INILAH homili misa Minggu Palma oleh Uskup Keuskupan Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo. Ini disiarkan secara langsung oleh TVRI pukul 09.00 WIB dari Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga.
Kardinal mengajak umat mengikuti Jalan Kasih seperti Yesus yang memasuki Kota Yerusalem.
Misa yang diselenggarakan di tengah masa pandemi Covid-19 ini niscaya menimbulkan kerinduan umat Katolik akan Ekaristi dan perayaan Pekan Suci di gereja-gereja.
Hal yang dulunya dianggap sesutu yang biasa atau ‘normal’ sekarang baru terasa hal itu adalah anugerah yang mewah dan indah.
Kardinal Suharyo di awal khotbahnya seperti biasa menjelaskan terlebih dahulu makna dari bacaan Injil hari tersebut.
Bukan kegagalan
Pertanyaan yang dilontarkan: Mengapa kisah sengsara begitu panjang diceritakan di keempat Injil? Bukankah kisah kegagalan umumnya tidak akan diceritakan panjang lebar?
Pertanyaan tersebut dijawabnya langsung dengan penjabaran yang enak dan ringkas.
Menurut Kardinal yang diangkat pada 1 September 2019 oleh Paus Fransiskus tersebut, hal itu dikarenakan umat Kristiani sejak awal tidak melihat kisah sengsara itu sebagai suatu kegagalan.
Kisah itu dilihat sebagai pengalaman kasih, sehingga perlu diceritakan dengan sangat rinci.
Santo Paulus dalam suratnya mengatakan tidak mudah seorang mati untuk orang lain. Tetapi ada orang baik yang bersedia melakukannya.
Dan itu ditunjukkan Allah sendiri dengan mengirim Puteranya untuk mati di kayu salib bagi penebusan umat manusia. “Yesus mati , ketika kita masih berdosa,” begitu ulas Kardinal kelahiran Sedayu, 9 Juli 1950 ini.
Alasan kedua mengapa kisah sengsara itu panjang adalah adanya orang-orang yang tidak percaya bahwa Kristus sungguh-sungguh mati; yang mati adalah orang lain begitu isu yang dihembuskan saat itu.
Maka kisah panjang itu dituliskan supaya jelas bagi umat beriman bahwa Tuhan Yesus mati untuk kita. Itulah landasan iman kristiani kita.
Alasan ketiga, para murid pertama merefleksikan kisah sengsara Kristus dalam pengalaman diri mereka. Para rasul itu ditolak, difitnah, dan dihina karena cara hidup mereka yang beda dengan masyarakat saat itu.
“Tidak mudah menjadi murid Kristus,” tukas Kardinal yang merangkap sebagai Ketua KWI dan Uskup Ordinariat Militer-Polri ini, “lebih enak dan lebih mudah kalau hidup mengikuti arus zaman.”
Jalan sulit
Lalu, apa artinya menapaki jalan hidup yang ‘sulit’ itu?
Kardinal Suharyo dengan piawai mengaitkannya dengan dua pesan utama Minggu Palma.
Pesan pertama, kita diajak mengikuti Kristus masuk kota suci Yerusalem yang adalah Jalan Kasih. Tetapi tidak cukup kita hanya berdiri di tepi mengelu-elukan Dia; kita perlu terlibat.
Kedua, Minggu Palma mengingatkan kita untuk meneladani pengorbanan Kristus.
Kardinal menjelaskan bahwa mengikuti Jalan kasih perlu disesuaikan dengan kondisi wabah virus corona saat ini.
Kita sudah melihat berita di media massa dan media sosial banyaknya saudara kita yang karena tanggung jawab dan profesinya mempertaruhkan nyawa mereka untuk keselamatan manusia lain.
Jalan Kasih terbuka lebar untuk kita semua, tidak hanya bagi yang berada di garda depan seperti itu.
Tetapi Jalan Kasih selalu menuntut pengorbanan. Bagi kebanyakan dari kita, pengorbanan itu tidaklah besar dan tidak membahayakan jiwa: cukup tinggal di rumah, untuk memutus mata rantai peredaran wabah.
Untuk tidak egois hanya mempertimbangkan diri sendiri yang ‘cukup kuat’ tetapi juga mempertimbangkan penularan tanpa sadar ke orang lain yang daya tahan tubuhnya rentan.
Kardinal Suharyo mengimbau umat yang punya standar hidup tinggi, untuk menurunkan sedikit standarnya dan memberikan kelebihannya kepada saudara-saudara yang berkekurangan dan juga berdonasi membantu perjuangan para tenaga medis serta bidang lainnya yang berada di garis depan.
“Mari kita konkrit menapaki Jalan Kasih sesuai kondisi sekarang. Semoga Tuhan melindungi kita dan semua umat manusia,” demikian doa Kardinal Suharyo menutup homilinya.