COVID-19 telah meluluhlantakan segala sendi kehidupan manusia, termasuk paduan suara. Rasanya, banyak orang tidak sadar.
Sekalipun pandemi ini sudah berlangsung beberapa bulan bahwatidak hanya meluluhlantakan, tetapi juga mematikan paduan suara. Terutama terkait dengan protokol kesehatan.
Protokol kesehatan dalam new ‘habitus baru” normal, yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai tatanan kehidupan baru, menyaratkan minimal tiga kebiasaan baru yakni, mencuci tangan, menggunakan masker dan menjaga jarak (physical distancing) setidaknya 1 (satu) meter.
Kebiasaan baru ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyebaran pandemi dan sekaligus menghindarkan masyarakat tertular Covid-19.
Dalam konteks ini, new “habitus baru” normal menuntut masyarakat dalam kerumunan atau interaksi antarmanusia dalam keramaian untuk menaati protokol kesehatan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan jika tidak ingin tertular covid-19.
Hingga saat ini, tak satu negara pun yang dapat meramalkan kapan selesainya pandemi ini. Sehingga, new “habitus baru” normal akan terus berlangsung sampai ditemukan vaksin penawar covid-19 dan sedihnya, hingga saat ini belum satu vaksin pun yang ditemukan.
Paduan suara sebagai bentuk seni ataupun bagian dari ritus keagamaan harus menyesuaikan dengan protokol kesehatan ini. Suka atau tidak suka, mereka harus mengikuti aturan protokol kesehatan ini jika tidak ingin tertular covid-19.
Untuk itu, dalam kebiasaan baru, para anggota paduan suara harus menyanyi dengan menggunakan masker dan jaga jarak setidaknya sejauh 1 (satu) meter meskipun rasanya tidaklah cukup.
Jika dalam paduan suara beranggotakan 40 orang, sebagai contoh, bisa dibayangkan berapa luas ruangan yang dibutuhkan untuk digunakan berlatih?
Lalu apa yang terjadi jika latihan di rumah salah satu warga atau umat lingkungan (kring) yang lokasinya selalu bergantian?
Anekdot
Ada anekdot yang mengatakan, “Yang bernyanyi dengan benar akan terlihat dari wajahnya”.
Secara tersirat, anekdot ini ingin mengatakan, “Jika anda bernyanyi dengan benar, wajah anda akan berubah bentuk”.
Alasannya adalah, ketika bernyanyi dengan benar, wajah yang terekspresikan dari mata, mulut, telinga dan hidung akan melakukan penyesuaian dengan notasi, syair, dinamika, dan aba-aba dirigen sekaligus.
Dan, biasanya karena bernyanyi dengan benar, wajah tidak akan tampan atau cantik lagi.
Pertanyaannya adalah, bagaimana sebuah paduan suara akan menghasilkan suara yang padu jika hidung dan mulut para penyanyinya ditutup oleh masker?
Dalam new ‘habitus baru” normal, para ahli kesehatan menyerankan, mulut dan hidup tetap terbuka ketika sedang berolahraga karena terkait dengan pernafasan.
Jika mulut dan hidung tertutup masker, olahragawan akan menghadapi risiko buruk atas kondisi tubuhnya karena asupan udara yang kurang.
Dalam tatanan kehidupan baru ini, pesan ahli kesehatan itu juga berlaku bagi para penyanyi paduan suara. Masker tidak mungkin dikenakan karena akan menghalangi mulut dan sekaligus hidung dalam bernafas.
Hanya saja, apakah ini tidak akan menyalahi protokol kesehatan jika masker dicopot ketika bernyanyi dalam paduan suara? Berapa luas ruangan dibutuhkan untuk sebuah paduan suara berlatih?
Selain mematikan paduan suara, dalam konteks ini, covid-19 menghapus ungkapan, “bene cantat, bis orat – yang bernyanyi dengan baik berarti berdoa dua kali”, karena tidak ada satu pun paduan suara yang memenuhi kriteria bernyanyi dengan baik karena mulut dan hidungnya tertutup masker.
Teknologi
Jika paduan suara mati, apakah pagelaran, festival, pesta paduan suara mati juga?
Sejauh belum ditemukan penawar covid-19, pageralan, festival, atau pesta paduan suara yang melibatkan interaksi antar manusia akan menghilang jika enggan dikatakan mati. Protokol kesehatan akan sama penting dan mahal biayanya dengan lomba (pagelaran) paduan suara itu sendiri.
Kris Biantoro, penyanyi legendaris dan sekaligus maestro of MC, mengatakan, “I need money, but I am not for sale”.
Ungkapan ini untuk menjelaskan, “seorang artis tidak hanya membutuhkan honor, tetapi juga membutuhkan tepuk tangan”.
Dalam sebuah pertunjukan, tepuk tangan sama mahalnya dengan honor yang diberikan pihak panitia.
Setiap pagelaran membutuhkan penonton untuk memberkan apresiasi atas kualitas performans para artisnya yang luar biasa. Setidaknya, apresiasi itu terwujud dari membahananya “tepuk tangan” dari tempat pengunjung.
Dengan berkembangnya Covid-19, orang mulai beramai-ramai bernyanyi bersama tidak hanya dari berbagi kelompok dalam satu kota tetapi juga dari berbagai negara yang kemudian mempostingnya di YouTube dalam bentuk video.
Dalam konteks paduan suara, hasil video sebaik apa pun tidak memresentasikan kualitas sebuah paduan suara asli karena merupakan hasil editan.
“Fairness” tidak mungkin tercapai ketika sebuah lomba paduan suara dalam bentuk video yang ditayangkan di media sosial mengingat teknologi pengambilan suara tidak sama kualitasnya.
Namun yang lebih penting dari itu semua, dalam masa pandemi ini, jangan berharap mendapatkan tepuk tangan dari para penontoh yang oleh Kris Biantoro dikatakan sebagai “nilai batin” tak terukur dan sekaligus penanda dari meriahnya sebuah prehalatan.
Dalam lomba via teknologi yang akan didapatkan hanya “like and dislike”.
Yang perlu diingat, paduan suara tidak hanya soal beryanyi, tetapi juga menyangkut membangun relasi yang guyub dalam sebuah komunitas, kedisiplinan, soal ketaatan pada aturan, dan juga soal toleransi.
Sehingga dalam konteks ini, tidak perlu diperdebatkan lagi “The song or the singer”, tetapi harus dicari jalan keluar bagaimana paduan suara untuk bisa eksis agar “The Song” terus dinyanyikan.