NASEHAT ini keluar dari alm. Romo Mangunwijaya. Pada kesempatan membahas pendidikan yang menjadi kepedulian tuntasnya.
Mulai dari kegiatannya mengajar arsitektur dan teknik di Universitas Gadjah Mada, menjadi pastor paroki, resmi sampai melaksanakan tugas khusus di edukasi dasar di Yogya dan cendekiawan lapangan yang terus memadukan antara teori dan praxis.
Mengapa?
Ranah hidup masyarakat itu ranah edukasi primer bersamaan dengan edukasi di keluarga. Di sana, sisi otak kiri dan otak kanan subjek menjadi manusia diintegrasikan untuk imbang.
Dewasa pertama-tama jadi ‘orang’ dahulu, sebelum jadi romo, ekonom, ahli ini dan itu yang merupakan profesi yang jadi wilayah pelayanan.
Alasan mengapa harus tinggal di pinggir Kali Code
Maka, saat berbincang-bincang lebih mendalam setiap jumpa, saya mencatat dan menyimak dengan ‘kaget’ alasannya. Yakni, mengapa akhirnya setelah berjuang membela orang kecil dengan advokasi di Kedung Ombo, lalu beliau sengaja sadar tinggal di pinggir Kali Code.
Yang “jembatannya bersejarah karena tempat melintas serangan umum para gerilya negeri 1949”: Jembatan Kali Code, demi bela agar warga ‘nggir-li’ = pinggir kali tidak jadi digusur demi pembangunan.
Romo menegaskan demi pendidikan manusia negeri tercinta ini, beliau harus merintis edukasi dasar: laboratorium pendidikan di Gang Kuwera serta eksperimen sekolah Mangunan di SD-nya saat itu tahun 1980-an lebih.
Krisis tentang ‘menjadi manusia’
Terjadi fenomena krisis jadi manusia, karena beliau menyimak fenomena tak ada guru humanis di Perguruan Tinggi. Ini beliau ekstrimkan dalam konteks di bawah rezim Soeharto di mana sikap kritis dilarang hidup dan ketawa pun dibatasi, sehingga ranah merdeka diri mati lemas.
Jadi, di Perguruan Tinggi, hanya guru-guru diktat, dan ‘penatar’ ilmu, maka pembaharuan pendidikan karakter manusiawi harus ke bawah, ke tingkat SMA, Sekolah Menengah Atas.
SMA, menurut Romo, juga krisis, tidak mengajak murid eksplorasi dan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan ingin tahu sebagai ungkapan takjub lingkungan dan peka mempertanyakan dalam logika sederhana: mengapa ada asap?
Pasti harus ada api.
Penalaran sebab dan akibat seperti ini kan pembelajaran dasar akal sehat biasa untuk misalnya mengenal diri Anda, mengapa pagi ini perut saya sakit mual? Karena tadi malam makan nasi ‘basi’ dengan sambal penuh lombok.
Setelah bertanya ke diri sendiri, ada gejala, lalu bertanya mengapanya dengan ingin tahu tajam-tajam.
Bila SMA pendidikan bermasalah, lalu yang disalahkan SLTP.
Dinamika Edukasi Dasar di SD Mangunan
SLTP menyalahkan dan mencari sebabnya di SD, begitulah ke bawah ditelusuri mengapanya dan akar soalnya. Karena itu, Romo Mangun memulai dari yang dasarnya dasar berdampingan dengan edukasi di keluarga dengan ‘edukasi dasar’ Mangunan.
Oleh karena edukasi itu proses belajar seluruh hidup sebagai sebuah proses, maka dicantumkanlah D = dinamika untuk petunjuk proses edukasi yang terus berkembang dalam DED = Dinamika Edukasi Dasar.
Menjadi manusia dulu
Menjadi manusia, dahululah, sebelum dibagi-bagi dalam ranking, urutan nomer hanya berdasar IQ = kemampuan intelektualnya.
