ADA rasa kecewa mendalam menyesaki hati saya. Mengapa saya sampai “tega hati” yakni tidak menyempatkan dan memaksa diri –bahkan lupa– menjenguk Romo Lambertus Sugiri van den Heuvel SJ.
Terutama saat mendiang Romo yang saya kenal sejak saya kecil di Solo ini mengalami sakit dan opname di RS Sin. Caroulus beberapa waktu yang lalu. Padahal, saat itu, saya tengah berada di Jakarta.
Sekarang, begitu mendengar beliau telah sowan menghadap Gusti, saya merasa telah dilemparkan jauh ke suatu tempat. Saya merenung diri dan melihat diri saya kembali beberapa puluh tahun yang lalu.
Saya merasa sangat kehilangan. Sungguh rasanya sangat semedhot di hati.
Bagaimana pun juga, sebagian hidup saya tidak lepas dari bimbingannya. Sungguh, hal ini saya alami. Sejak saya masih bocah duduk di kelas 5 SD di Solo atau Surakarta, hampir 51 tahun yang lalu.
Stasi Dirjodipuran Solo
Masih terekam jelas masa kecil kehidupan saya pada tahun sekitar mulai 1967 di lingkungan Gereja San Inigo Dirjodipuran.
Waktu itu, bangunan gereja masih berupa rumah pendopo bergaya arsitektur Jawa. Berlokasi di rumah milik keluarga RM Dirjodipura.
Waktu itu, rumah bergaya arsitektur pendopo itu hanya ditempati oleh salah satu puteranya dan para abdinya atau asisten rumah tangganya. Inilah rumah seorang sosok bangsawan Keraton Solo di daerah Patangpuluhan.
Awalnya saat itu, setiap kali misa dipimpin oleh Romo Harsowijoyo SJ.
Mula-mula jumlah umat tidak begitu banyak. Sebagai bocah kecil, saya juga harus siap berlama-lama bisa duduk medekhut atau siladi atas alas sebuah tikar untuk mengikuti misa .
Sepanjang ingatan saya, ada beberapa kursi yang mungkin bisa jadi dipinjam dari SD Kanisius Serengan.
Setelah (alm) Romo Harsowijoyo SJ harus meninggalkan umat di Solo karena mendapat tugas baru di Jakarta, maka di sinilah saya mulai mengenal sedikit sosok penggantinya.
Mula-mula datanglah (alm) Rm. Verouge SJ. Namun, beliau rupanya hanya sementara saja dapat mendampingi umat Katolik di “gereja” kapel Stasi Dirjodipuran, Solo.
Saya dengan keluarga besar sangat setia mengikuti misa di situ, walaupun sangat sederhana. Saya tetap mampu dengan kidmat menghayati Ekaristi Suci seiring dengan pertumbuhan umur dan kematangan serta kemampuan saya beradaptasi dengan lingkungan.
Romo Sugiri muda
Sosok Romo Lambertus Sugiri yang bernama asli van den Heuvel SJ di kemudian hari juga ditugaskan berpastoral di “Stasi” Dirjodipuran. a menjadi imam di “paroki pusat” di Gereja Santo Antonius Paroki Purbayan, namun juga dengan tugas mendampingi umat untuk bisa mengembangkan Stasi Dirjodipuran.
Imam muda Jesuit ini berwajah cakep. Postur tubuhnya tinggi besar. Perilakunya sangat ramah, tapi juga sangat tegas. Imam Jesuit ini mulai memasuki kehidupan umat Katolik Stasi Dirjodipuran.
Beliau luar biasa mampu menghafal nama-nama para umatnya, termasuk saya dan kawan-kawan yang saat itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar ini. Kehidupan umat sangat dinamis dan semangat dengan banyaknya kegiatan. Baik dari anak-anak, Pemuda Katolik, para ibu WK. dan kegiatan bapak-bapak.
Mencari teman diskusi
Tidak terhitung, beliau sering datang berkunjung ke rumah kami di Baluwarti dengan motor DKW-nya. Itu karena beliau merasa butuh teman diskusi dengan bapak saya: Rob Soedirjo. Saat ini, bapak masih masih hidup dengan usia 99 tahun.
Konteksnya adalah mengajak diskusi dengan bapak dalam kapasitas bapak sebagai anggota panitia pembangunan gereja dan juga Dewan Paroki.
Hampir semua daerah Stasi Dirjodipuran telah dijelajahi Romo Sugiri. Umat juga mendapat tempat di hati beliau sehingga mereka juga sering ditengok dan diajak ngobrol-ngobrol.
