SEKALI lagi, aku sebagai seorang pastor yang pernah hidup sendiri di pastoran kecil sadar betul bahwa diriku sungguh tidak pernah luput dari godaan-godaan.
Apa itu? Godaannya adalah mencuri kehendak Allah dengan tindakan menyimpang dari peran sebagai pengantara.
- Bisa menjadi penguasa tunggal di paroki.
- Menjadi manajer tunggal untuk bisa kelola paroki.
- Berlaku diri layaknya big boss.
- Malahan bisa menjadi –katakanlah—sebagai “uskup kecil” di ranah udik.
Kapan semua bentuk godaan itu bisa terjadi menimpaku?
Godaan itu terjadi bila ada hal-hal sebagai berikut:
- Ketika berbuat sesuatu ada pamrihnya.
- Ada keinginan untuk menguntungkan diri sendiri entah dipuji, dihormati.
- Diam-diam ingin menumpuk harta di pastoran, di buku bank, di perusahaan milik saudara.
- Mengikat diri dengan umat yang sedang bermasalah.
- Atau mau mati-matian memperjuangkan segala sesuatu dalam waktu relatif singkat.
Akibatnya, tugas pokok sebagai imam malah kemudian diabaikan. Dan tidak jarang juga lalu dianggap enteng.
Bunda Maria menempatkan diri
Seperti Maria yang tahu menempatkan diri hanya sebagai pengantara, aku juga berusaha untuk melihat dengan kaca mata iman. Mana peranku sebagai seorang imam dan mana peranku sebagai seorang pribadi.
Dalam peristiwa perkawinan di Kana, Maria membiarkan Yesus berbuat sesuai dengan rencana-Nya. Maria tidak memaksakan kehendaknya.
Maria tidak menyombongkan diri bahwa insiatif untuk mendapat anggur baru berasal dari dirinya. Maria juga tidak berdebat dengan Yesus dalam menghadapi situasi krisis anggur.
Memainkan peran sebagai “perantara” dibutuhkan kerendahan hati dan kesetiaan pada janji-janji.
Dengan kerendahan hati, aku disadarkan akan posisi, kedudukan sebagai imam di tengah-tengah umat-Nya.
Dengan kesetiaan akan janji-janji imamat, aku diingatkan bukan rencana, kekuatan pribadiku yang diperjuangkan, melainkan biarlah Dialah yang semakin besar dan agung. (Berlanjut)