Titik itu sekarang menjadi bandara misi. Pesawat-pesawat kecil menempati lapangan kecil di seberangi Pantai Nabire, Papua. Orang menyebut pantai itu MAF. Singkatan dari Mission Aviation Fellowship. Semua kini mengerti, tidak lebih tidak kurang, titik itu adalah bandara MAF. Itu saja. Selebihnya, hanya segelintir saja yang masih ingat apa yang terjadi di sana pada suatu hari.
Mungkin hanya lelaki tua itu yang masih ingat dengan sangat hidup. Hanya dia yang bisa menghubungkan tempat itu dengan kekejian di masa lalu. Dengan kematian temannya, seorang remaja SMA, oleh peluru dari tentara.
“Di halaman sekolah. Dengan seragam putih abu-abu. Tanah itu sudah berdarah.” Ingatannya masih sangat lekat pada peristiwa sebelum tengah hari hampir 40 tahun yang lalu. Air mata lelaki itu menetes. Ia mengusap dengan punggung lengannya sambil meneruskan ceritanya. Kematian selalu diingat oleh orang-orang terdekat, orang-orang tercinta.
Baginya, titik penembakkan itu telah dihapus dengang kehadiran pesawat-pesawat. Kisah itu pun tidak diceritakan ke banyak orang. Tidak ada orang berziarah ke sana. Tidak ada orang datang ke sana untuk menghidupkan memori mereka tentang seorang pemuda yang ditembak. Tidak ada monumen kematian di sana. Ingatan dihapus. Sejarah diganti arah.
“Marilah kita bercerita. Cerita adalah ingatan agar peristiwa yang lampau tetap hadir di sini saat ini. Bercerita membuat kehidupan ini selalu dalam proses pemaknaan,” kataku.
Orang awam menghubungkan MAF dengan pesawat-pesawat berceleret merah, tapi lelaki tua berambut tebal itu menautkannya dengan kematian seorang sahabat. Dengan kematian pedih yang dilupakan!