuh hati.
Beri makan yang banyak dan bergizi kepada serigala baik dan singkirkan jauh-jauh serigala jahat, agar serigala baik menang bertarung dengan serigala jahat, karena dia jauh lebih besar dan kuat.