Artikel Politik: Hagia Sophia, Kegemparan Baru Erdogan (1)

0
426 views
Bangunan bersejarah Hagia Sophia yang dulunya Gereja Katedral, lalu menjadi Masjid, dan kemudian ditetapkan sebagai museum budaya, dan kini kembali lagi difungsikan sebagai masjid oleh Presiden Erdogan. (Deesis Edith Mesiani/Sesawi.Net)

PRESIDEN Turki saat ini adalah Recep Tayyip Erdoğan. Ia menjadi presiden ke-12 di negeri indah dengan mayoritas penduduknya Muslim namun menganut sistem politik sekuler ini. Kondisi Turki Modern yang seperti ini tentu saja tidak bisa dipisahkan dari sejarah masa lalu Turki.

Dan tentang hal ini, kita bisa bicara bahwa hal ini merupakan warisan politik Bapak Nasional Turki sekaligus Pendiri Turki Modern yakni Mustafa Kemal Atatürk (1881–1938).

Atatürk adalah seorang jenderal, perwira militer yang kenyang dengan pengalaman perang. Jasanya terbesar bagi Turki adalah keberhasilannya membawa negaranya menjadi modern. Juga sekuler. Artinya, semua sendi kehidupan berbangsa dan bermasyarakat tunduk pada hukum nasional. Bukan hukum agama.

Sohibnya Amerika dan NATO

Karenanya, negara indah yang menghubungkan dua benua –Asia dan Eropa—ini dalam banyak tahun lamanya selalu menjadi sohib-nya Amerika.

Dari landasan pacu Pangkalan Udara Incirlik inilah, berbagai pesawat tempur dan pembom AS dan NATO bisa meluncur ke angkasa. Dan sejurus kemudian, jet pembom itu lalu bisa menjatuhkan bom-bom berkendali laser ke daratan Irak. Sedangkan jet fighter-nya bisa melakukan dog fight melawan jet-jet tempur “negara tetangganya” di sebelah Timur.

Dari Pangkalan Udara Incirlik inilah, Amerika Serikat bersama Allied Forces-nya kemudian berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Irak Saddam Hussein.

Tapi itu tempo dulu. Terutama dalam Perang Teluk jilid pertama tahun 1991 dan jilid kedua tahun 2003. Tentu bisa dibayangkan, kalau misalnya Turki sampai tidak mau “meminjamkan” Incirlik Air Force Base ini kepada Washington dan Brussels dalam dua episode perang dahsyat untuk menyingkirkan presiden Irak yang sangat kharismatis ini.

Berbagai jenis pesawat tempur Barat ada di Incirlik Air Force Base Turki by ist.

Maka, pangkalan udara militer Aviano Air Force Base di Italia akan menjadi pilihannya terbaiknya. Dan itu berarti biaya operasi militer akan melambung sangat tinggi. Karena harus dilakukan aerial refueling untuk jet-jet tempur AS dan NATO dalam penerbangan bolak-balik ke Irak dari Italia.

Duri dalam daging-nya NATO

Tahun-tahun terakhir ini, Turki tidak lagi menjadi “sohib” yang menyenangkan bagi NATO dan AS. Ini terjadi, ketika Turki berada di bawah kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdoğan.  

Bagi sejumlah negara anggota NATO dan Uni Eropa –utamanya Yunani, Italia, Cyprus, dan Albania— Ankara sering kali dituding telah berlaku “menyebalkan”.

Gara-gara Erdogan sering melontarkan ancamannya yakni akan membuka arus pengungsi Suriah agar bisa membanjiri Eropa. Kalau hal ini sampai terjadi, maka Eropa akan kewalahan mengatasinya.

Pengalaman Jerman yang pernah mengambil kebijakan “lunak” terhadap banjirnya pengungsi dari kawasan Timur Tengah dan Afrika Barat adalah buktinya. Dan atas perkara yang teramat sensitif ini, NATO dan Uni Eropa lantas merasa tersudut, setiap kali Erdogan melontarkan ancamannya.

AS marah, Turki pilih rudal S-400 Rusia

Sedangkan bagi AS, Erdogan dianggap sudah tidak lagi menjadi “sohib” yang baik karena telah mengingkari janjinya akan membeli perangkat perang dari Washington. Alih-alih membeli sistem pertahanan udara melawan jet-jet tempur dan pesawat pembom musuh, Ankara lalu memalingkan mukanya dari Pentagon.

Semula, Ankara berminat membeli baterei rudal pertahanan udara Patriot dari Pentagon. Namun sejak Washington berkelit tidak mau menjual F-35 Lighting II besutan Lockheed Martin karena berbagai alasan, akhirnya Ankara berpaling ke Moskwa.

Tentu saja Presiden Rusia Vladimir Putin tersenyum lebar, ketika sistem baterei pertahanan udara S-400 akhirnya mau dilirik Erdogan.

Sistem pertahanan darat anti serangan udara Turki yang mengandalkan baterei rudal S-400 buatan Rusia. (Ist)

AS dan NATO pantas mencemaskan pilihan Ankara akan sistem pertahanan udara S-400 besutan Rusia ini. Tak ayal lagi, jet-jet tempur mereka akan rontok, kalau diserang oleh rudal-rudal anti serangan udara yang di pasaran dikenal dengan nama S-400.

Konon, S-400 ini juga mampu menghadang jet tempur paling mahal sedunia F-35 buatan AS. Jet tempur spesifikasi stealth versi paling modern dan amat canggih ini hanya dimiliki sejumlah negara yang menjadi “sekutu dekat” AS – di antaranya Israel.

