Pijar Vatikan II: Fransiska Iyangsari, Anak Kandung FC Palaunsoeka – Tokoh Nasional Dayak Katolik (38F)

0
1,203 views
Keluarga Dayak Katolik Palaunsoeka dari Putussibau Kapuas Hulu di Kalbar by Ist

SELAIN Ekaristi, tentu saja sumber energi cinta yang tak pernah habis dalam diri almarhumah Bu Siska, adalah keluarga besarnya. Kacang mongso ninggala lanjaran, kata sebuah kebijakan Jawa.

Kacang panjang tak mungkin meninggalkan bambu yang menyangganya. Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya.

Seorang Siska Harinowo memiliki energi cinta yang begitu “dahsyat” karena memang “dari sononya” ia dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga yang hebat, keluarga yang  penuh cinta.

Ibu Siska Harinowo adalah puteri kelima dari pasangan Bapak Frans Conrad Palaunsoeka dan Ibu Maria Untot Nyangun. Pak Palaunsoeka dan Ibu Maria dikaruniai 10 putera dan puteri:

  1. Maria Martina Palaunsoeka.
  2. Joseph Thomas Palaunsoeka.
  3. Anna Victoria Palaunsoeka.
  4. Margaretha Joanna Palaunsoeka.
  5. Fransiska Huberta Palaunsoeka.
  6. Eugenne Yohanes Palaunsoeka.
  7. Theodorus Manalo Palaunsoeka.
  8. Bhenedektus Mulia Palaunsoeka.
  9. Raja Conrad Isaray Palaunsoeka (almarhum).
  10. Fransiskus Nyalaturi Palaunsoeka.

Tokoh Dayak Katolik di Kalbar dari Putussibau

Menurut banyak penulis sejarah, khususnya penulis tokoh nasional dari Kalimantan Barat, FC Palaunsoeka, ayah kandung almarhumah Ibu Siska, adalah tokoh Dayak dan tokoh Katolik Kalimantan Barat yang besar. Bisa jadi malah tokoh terbesar di Kalbar.

Nama Palaunsoeka sudah menjadi nama yang melegenda di kalangan orang Dayak.

FC Palaunsoeka lahir di Desa Malapi, Putussibau, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, pada tanggal 19 Mei 1923, dari pasangan Daun Ma’ Neiding dan Rengen Soeka.

Panggilan sehari-harinya adalah Palaun. Sedangkan Soeka adalah marga dari ibunya yang merupakan Samagat (bangsawan dalam suku Dayak Taman).

Selama hidupnya, Palaunsoeka cinta betul akan budaya Dayak, terutama Dayak dari Suku Taman. Pada tahun 1940-an itu, orang-orang Kalimantan belum berani mempertunjukkan seni dan budaya Dayak. Namun Palaunsoeka sudah memperkenalkan pakaian dan tarian dayak dari suku Taman.

Ia tak segan-segan menggunakan Tengkulas (penutup kepala) yang biasa digunakan pria dari suku Dayak Taman. Selain pencinta seni, Palaunsoeka adalah pencinta musik dan koor. Pada tahun 1949, ia menciptakan beberapa lagu bertema daerah Dayak.

Lagu Mars Daya (Dayak) yang ia ciptakan, sampai sekarang menjadi  lagu mars seluruh masyarakat Dayak di Indonesia dan Malaysia.

Terjun ke politik

Sebelum terjun ke dunia politik, Palaun adalah seorang guru, penulis dan wartawan. Ia lulusan Seminari Nyarumkop Kalimantan Barat tahun 1941. Ia pernah kuliah di Fakultas Hukum, namun tidak selesai. Ia juga pernah mengikuti  Kursus Notaris.

Sebelum Kemerdekaan, Palaunsoeka pernah menjadi guru Taisyo dan Bahasa Jepang di Putussibau. Ia juga menjadi Shodancho di Kapuas, serta menjadi Seinandan di Putussibau.

Palaunsoeka tercatat pernah menjadi wartawan Keadilan dan Suluh Kalimantan pada tahun 1948–1949.

Ikut mendirikan Harian Kompas

Pada tahun 1965, ia menjadi Penulis I (Pimpinan Redaksi) Harian Kompas. Melihat perawakan yang ganteng dengan tinggi 180 cm, hidung mancung, mata kecoklatan dan kulit berwarna kemerahan, tak ada yang mengira bahwa pria cerdas ini merupakan orang Dayak dari Suku Taman Kapuas Hulu.

Ia satu dari sedikit tokoh nasional Katolik yang menjadi anggota MPR/DPR RI terlama, yaitu 42 tahun. Karirnya di dunia parlemen, ia rintis sejak tahun 1948.

Usia 25 tahun Palaunsoeka sudah menjadi anggota parlemen Partai Daya’ (Partai Dayak), Partai Katolik, dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sebuah prestasi yang sangat luar biasa, mengingat pada tahun 1940-an itu, belum ada jalan darat yang menghubungkan desanya di Malapi Putussibau, Kapuas Hulu dengan Pontianak, Ibukota provinsi Kalimantan Barat.

Warga masih menggunakan transportasi sungai. Namun dengan tekad dan semangatnya untuk maju, Palaun menunjukkan bahwa Lelaki Uncak Kapuas tak kalah bersaing dengan daerah-daerah lain.

