MEMANDANG langsung wajah almarhum Mgr. Julianus Sunarka SJ hanya sekali. Itu pun dari jauh. Boleh memandang wajah beliau, saat berkunjung ke Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogja, pada akhir Januari 1987.
Saat itu, beliau menjadi Rektor Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan, Yogyakarta.
Saat itu seminaris di Tahun Rohani Sanjaya, Jangli, Semarang, diizinkan menginap di Seminari Tinggi untuk membantu persiapan tahbisan diakon. Membantu opera magna, kerja rumah besar-besaran.
Setelah mengundurkan diri sebagai seminaris untuk Keuskupan Purwokerto dari Tahun Rohani, tak pernah sekalipun bertemu dan bertatap muka.
Tetapi, karya beliau selalu diikuti, misalnya, selepas dari karya sebagai rektor, beliau menjadi Ketua PSE-KWI.
Saat beliau berkarya di PSE-KWI, kontak pun dilakukan melalui surat dan proposal untuk mohon bantuan keuangan.
Projek yang dikelola bersama Romo AE Eko Aldilanto O.Carm mencakup antara lain bea siswa untuk anak-anak yang tedampak krisis moneter, asrama dan pemberdayaan. Maka, selalu berterima kasih atas jasa beliau.
Saat beliau menjadi Uskup Keuskupan Purwokerto, dari Jember saya mengirim surat untuk beliau. Intinya: Romo, mohon pelayanan Gereja Katolik untuk para binaan di lapas. Belum ada layanan dari Gereja Katolik. Yang ada layanan dari Gereja lain.
Sepuluh hari berikut, sepucuk surat beralamat Keuskupan Purwokerto saya buka. Jawaban beliau, “Aku wis dhawuh Paroki Cilacap. Disembahyangke.” Saya sudah memerintahkan Paroki Cilacap. Didoakan selalu.
Sejak itu, Gereja Katolik hadir di lembaga pemasyarakatan.
Dua bulan berikut, pertengahan Desember 2000, sepucuk kartu Natal diterima. Terbaca: Sugeng Natal. Gusti berkahi, Selamat Natal. Berkat Tuhan
Sugeng tindak, Mgr. Kema. Hanya berjumpa lewat surat.
Deducant te angeli in paradisum et maneas in caelo cum Iesu. Semoga para malaikat mengantarmu ke surga dan tinggal bersama Yesus.