Cambuk hidup itu berupa teguran keras
Entah saya sendiri tidak tahu, mengapa saat itu saya dengan beliau bisa dekat. Tidak segan beliau memanggil saya untuk ditegur, bila saya terlalu nakal atau berani. Atau mungkin bisa saja, karena saya dipandangnya berlaku sombong dan tidak patuh mengikuti, untuk menurut kepada beliau.
Selanjutnya saya sangat ingat, ketika Romo Giri –begitu kami memanggilnya saat itu—yang pernah membuat saya menangis tersedu-sedu sehingga berguncang bahu saya usai mendapat teguran dari beliau.
Saya yang saat itu masih anak SD berkultur Jawa banget telah ditegur dengan gaya londo-nya. Sangat keras cara penyampaiannya. Benar-benar begitu lugas.
Rupanya hal tersebut sangat membekas pada diri saya. Dan kemudian juga mempengaruhi karakter saya sebagai puteri Solo.
Saya tidak dapat bicara muter, walau masih halus, tapi juga bisa sangat lugas dan to the point.
Setelah saya berkeluarga dengan seorang yang bukan berasal dari Tanah Jawa, ternyata sifat saya yang tidak suka basa basi serta lugas dan tanpa tedheng aling-aling membuat keluarga besar suami saya terkaget-kaget. Benar-benar karakter londo-nya telah mengkontaminasi hidup saya.
Hal ini menjadi bekal yang sangat baik, ketika saya harus hidup dua tahun di Pennsylvania di AS maupun empat tahun di Phillipines.
Semua itu menjadikan saya bisa dengan mudah dapat berdaptasi hidup di luar komunitas keseharian sebelumnya.
Ternyata, sebenarnya dari titik waktu, peristiwa “dipanggil” beliau itu menjadi cambuk bagi hidup saya. Saya harus dapat bangkit. Juga selalu mengingatnya, setiap kali saya mengalami sesuatu yang sangat memukul atau membuat galau semangat hidup saya.
Tidak hanya teguran, tetapi sederet nasehatnya telah melumer masuk ke jiwa saya.
Menjadi tangguh
Selalu selalu terngiang akan satu kata ini. Yakni, bahwa saya harus menjadi tangguh.
Kata tersebut sangat ditekankannya dan tidak boleh sombong. Juga selalu ditambahkannya pula untuk selalu bersyukur dengan yang saya dapatkan.
Beliau saat itu mengatakannya, setelah sekian lama mengamati saya dengan semua yang ada pada saya. Beliau katakan bahwa hidup saya akan tumbuh dengan penuh tantangan selalu sebagai perempuan Katolik.
Semuanya benar. Saya selalu harus bersyukur, saya mampu dapat menjadi begini ini tidak lepas dari tempaan beliau yang sangat khas Jesuit.
Ini berlanjut lagi saat saya dengan keluarga hidup di Amerika (1986-1988) maupun di Philippines (1994-1998) ditempa pula oleh para Jesuit yang lain. Juga perjalanan hidup selanjutnya, setelah zaman mahasiswa hingga lulus dokter gigi dahulu pun (1978-1983) juga di bawah didikan para imam Jesuit.
Dan sekarang ini pun, walau saya tetap terus belajar dan hidup ternyata saya tidak lepas dari pengaruh lingkungan semangat Ignatian.
Namun demikian saya tetap juga akrab bersosialisasi dan bermasyarakat dengan semua umat. Tanpa melihat tarekat darimana gembala rohani yang menjadi pemimpin atau mengayomi saya sekarang ini.
Justru karena dukungan keluarga, teman dan semua yang menyanyangi –dengan semua tantangan yang ada– maka saya dapat dan harus tangguh beradaptasi teristimewa dalam kehidupan sekarang ini.
Kehidupan demikian tidak hanya sebatas dengan umat Katolik, tapi juga bersaudara dengan yang lain sesama ummat Allah dengan sebaik mungkin.
Matur nuwun Romo Giri, sudah sangat banyak memberi bekal hidup yang begitu berharga. Juga ikut memberi kontribusi membentuk perziarahan saya di dunia ini.
Selamat jalan nggih Romo dalam menghadap Yesus. Doa saya menyertai, semoga jiwa romo segera mendapatkan kemuliaan bersatu bersama-NYA dengan penuh damai.
Jogjakarta 11 juni 2020
Regina TC. Tandelilin (Nina) Guru Besar Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada
It’s so true about Rm Sugiri. Banyak orang yang bilang dia galak, sampai2 pada takut. Tapi buat saya, dia favourite saya. To the point, lugas, gak pake sugar coat…