Menjadi manusia yang manusiawi dahululah. Dengan dikembangkan kemampuan estetis, kemampuan kognisi, kemampuan religius dan ditumbuhkannya watak baik yang arahnya ke budi pekerti baik yang kemudian ditumbuhkan jadi ethos = sikap terhadap realitas hidup.
Dalam bahasa pilah-pilah matra psikologis dirinci pengembangan kecerdasan emosi (EQ); kecerdasan spiritual (SQ).
Kekhasan Dinamika Edukasi Dasar, secara sadar ditanamkan dalam praxis atau laku hidup. Maka, mengenal alam, tumbuh-tumbuhan, menamainya, mensyukurinya dengan nyanyi dan … belajar menulis pengalaman ‘langsung’ semesta ini dalam tulisan, dalam gambar dan amat penting dalam komunikasi bercerita bersama.
Amatan saya, proses diri yang menghayati atau mengalami, istilah kerennya (istilahku): the experiencing self ini disumberkan pada proses kesadaran menghayati saat atau momen yang satu ke momen yang berikutnya.
Bukan sebagai yang dipikirkan akal budi, namun sebagai yang dialami dengan hati, lima indra, lalu yang diproses di akal budi seara eksistensial sebagai aku yang sadar menghayati.
Misalnya mendengarkan uraian guru, atau mendengarkan kisah teman pun bila saya mendapat giliran untuk berbicara sebagai aku yang mengalami.
Begitu aku juga berkomunikasi berbicara dengan teman-teman, masuklah kesadaran si diri yang sedang berceritera: the narrative self.
Pengalaman
Aku yang berkisah ini pasti tidak menceritakan semuanya, tetapi fokus hanya pada pengalamanku yang enak, menggembirakan atau susah.
Semacam bercerita ‘puncak-puncak’ saat atau momen yang menyentuh dan yang berbuah sesuatu.
Aku yang berkisah ini mengambil pengalaman-pengalaman penting atau yang menyentuh sebagai isi kisah (cerita).
Menarik dari pengalaman mendengar cerita-cerita anak-anak ini, ada yang memulai dengan kalimat saya pikir, namun kebanyakan mengawalinya dengan saya rasa.
Waktu saya tanya (harus pertanyaan cerdas, ini salah satu pendidikan di DED yaitu menenamkan sikap bertanya yang cerdas, mendasar)
Mengapa kebanyakan anak mulai dengan ‘saya rasa’ pada Romo?
Beliau tertawa dan menyindir gaya Yogya, “Lho kita orang Jawa kan rasa perasa ke-Timuran-nya lebih dipakai untuk omong dan diskusi dari pada pikirannya”.
Stigmatisasi ‘Timur roso’ dan barat itu rasional, pikir?
Tidak seratus persen salah, namun karena cap logika yang biasa ditempelkan tanpa penelitian lapangan yang mencukupi, terlanjur kita menyuburkan pemeo bahwa ‘Timur’ itu mudah tersinggung rasa perasa, sedang barat lebih ‘dingin’ dengan budi mengontrol emosi.
“Lha, kata saya, ini studi poskolonialisme persisnya yang mulai belajar deskripsi fenomen-fenomennya, gejala-gejala di lapangan, lalu baru mendekonstruksi ‘stigmatisasi apriori’.
Atau pendapat yang diterus-teruskan secara tidak kritis dengan maksud menaruh masyarakat yang pernah dijajah (postcolonial) selalu diposisikan ‘inferior’ selamanya dan ditelikung cap terjajah yang butuh pemerdekaan melalui edukasi.
Pengamatan atas fenomena
Di DED, akan dijumpai bagaimana meriah anak-anak mengamati balon berutar di poros tengah yang udaranya begitu dikosongkan akan bergerak memutar untuk paham gerak putar, lalu sentrifugal: lari dari pusat. Dan gerak sentripetal: menuju ke pusat.
Suasana gembira, ingin tahu, eksplorasi terus dan tetap belajar diam mendengar kisah teman yang sedang bicara.
