KEJADIAN sekian bulan lampau, ketika saya berdua dengan adik sepupu, Didi Rosidi. Kami berjalan di antara nisan-nisan di makam Jeruk Purut, untuk melayat saudara yang akan dimakamkan di sana. Kami sedang kesripahan.
Tiba-tiba, sebuah batu sebesar kepalan orang dewasa, mengganjal langkah. Saya terhuyung. Dengan sigap Didi memegang lengan saya. Saya urung jatuh dan berdiri tegak lagi.
Sejenak sebelum melangkah kembali, saya ambil batu pengganjal tadi. Memindahkannya ke pinggir jalan setapak yang kami lalui. Kami meneruskan perjalanan seperti sediakala.
Tanpa diduga, Didi mengomentari peristiwa barusan.
“Itu tadi sedekah. Menyingkirkan batu untuk menghindarkan kecelakaan serupa yang bisa menimpa orang lain.”
Saya terdiam sejenak. Baru sadar bahwa tindakan spontan seperti itu termasuk sedekah. Padahal itu saya lakukan begitu saja, cenderung refleks.
Liang lahat sudah di depan kami dan upacara pemakaman akan dimulai. Diskusi yang mestinya bakal menarik, harus berhenti.
Sejak itu, konsep sedekah di kepala saya berangsur berubah. Lebih-lebih setelah kemudian menonton video viral tentang seorang simbah (nenek) yang jual makanan di pinggir jalan.
Setiap kali ada pembeli, sang simbah “membuang” 1-2 sendok gula jawa cair (Bahasa Jawa: kinco, juruh). Niatnya mulia, meski tak mudah memahaminya.
Simbah memberi “hidangan” untuk semut-semut yang ada di sekitar lokasinya berdagang. Alasannya sederhana.
Ketika diberkahi rezeki oleh Yang Maha Kuasa, seyogyanya dia juga “memberi” kepada makhluk hidup lainnya, meski hanya 1-2 tetes gula. Simbah tak terusik, meski semut-semut itu tak pernah mengucapkan terima kasih.
Sedekah terus dilakukannya.
Keyakinan bahwa Pencipta Agung menyelenggarakan kehidupan secara timbal-balik, telah menuntun simbah untuk berbuat baik bagi ciptaanNya. Entah ada atau tidak kaitannya, dagangan simbah selalu laris-manis. Habis tak bersisa menjelang tengah hari.
Istilah “timbal-balik” semakin jelas rohnya, ketika sedekah disebutkan mengandung implikasi “reward” (balasan, penghargaan). Sedekah yang tulus mengartikan “balasan” sebagai konsekuensi. Bukan tujuan.
“Juallah segala milikmu dan berilah sedekah. Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan tidak dirusakkan ngengat.” (Lukas 12:33).
Kisah tentang simbah menambah kental pengertian saya tentang sedekah. Sesuatu yang semula saya artikan sebagai “membagi harta dalam bentuk uang atau barang”, berkembang lebih luas dan dalam. “Semua perbuatan baik yang menimbulkan manfaat bagi seluruh jagad beserta isinya,”
Itulah sedekah.
Pak Kus, tetangga saya yang berusia sekira 70 tahun, bersedekah dengan membersihkan selokan. Tak hanya di depan rumahnya saja, tapi hampir sepanjang jalan. Nyaris tiap hari, menjelajahi saluran yang penuh sampah dengan air warna kehitaman.
Dia tak peduli, apakah tetangga-tetangganya mengikuti perbuatan amal-sholehnya atau bahkan berlomba-lomba membuang sampah tak pada tempatnya.
Sedekah yang tulus dilakukan tanpa syarat.
Sedekah dimaknai sebagai hal yang transendental. Tidak hanya relasi horizontal semata-mata, tetapi juga vertikal. Menambah “tabungan” pengalaman personal dalam perjumpaan dengan Yang Ilahi dan sesama di ruang yang suwung.
Ketika mencari rujukan lain untuk menguatkan pengalaman iman yang saya alami, sahabat saya, Harry Hartoyo, mengirim teks yang sahih. “…Dan kamu membuang gangguan dari jalan adalah sedekah”. (HR al- Bukhari, no 2989).
“Membuang gangguan, menyingkirkan segala yang dapat mengganggu orang yang berjalan, berupa kotoran, duri, batu dan sejenisnya.”
Kisah Didi, simbah dan pak Kus meninggalkan kesan tersendiri di dalam dada saya. Sejatinya, mudah berbuat baik bagi ciptaanNya. Tidak harus banyak harta, atau berlebih apa pun, baru memulainya. Tanpa catatan, tak ada kondisi khusus.
Sekarang pun bisa.
“Give, if thou can, an alms; if not, a sweet and gentle word.” (Owen Feltham – Penulis terkenal asal Inggris).
@pmsusbandono 23 Juni 2020