Di arena pertempuran “perang saudara” di Irak, Turki juga berseberangan dengan NATO dan AS. Terutama dalam menentukan sikap politik dan aksi militernya terhadap PKK (Partiya Karker Kurdistan, Kurdistan Worker’s Party) yang oleh Ankara dicap sebagai teroris dan penganggu keamanan di wilayah perbatasan Turki-Suriah.

Ambisi politik Erdogan

Turki ikut “bermain” di Suriah, tak lama setelah Presiden AS Donald Trump tanggal 6 Oktober 2019 tiba-tiba saja secara sepihak –tanpa konsultasi dengan NATO—langsung memutuskan agar para GIs –sebutan populer untuk para serdadu Amerika—segera meninggalkan kawasan perbatasan Turki-Suriah menuju ke “Timur”.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan by Wiki.

Keputusan Gedung Putih dadakan ini tentu saja mengagetkan, selain motivasi Pentagon memang hanya ingin melindungi sumur-sumur minyak di Suriah Timur yang masuk  wilayah otoritas Kurdi.

Ini menyenangkan Erdogan. Ia masuk Suriah dengan membawa perangkat militernya di bawah sandi Barış Pınarı Harekâtı atau Operation Peace Spring. Kehadiran Turkish Armed Forces (TAF) di Suriah ini disambut mesra oleh mitranya dari Suriah: Syrian National Army (SNA).

Tujuannya untuk menggempur pertahanan dan wilayah-wilayah strategis di Suriah Utara yang waktu itu masih dikuasai Syrian Democratic Forces (SDF) dan Syrian Arab Army (SAA).

Sejenak kilas, TAF berhasil memenangkan pertempuran. Namun, ketika Rusia mengerahkan jet-jet tempurnya untuk menghalau pasukan darat Turki, Erdogan mulai kecut hati. Harap maklum, Rusia berada di belakang membantu rezim Suriah di bawah kekuasaan Presiden Bashar al-Assad.

Turki membantu LNA di Libya

Kini, hal yang sama kembali terjadi di Libya. TAF membantu GNA (Government of National Accord) –nama lembaga Pemerintah Resmi Libya yang diakui oleh PBB yang berbasis di Ibukota Tripoli. Tokoh pentingnya adalah PM sekaligus Menhan Fayez al-Sarraj.

Di belakang GNA dan Fayez al-Sarraj adalah Italia, Turki, dan gerilyawan bersenjata dari sejumlah suku lokal yang berafiliasi dengan organisasi-organisasi keagamaan.

Sedangkan lawan GNA adalah LNA (Libyan National Army) besutan Marsekal Khalifa Haftar yang oleh dunia internasional disebut renegade military commander. Di bawah komandonya, pasukannya hingga kini masih menguasai kawasan Libya Timur di mana sumur-sumur minyak berada.

Libya kawasan timur yang kini dalam kekuasaan GNA adalah sumber devisa negara. Sekedar tahu saja, Libya adalah menduduki peringkat nomor satu di Afrika sebagai pengimpor minyak mentah. Juga menduduki peringkat nomor 10 di antara negara-negara penghasil minyak mentah sedunia.

Marsekal Khalifah Haftar pemimpin oposisi LNA melawan rezim pemerintahan Libya GNA di kawasan Libya Timur. (Ist)

Karena kaya akan minyak,maka tidak heran kalau GNA selalu mendapat sokongan dari negara-negara tetangga dan negara asing. Berdiri di belakang LNA dan HOR (House of Representatives) Libya yang mengusai kawasan timur adalah Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi, dan Perancis.

Dalam kaitannya dengan Presiden Turki Erdogan, bisa disebut insiden terbaru dengan anggota NATO. Baru saja, Paris marah besar kepada Ankara. Ini terjadi, karena kapal fregat Courbet Perancis yang tengah beroperasi di Laut Mediterania mengemban misi NATO tiba-tiba saja dihadang dengan moncong meriam oleh Angkatan Laut Turki.

Dari peta politik dan kubu perang saudara di Libya ini saja sudah menjadi jelas bahwa Turki kembali berseberangan dengan NATO dan Amerika Serikat. Setelah sebelumnya juga berbeda kepentingan politik di Suriah Utara dengan Rusia, Amerika, Irak, dan juga Iran.

Hagia Sophia jadi masjid

Kini, kehebohan baru diretas lagi oleh Presiden Erdogan. Kali ini, yang dibuat gusar bukan saja masyarakat internasional, dunia politik, para pemerhati arsitektur dan lembaga PBB pelestari gedung-gedung bersejarah yakni UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation).

Lebih dari itu, dunia turisme dan para pemimpin agama dari kalangan Kristiani juga ikut “berteriak”.

Lagi-lagi, protes besar dari masyarakat internasional, kaum agamawan dan dunia turisme ini terjadi lantaran “ulah” politik Presiden Recep Tayyip Erdoğan. Hari Jumat tanggal 10 Juli 2020 pekan lalu, Erdogan membuat kejutan besar bagi dunia.

Plang nama Hagia Sophia di Istanbul, Turki.

Mengikuti putusan pengadilan setempat, Erdogan menetapkan bahwa Hagia Sophia kini akan berubah “fungsi” dan statusnya.

Bukan lagi sebagai museum sebagaimana dikenal sejak tahun 1934 lantaran keputusan Kabinet Sekuler Mustafa Kemal Atatürk. Melainkan akan menjadi tempat ibadat bagi Umat Muslim sebagai masjid.

Mulai 20 Juli 2020 mendatang, demikian isi maklumat Presiden Erdogan, Hagia Sophia akan menjadi rumah ibadat bagi jemaat Muslim yang akan melakukan sembahyang mereka untuk pertama kalinya sejak Hagia Sophia ini resmi dideklarasikan sebagai masjid. (Berlanjut).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here