Terus-menerus ditanamkan dalam kesadaran termasuk nanti proses menamai atau memberi ‘makna’ pada tindakan atau dengan alfabetisasi, aksara mulai dengan pelajaran literasi, terbuka mata menyusun kata dari materi abjad A, B, C, D, E, F, sampai Z.
Tidak ada ruang untuk menghafalkan, tidak ada ruang untuk takut atau malu bertanya, dilatih menghargai the narrating self yang mengisahkan the experiencing self dengan hati gembira dan mata terbelalak terbuka karena siap berteriak “woow” atau “oh, hebaaatt”
Saat puncak-puncak kisah teman menyentuh pengalaman yang sama semisal menyandung batu hingga hampir jatuh karena mata indra tidak fokus ke diri yang sedang jalan kaki.
Menjadi manusia dalam DED, lalu berarti belajar menjadi manusiawi lebih dahulu yang kenal diri, peduli sekitar, kenal alam, peduli pula terlebih tertanam sikap take care of temannya, apalagi yang sedang sakit atau butuh dibantu.
Menjadi manusia manusiawi, menjalani laku hidup dengan budi pekerti baik artinya sopan, menghargai teman sekaligus menerima hormat dirinya yang berharga lantaran berharkat dihadapan Tuhan.
Belajar untuk benar dalam kata, baik untuk tindak, religius suci untuk sikap batin doa dan berseni dalam tampil berbaju, berdandan karena mensyukuri diberi anugerah tubuh dari Tuhan yang mesti dirawat dan sehat untuk bergerak, berlari, berjalan, ber’dinamika’.
Salah satu cara menanamkan sikap ingin tahu dan mendasar adalah dengan terus belajar bertanya secara mendasar. Hampir 6 bulan dibutuhkan untuk keluar dari cara membuat pertanyaan yang klise.
Itu-itu saja, bahkan nyontek bentuk pertanyaan dari buku pelajaran sekolah.
Ketika dilatih dengan memberi tugas untuk membuat pertanyaan ‘mendasar’, maka para siswa langsung membuka buku pelajaran sekolah dan meniru bentuk-bentuk pertanyaan dari situ, bahkan menyonteknya cepat-cepat.
Baru setelah berproses 6 bulan, muncullah pertanyaan pokok: Mengapa pohon mangga di sekolahku tidak berbuah? Mengapa pohon mangga di tetanggaku berbuah?
Jawabannya eksploratif adalah karena mangga yang di tetangga dirawat dan disirami. Sedang yang di sekolah, setiap kali akan berbuah sudah diambil anak-anak dan tak terpelihara.
Menjadi manusia dululah, baru lainnya
Menjadi manusia lebih dahulukah. Akhirnya menjadi terminal akhir, retret sebelum tahbisan. Kelompok calon imam yang kebanyakan selalu studi di luar tanahair, untuk minta ditempatkan dalam tugas awal setelah tahbisan untuk ditempatkan di paroki dhusun atau desa.
Dengan kesepakatan bersama untuk belajar dahulu menjadi imam yang baik di masyarakat, sehingga ungkapan cita-cita ‘pastor bonus’: gembala yang baik dihayati lebih dahulu menjadi orang baik, lalu belajar menjadi imam baik dengan laku sahaja yang guru-gurunya adalah umat di paroki-paroki.
Bukankah panggilan imamat adalah menjadi berkah buat sesama. Bukankah berkah Allah itu mesti melalui imam-imam yang manusiawi dan baik yang dikenal melalui pengalaman ke umat utamanya dan bukan karena ia lulusan S2 ini atau S3 itu?
Di masyarakat yang orientasi nilai ke atas amat dominan, nasehat alm. Romo Mangun menjadi kunci untuk melayani dan bukan dilayani sebagai ‘tuan’, bahkan ditempatkan tinggi sebagai ‘priyayi feodal’, itu pesan beliau yang terngiang terus.
Bagus..menyentuh, terima kasih banyak atas tulisannya Romo Mudji