BERITA sedih meninggalnya 16 imam dan bruder dari Serikat Xaverian, dalam kurun waktu tiga pekan, telah menuai simpati banyak pihak. Romo-romo Xaverian seluruh dunia kebanjiran doa dan ungkapan belarasa. Solidaritas mereka ditunjukkan dengan telpon dan kiriman pesan di media sosia yang jumlahnya begitu banyak.
Romo Rosario Giannattasio SX, pimpinan dan rektor Rumah Induk Xaverian di Parma, jadi sibuk menerima wawancara dari wartawan media cetak dan elektronik.
Para wartawan rata-rata mempertanyakan, apakah para imam dan bruder Xaverian itu meninggal karena virus corona.
Terhadap pertanyaan ini Romo Rosario Giannattasio, pimpinan rumah induk Xaverian di Parma ini, dengan tegas mengatakan:
“Non possiamo affermare con certezza che si tratti di morti per coronavirus. Quello che possiamo dire è che si tratta di una mortalità molto più alta rispetto alla media.
Siamo a 13 morti in 15 giorni. Uno di loro, quasi ogni giorno da due settimane, muore in silenzio nel letto della sua stanza. Se ne vanno pregando fra le lenzuola della casa.
Solitamente in casa madre muoiono quattro o cinque padri nell’arco di un anno, ora invece se ne sono andati una decina nel giro di undici-dodici giorni. E’ quindi inevitabile pensare ad un legame col coronavirus”
(Kami tidak bisa memberi kepastian, apakah mereka meninggal karena virus corona. Yang bisa kami katakan, angka kematian ini sangat tinggi dibanding rata-rata kematian yang biasanya terjadi di rumah kami.
Ini 13 kematian dalam waktu 15 hari. Jadi rata-rata sehari seorang imam kami meninggal. Mereka pergi dalam kesendirian doa di tempat tidur. Biasanya di rumah induk ini, yang meninggal paling 4 atau 5 orang saja dalam setahun.
Sekarang ini yang meninggal 10 sampai 12 orang dalam kurun waktu 15 hari. Jadi tak terhindarkan kalau orang berfikir ini pasti ada hubungannya dengan virus corona.”
Dari tanggal 19 Maret, begitu ada beberapa rekan imam kami yang meninggal di lantai 4, saya sudah memberitahu fihak yang berwenang: Walikota Pak Pizzarotti dan AUSL (Azienda Unita’ Sanitaria Locale – Kantor Pelayanan Kesehatan) di Parma. Kakak perempuan Mariassunta yang dokter itu juga sudah menghubungi rekan-rekannya di AUSL.
Namun kata Romo Rosario Giannattasio: “Non ho avuto risposta. Non so neanche se lo ha letto. Ma ormai serve a poco.” (Saya tidak mendapat jawaban. Tidak tahu apakah pemberitahuan saya dibaca. Tapi sekarang sudah tidak ada gunanya lagi).
Rektor rumah Xaverian di Parma ini juga sempat membagi kecemasannya:
“Hari itu saya meminta pertolongan yang sifatnya sangat darurat dan mendesak sekali. Tolong segera datang ke tempat kami, bantu kami dengan mengirim tim untuk memeriksa, jangan-jangan para imam kami yang sudah tua-tua ini terserang virus corona.
Soalnya, beberapa rekan-rekan imam kami, sekitar 10 orang, tiba-tiba dalam beberapa hari mengalami demam dan sesak pernafasan. Ini ‘kan gejala corona”, kata Romo Rosario.
Tim medis dari Pemerintah Kota Parma mengakui terlambat menanggapi permintaan Romo Rosario ini. Mereka merasa salah dan disalahkan banyak orang setelah tahu para imam Xaverian yang meninggal di rumah itu mencapai jumlah yang fantastis.
Banyak pendapat mengatakan, ketidaksiapan AUSL Parma adalah potret ketidaksiapan Italia secara keseluruhan dalam menerima hantaman virus corona yang begitu massive dan begitu cepat penyebarannya.
Bianca Borrini, dari bagian kesehatan publik AUSL Parma mengakui, hari-hari itu nomor telpon darurat 118 dan para dokter jaga IGD kewalahan menerima ribuan permintaan emergency coronavirus.
Ketika fihak AUSL Parma mengetahui permintaan dari Romo Rosario dan kemudian datang ke rumah induk Xaverian, nampaknya semua sudah sangat terlambat.
Majalah Saverian Missione Oggi edisi terakhir, sampai perlu menurunkan tragedi ini dalam judul berita utama majalahnya: “Morti scomode e burocrazia”, mati yang “merana” dan birokrasi.
Suasana memang sempat memanas di kalangan Pemkot Parma dan tim mitigasi bencana Covid-19. Maklum, walaupun ini keadaan darurat luar biasa, angka 16 biarawan meninggal dalam satu rumah, bukan jumlah yang bisa dianggap main-main. Kesiapan dan kesigapan tim tanggap bencana kota Parma dipertanyakan.