Menurut Marselina Maryani dalam blog-nya, seperti kakeknya Bale Polokayu, FC Palaunsoeka memang terlahir sebagai pemimpin dan tokoh. Hidupnya merakyat dan dekat dengan orang-orang kecil.

Ramah dan selalu berbuat untuk orang banyak. Kalau beliau hendak menuju daerah Sanggau dan melewati beberapa kabupaten dan kecamatan, beliau pasti turun dari mobil untuk bersalaman dengan masyarakat di situ.

Walau sebentar, namun Palaunsoeka selalu melakukannya. Tidak semua tokoh mau berbuat seperti itu. Bahkan jika beliau berada di Pontianak, berduyun-duyun orang mendatanginya. Tak seorang pun ditolaknya.

Padahal, sebagian besar orang-orang itu ingin bertemu, hanya karena mau minta uang atau bantuan. “Sikap yang melayani dan rendah hati seperti ini, sudah langka kita temui pada para wakil rakyat sekarang,” kata Maryani.

Perjuangan FC Palaunsoeka untuk masyarakat Dayak, untuk masyarakat dan untuk Gereja, menjadi kenangan yang sudah melegenda di hati masyarakat Kalimantan Barat. Selama hidupnya, Palaun mengabdikan dirinya hanya untuk partai, suku, Gereja dan orang-orang yang berkekurangan.

Palaunsoeka, ayah kandung alm. Bu Siska ini, dikenal sebagai seorang tokoh yang taat dan takut akan Tuhan. Ketika ajaran-ajaran komunisme merebak, Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik dan menolak ajaran komunisme.

Di zaman Republik Indonesia Serikat (RIS), Palaunsoeka juga menyatakan diri pro NKRI. Beliau tidak mudah terpengaruh dengan masuknya hal-hal baru yang berkembang di dunia perpolitikan.

Menurut Marselina Maryani, Palaunsoeka  sangat berhati-hati dalam perpolitikan. Sampai akhir hayatnya, Palaunsoeka dikenal sebagai tokoh yang bersih dan berintegritas tinggi.

Dismas Aju, penulis buku biographi FC Palaunsoeka, Pendiri Partai Persatuan Dayak dan Harian Kompas menceritakan ketika Palaunsoeka menjadi guru di salah satu sekolah Katolik di Kalimantan Barat, ia bertemu Pastor Adikarjana SJ, seorang Jesuit prIbumi yang lolos dari sekapan tentara Jepang.

Atas desakan dari Pastor Adikarjana SJ, Palaunsoeka mendirikan gerakan Dayak in Action (DIA) pada tanggal 30 Nopember 1945. DIA kemudian berubah menjadi Partai Persatuan Dayak (PPD) tahun 1946.

Lewat PPD, Palaunsoeka kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selama 37 tahun, dari 22 Desember 1948 hingga 26 Maret 1988.

Pada tahun 1963, PPD resmi dIbubarkan karena tidak mencapai ketentuan ambang batas minimal pada saat itu yaitu hadir di lima provinsi. Kemudian Palaunsoeka bergabung dengan Partai Katolik, yang menghantarkannya berkiprah di tingkat nasional dan mengenal banyak tokoh nasional.

Saat menjadi anggota DPR, Palaunsoeka bersama Frans Seda, Jacob Oetama, PK Ojong, dan lain-lain mendirikan Harian Pagi Kompas, atas anjuran Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan disetujui Presiden Soekarno pada 28 Juni 1965.

Harian Kompas didirikan untuk mengimbangi agitasi Partai Komunis Indonesia (PKI) melalui Harian Rakjat. Saat pertama kali terbit, jabatan Palaunsoeka di Harian Kompas adalah Penulis I, sedangkan Jacob Oetama sebagai Penulis II, yang sekarang setara dengan Pemimpin Redaksi.

Pada masa itu, persyaratan untuk mendirikan sebuah surat kabar bukan hal yang gampang. Pemberian izin penerbitan Harian Kompas harus memenuhi persyaratan 3.000 pelanggan terlebih dahulu.

Pemimpin redaksi atau ketika itu disebut Ketua Tim Penulis diketuai oleh Palaunsoeka. Awalnya, Harian Kompas yang diusulkan dengan nama Bentara Rakyat diganti Presiden Soekarno dengan nama Kompas.

Dalam perjalanannya Harian Kompas pernah dilarang terbit (dibreidel) karena memberitakan peristiwa G30S PKI dan aksi-aksi demonstrasi mahasiswa. Pada tahun 1970, Palaunsoeka meninggalkan Harian Kompas lantaran sIbuk di bidang politik bersama Frans Seda.

Lima tahun kemudian, terhitung pada tahun 1975 hingga 1982, Palaunsoeka menjadi staf ahli Badan Intelijen Negara (BIN).

Di BIN, ia menjadi analis pergerakan komunis di Eropa Timur. Dalam buku FC Palaunsoeka, Pendiri Partai Persatuan Dayak dan Harian Kompas tersebut, Palaunsoeka juga disebutkan sebagai salah satu politisi yang dipercaya Presiden Soeharto membantu proses integrasi Timor Timur menjadi provinsi Indonesia ke-27 pada tahun 1975.

Kiprah Palaunsoeka di bidang politik, dapat dijadikan panutan bagi generasi penerus, karena dinilai tidak tamak akan kekuasaan. (Berlanjut)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here