Terjebak Lockdown di Puglia, Italia Selatan: Mahalnya Mengekspresikan Emosi Rindu (3)

0
272 views
Para frater Italia dan non Italia di seminari Keuskupan Puglia.

RINDU alias kangen berjumpa dengan orang lain. Kalau boleh saya merangkum banyak ungkapan dalam posting-an itu, satu kata yang saya temukan adalah rindu.

Rindu karena berada jauh dari sesuatu yang kita cintai dan kita anggap berharga. Hari ini siapa yang tidak rindu untuk kembali merayakan Ekaristi dan menerima Komuni Kudus di paroki masing-masing.

Siapa pula yang tidak rindu duduk satu bangku dengan di gereja mengikuti Ekaristi dan berdoa bersama, bertegur sapa sebelum memulai misa:

  • Menyalami romo dengan ungkapan ‘Berkah Dalem’;
  • Nglarisi dagangan OMK atau ibu-ibu paroki usai Perayaan Ekaristi,
  • Melihat sibuknya orang muda mempersiapkan tablo hingga kerja bakti mempersiapkan Pekan Suci dengan umat lain.

Kita semua merindukan itu. D ibalik kerinduan itu, ada kesedihan di dalam hati kita masing-masing.

Belajar dari Marta dan Maria

Kesedihan ini pula yang dirasakan oleh Marta dan Maria dengan kematian Lazarus (Yoh 11:1-45) dalam bacaan Hari Minggu Prapaskah V ini.

Marta dan Maria kehilangan saudaranya. Banyak orang Yahudi datang untuk menghibur mereka. Mereka didera kesedihan luar biasa.

Ketika Marta mendengar bahwa Yesus datang, ia pun bergegas menemui Yesus dan berkata, “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak akan mati”.

Tak lama kemudian Marta memanggil Maria dan Maria pun segera datang kepada Yesus untuk mengatakan hal yang sama. Kesedihan Maria dan Marta, membuat hati Yesus pun juga turut bersedih.

Kata-kata Marta dan Maria kepada Yesus memang bernada teguran karena Yesus datang terlambat, tetapi sekaligus menunjukkan keteguhan iman mereka.

Meski berada dalam situasi kehilangan dan kesedihan, mereka menampakkan diri sebagai orang yang tetap berpengharapan.

Mereka tiada henti memohon belas kasih Allah melalui Yesus yang hadir saat itu. Keyakinan itu tidak hanya ditunjukkan dalam kata-kata, tetapi sikap nyata mereka yang bergegas untuk datang kepada Yesus.

Ilustrasi: Lazarus. (Ist)

Pengalaman kerinduan dan kesedihan kita hari-hari ini adalah pengalaman manusiawi seperti yang dialami oleh Marta dan Maria.

Kita perlu belajar seperti mereka yang tetap berpengharapan dalam situasi ini. Rindu dan sedih menunjukkan betapa berharganya sesuatu yang kita miliki sebelumnya dan hari ini tidak kita temukan.

Maka tetap berharap dan memohon belas kasih Allah, menjadi sikap iman yang perlu kita jaga dalam situasi ini.

Kita meyakini pula bahwa Yesus hadir di tengah keluarga kita masing-masing, maka kita perlu melakukan hal yang sama seperti Maria dan Marta, bergegas dan mengungkapkan semuanya dalam doa.

Berjumpa virtual, tapi berhimpun secara spiritual

Gereja bagi kita bukan sekadar bangunan tetapi “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (Lumen Gentium no. 1).

Hari-hari ini kita kehilangan kemesraan secara fisik bersama dengan Allah dan komunitas, tetapi tidak secara spiritual.

Gereja hari ini tetap menjadi “tanda dan sarana kehadiran Allah” bagi hidup kita melalui pewartaan sabda, doa-doa, dan sakramen-sakramen yang kita terima.

Meskipun cara-cara berdoa kita hari ini selalu melalui tatap muka virtual, kita tetap bersatu secara spiritual karena setiap perayaan liturgi bukanlah tindakan perorangan, melainkan perayaan Gereja yang tidak lain adalah umat kudus yang berhimpun (bdk. Sacrosanctum Concilium no. 26).

Kita tetap berhimpun sebagai Gereja meskipun berada di tempat yang berbeda.

Bersyukur bahwa hari ini kita punya rasa rindu, karena berarti kita memiliki cinta yang tulus. Bagaikan, sepasang kekasih yang tinggal berjauhan atau seorang isteri sedang menanti suaminya yang bekerja di luar kota, akan tiba waktunya kita bertemu kembali.

Hari-hari ini cukuplah bagi kita untuk tinggal di rumah dan menjaga diri. Justru kita diajak menjadikan “Gereja-keluarga” yakni tempat yang nyaman untuk berjumpa, orang tua sebagai pewarta iman yang dengan setia memelihara panggilan rohani anak-anak, dan tempat di mana kehadiran Allah tetap bisa dirasakan (bdk. Lumen Gentium no. 11).

Kita tidak bisa mengendalikan virus corona, apalagi membendung penularan yang kian bertambah. Akan tetapi, kita bisa mengendalikan diri sendiri demi kebaikan orang-orang di sekitar kita.

Kita perlu belajar dari sosok Yesus yang berbela rasa ketika melihat Marta dan Maria yang menangis di hadapannya. Saat ini dunia sekitar kita sedang menangis karena wabah virus corona ini.

Kita juga diajak untuk larut dalam solidaritas ini. Pengalaman saya berada dalam situasi ini selama tiga minggu terakhir di Italia, membuat saya meng-amin-i bahwa diam di rumah atau istilah yang sedang populer di media sosial ‘rebahan’adalah cara sederhana untuk membuat hari esok lebih baik dan waktu untuk bertemu akan segera tiba.

Tentu saja, tidak menutup keterlibatan nyata melalui berbagai bantuan yang bisa kita disalurkan.

Pada saatnya, kita akan kembali seperti semula. Tetap berpengharapan dan beriman. Dan tentu saja, tetap di rumah.

Berkah Dalem

Fr. Benedictus Seprinanda Sudarto

Calon imam Keuskupan Agung Semarang sedang menempuh studi dan formasi di Pontifico Seminario Regionale Pio XI, Puglia, Italia Selatan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here