CEI, KWI-nya Italia juga menaruh perhatian khusus pada meninggalnya para anggota Serikat Xaverian yang begitu banyak di Keuskupan Parma.
CEI mencatat, selain 16 anggota Saverian, Keuskupan Parma juga kehilangan 6 imam diosesannya karena musibah coronavirus ini. Jadi total ada 22 imam dan biarawan meninggal di Keuskupan Parma gara-gara virus corona.
Keuskupan Parma menjadi runner-up sesudah Keuskupan Bergamo dalam jumlah imam dan biarawan yang meninggal di Italia.
Walau ada suasana panas, Romo Rosario yang tenang ini, sangat bijak mendinginkan suasana dengan tidak menyalahkan fihak mana pun. Kepada media yang mewawancarainya, ia menjelaskan bahwa semenjak informasi coronavirus mulai merebak di Itali, rumah induk Saverian Parma sebenarnya sudah mempersiapkan diri.
Gedung utama Xaverian yang besar itu terdiri dari 6 lantai. Ada sekitar 60 orang imam dan bruder Xaverian yang tinggal di situ. Rata-rata usianya sudah sepuh. Hampir semuanya adalah “pensiunan missionaris”, di Afrika, Asia dan Amerika Latin.
Romo Rosario bilang:
“Di daerah missi, rekan-rekan kami para Xaverian sudah terbiasa menghadapi musibah dan kesulitan. Wabah ebola di Afrika misalnya, yang lebih ganas dari corona virus sekarang, pernah mereka hadapi.
Mereka pejuang-pejuang tangguh. Namun karena semua tahu bahwa virus corona sangat rentan terhadap mereka yang sudah tua, apalagi yang sedang sakit berat, maka semua imam tua “diisolasi” di lantai 4. Praktis, lantai 4 menjadi “lantai panti jompo” bagi para Romo Xaverian.
Makanan dan kebutuhan obat untuk para Romo di lantai itu juga dilayani melalui lift kecil yang memang sudah disediakan. Meja makan juga diatur jaraknya 2 meter satu sama lain. Demikian pula tempat duduk di ruang doa. Namun semenjak ada yang meninggal, kegiatan bersama di ruang doa ditiadakan.
Praktis selama 24 jam, para imam sepuh Xaverian itu hanya mengurung diri di kamarnya.
Sejak virus corona merebak, tidak seorang pun boleh berkunjung ke lantai 4. Dalam bahasa orang Jakarta sekarang, mereka sudah melakukan “social and physical distancing”.
Para penghuni lantai 4 diperlakukan khusus. Mereka dipisahkan dari orang-orang lain yang ke luar masuk biara. Para frater dan imam muda yang jumlahnya sekitar 20 orang, tinggal di bangunan lain.
Para frater ini berasal dari daerah-daerah missi Xaverian, termasuk dari Indonesia. Sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa yang sedang mempersiapkan diri menjadi imam dan missionaris. Dan tentu saja, 14 imam dan bruder Xaverian yang meninggal adalah penghuni lantai 4 itu, bukan dari gedung yang dihuni para mahasiswa.
Dua SX yang lain meninggal di rumah sakit di luar biara.
Tentang hal ini, Romo Rosario, Rektor rumah Xaverian di Parma itu berkomentar:
“Perché oltre ai morti ci sono anche una dozzina di ammalati. Ci stiamo dimezzando. Non lo posso dire, che è il coronavirus. Ma cosa vuole che sia? Manca l’ossigeno, non respirano. Qui nessuno ha fatto esami. Nessuno ha fatto il tampone qui dentro, mai“.
(Selain rekan-rekan kami yang meninggal, juga ada belasan yang sakit cukup serius. Terus terang saja, saat ini kami sedang galau. Saya tidak bisa bilang ini pasti virus corona. Tetapi kalau ngga, mau bilang apa? Tanpa oksigen, mereka tidak bernafas. Di sini, seorang pun belum pernah menjalani tes corona secara intensif).
Dolore nel dolore, kepedihan dalam kepedihan
Menanggapi seruan Paus Fransiskus, agar semua Keuskupan mengadakan doa khusus bagi para penderita corona virus, maka hampir semua Uskup di seluruh Itali, datang ke makam berdoa bagi umat yang meninggal karena corona.
Rata-rata, para Uskup itu datang sendirian ke makam. Mereka berdoa khusuk dan berlutut di altar makam, meniru Paus Fransiskus yang beberapa hari sebelumnya juga berdoa sendirian kepada Bunda Maria di Basilica Santa Maria Maggiore dan kepada Salib Suci di gereja San Marcello al Corso.
