Percik Firman : Menuntaskan Misi

0
371 views

Jumat Agung, 10 April 2020

Bacaan Injil: Yoh 18:1-19:42

“Sudah selesai” (Yoh 19:30)

Saudari/a ku ytk.,

HARI ini kita merayakan Ibadat Jumat Agung ini. Ada tiga bagian pokok dalam Ibadat Jumat Agung, yaitu:

  1. Liturgi Sabda dengan ‘Kisah Sengsara Tuhan’
  2. Penghormatan Salib
  3. Komuni.

Dalam tradisi Gereja sejak abad pertengahan, ada 7 kata terakhir (Sapta Sabda) Yesus yang menjadi sebuah doa devosi bagi umat untuk memaknai misteri penderitaan dan wafat Kristus. 

Berikut ini ke-7 sabda terakhir Yesus di puncak kayu salib: “Tuhan, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34); “Ibu, itulah puteramu” dan Yesus berkata pada muridNya, “Itulah ibumu” (Yoh. 19:25); “Sungguh hari ini juga engkau bersama aku di Firdaus” (Luk 23:43); “Allahku ya Allahku, mengapa engkau meninggalkan daku?” (Mrk 15:34); “Aku haus” (Yoh 14:28); “Ke dalam tangan-Mu kuserahkan jiwaku” (Luk 22:46); dan “Sudah selesai” (Yoh. 19:30).

Saya tersentuh dengan sabda “Sudah selesai”. Sabda ini merupakan sabda Yesus yang terakhir, dan setelah bersabda demikian Ia menundukkan kepala dan menyerahkan nyawa-Nya, wafat. Kematian menyelesaikan segala-galanya itulah yang terjadi. Yesus setia pada misinya melaksanakan kehendak Allah Bapa sampai akhir, sampai tuntas. Dia wafat di salib demi keselamatan manusia. 

Dari Tuhan Yesus, kita bisa belajar: bagaimana bisa bekerja keras, bekerja cerdas, bekerja ikhlas, dan bekerja tuntas. Dia menuntaskan misi-Nya sampai akhir. Total. Tidak setengah-setengah. Yesus mati disalib pada usia 33 tahun. 

Kita semua juga akan mati, entah kapan kita tidak tahu, karena kematian merupakan anugerah Tuhan, tergantung dari Tuhan. Sebelum meninggal dunia, Rama Albertus Priyambono, Pr mengatakan: ”Urip iku kanugrahan, lara iku ganjaran, mati iku timbalan” (Hidup itu anugerah, sakit itu rahmat, mati itu panggilan).

Kiranya baik pada hari Jumat Agung ini, kita bertanya pada diri sendiri: “Siap-sediakah saya sewaktu-waktu dipanggil Tuhan alias meninggal dunia?” Mati adalah dipanggil Tuhan. Bagi siapapun yang setiap hari senantiasa dekat dengan Tuhan dan hidup baik, pasti tidak takut sewaktu-waktu dipanggil Tuhan. Bahkan pada detik-detik terakhir hidupnya ia sungguh ‘menundukkan kepala dan menyerahkan nyawanya’ seperti Yesus. Dia tidak memberontak atau melawan ketika akan dipanggil Tuhan. 

Yesus wafat disalib. Salib bukanlah kebodohan, bukan pula batu sandungan. Tetapi bagi orang beriman, salib adalah kekuatan dan hikmat Allah. Salib Tuhan kita Yesus Kristus wujudnya kayu palang dan “corpus”, yakni patung Yesus yang tergantung di kayu salib. Keseluruhannya melambangkan sebagai berikut:

Kayu tegak melambangkan cinta kasih dan sikap takwa kepada Allah. Kayu melintang melambangkan cinta kasih dan amal bakti kepada sesama manusia. Corpus yang tergantung melambangkan semangat pengorbanan yang total. 

Dari salib ini, kita bisa memetik pesan: kalau kita ingin hidup bahagia dan memiliki keluarga yang guyub-rukun serta damai, kuncinya adalah dengan didasari semangat pengorbanan yang tulus-total, kita harus takwa dan cinta pada Allah melebihi segala sesuatu, dan cinta pada sesama seperti kita cinta pada diri sendiri. 

Santo Ignatius Loyola (1491-1556) pernah mengungkapkan, “There is no better wood for feeding the fire of God’s love than the wood of the cross.” (Tak ada kayu yang lebih baik untuk mengobarkan api cinta Tuhan selain kayu salib). Di saliblah kita temukan cinta Kristus yang luar biasa untuk kita umat-Nya ini. Dia solider dengan kita manusia yang hidup di dunia ini. Hidup kita tidak lepas dari penderitaan, baik dalam skala besar atau kecil. 

Dengan menatap salib, kita mendapat kekuatan iman/rohani. Maka, Gereja Katolik tetap mempertahankan corpus Kristus tergantung di salib. Di sanalah kita mengembangkan Teologi Salib. Tidak ada kebangkitan tanpa penderitaan di Salib. Tidak ada Hari Raya Paskah tanpa Jumat Agung.

Mari kita resap-resapkan homili Paus Fransiskus berikut ini: “Memeluk salib-Nya berarti menemukan keberanian untuk merangkul semua kesulitan ini, meninggalkan sejenak hasrat kita untuk berkuasa dan mengeruk harta, sehingga dapat memberikan ruang bagi kreativitas yang hanya bisa diinspirasi Roh Kudus. Itu berarti menemukan keberanian untuk menciptakan ruang di mana setiap orang dapat mengenali bahwa mereka dipanggil, dan untuk memungkinkan bentuk-bentuk baru keramahan, persaudaraan dan solidaritas”.

Lebih lanjut diuraikan, ”Melalui salib-Nya, kita telah diselamatkan untuk merengkuh harapan dan membiarkannya memperkuat dan memelihara semua langkah dan semua jalan yang mungkin ditempuh untuk membantu kita melindungi diri kita sendiri dan orang lain. Memeluk Tuhan untuk memeluk harapan: itulah kekuatan iman, yang membebaskan kita dari rasa takut dan memberi kita harapan”.

Selamat merenungkan kasih Tuhan yang wafat di salib demi keselamatan kita.

Berkah Dalem dan Salam Teplok dari Bumi Mertoyudan. # Y. Gunawan, Pr

Kredit foto: Ilustrasi (Ist)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here