Tak terkecuali Mgr. Enrico Solmi, Uskup Keuskupan Parma.
Pagi itu, Uskup Keuskupan Parma, Mgr. Enrico Solmi datang ke monumen pemakaman utama kota Parma di daerah della Villetta. Ia berjalan perlahan memapakti anak-tangga, lalu berlutut di kapel makam. Ia menundukkan kepala dan berdoa dengan wajah sedih.
Uskup Parma tentu saja berdoa bagi para korban virus corona, bagi mereka yang sedang berjuang melawan maut, bagi keluarga dan sahabat yang meninggal yang tak mungkin memberikan penghormatan terakhir kepada yang meninggal, dan tentu saja bagi para dokter dan petugas medis yang berkontak langsung dengan yang terpapar dan merawatnya.
Kepada yang meninggal, Mgr Solmi berdoa: “perché siano eternamente beati insieme con le sorelle e i fratelli che guidarono ai pascoli della vita eterna” — semoga mereka yang telah dipanggil Tuhan, berbahagia abadi bersama saudara dan saudari yang akan menuntun mereka ke padang rumput hijau hidup yang kekal”.
Setelah berdoa dan singgah sebentar di makam imam Fransiskan Romo Lino Maupas yang sangat dihormati gereja Parma (seperti Romo Sanjaya di Muntilan yang sangat dihormati umat KAS), Mgr. Enrico Solmi, Uskup Keuskupan Parma. ini sempat menungkapkan rasa sedihnya terhadap apa yang sedang terjadi di Keuskupan Parma.
Selain umat, ada 6 imam diosesan di Keuskupan Parma yang meninggal karena virus corona dan tentu saja “pukulan telak” dari rumah induk Xaverian yang kehilangan 16 orang anggotanya.
Melalui komunikasi resmi dari Komsos Keuskupan Parma, Mgr. Solmi mengatakan: “Siamo sotto questo morbo, questo virus, e la nostra Diocesi sta patendo un duro prezzo a livello di vittime” (Kita sedang di bawah ancaman wabah virus ini, dan Keuskupan kita dipaksa membayar harga yang sangat mahal dengan banyaknya korban yang berjatuhan).
Kepada para imam dan bruder yang meninggal, khususnya yang meninggal di rumah induk Xaverian, Uskup Parma ini mengatakan:
“È dolore nel dolore vedere che anche i sacerdoti si ammalano – a volte per zelo pastorale – e vanno oltre la porta del triage dove, comprensibil-mente, nessuno può entrare. Poi, alternandosi speranze e ricadute, ci lasciano.
Cinque sono i preti della Diocesi che sono morti dall’inizio di questa epidemia e 13 Saveriani. Anche loro hanno condiviso questa via crucis e al Vescovo resta la fitta dell’apprenderne la morte – come un colpo che fa piegare le ginocchia – il dolore che pervade me e il presbiterio, le comunità. ….
Sono tra le fasi più dolorose della vita di un povero vescovo come me, sostenute dalla certezza della Risurrezione, della Vita eterna, invocando ancora forza per il gregge e il pastore e Luce per essere condotti là dove il Signore ci indica, procedendo come lui vuole.“
(Sungguh merupakan kepedihan di tengah kepedihan menyaksikan para imam kita yang sakit, bahkan tanpa mendapatkan pen-dampingan sakramen orang sakit – padahal biasanya mereka memberikan itu kepada umat dan rekan-rekan imam – karena memang bisa dimengerti di tengah tuntutan kewaspadaan, kita memang tidak diperkenankan masuk.
Dan akibatnya memang mengenaskan: harapan menjadi pudar dan saudara-saudari kita yang sakit jadi merasa ditinggalkan.
Kita kehilangan 5 imam diosesan dan 13 imam Xaverian sejak epidemi ini mulai. Mereka kemudian juga membagi “jalan salibnya” kepada Uskup termasuk perihnya menghadapi kematian, seolah lutut ini dilecuti, dan kepedihan ini akan terus mendera seluruh Keuskupan dan seluruh komunitas gereja Parma.
Kepedihan yang kita alami di tengah wabah virus corona ini, adalah salah satu tahap yang paling memilukan dalam perjalanan seorang Uskup yang malang seperti saya ini, dan semoga karena harapan akan kebangkitanNya, dan akan hidup kekal bersamaNya, saya tetap dikuatkan untuk meneruskan penggembalaan ini sesuai dengan cara dan proses yang Ia tunjukkan pada saya).
Kepedihan Mgr. Enrico Solmi, Uskup Keuskupan Parma ini, nampaknya juga menjadi kepedihan kita semua.
Para imam Xaverian sangat mencintai umat dan gereja missi seperti gereja Indonesia kita ini. Luar biasa cinta mereka pada kita dan gereja kita. Pemberian hidup inilah yang akan terus kita kenang. (Berlanjut)