Yer 18:1-6
SATU bulan yang lalu, seorang sahabat membagi pengalaman hidupnya kepadaku. Dia memulai sharing pengalaman hidupnyademikian.
Kakak iparku dipanggil Tuhan. Dia memang sakit hampir setahun. Saat kakak iparku sakit, semua kebutuhan keluarganya ditanggung oleh kakak kandungku.
Enam bulan pertama, ketika dia merawat istrinya, dia masih bersabar dan tabah sambil berdoa. Memasuki enam bulan berikutnya kesabaran dan ketabahannya pelan-pelan mulai terusik.
Dia mengontak saya memohon doa, dan melalui telpon dia mulai curhat.
Katanya, “Sepertinya Tuhan ini sudah tidak lagi mencintai hidupku. Kamu bilang rajinlah berdoa, berkerja dan beramal. Itu semua sudah aku penuhi, tetapi mengapa Dia menimpakan penderitaan yang hebat ini kepada diriku?
Isteriku yang menderita sakit dan yang setia aku rawat selama setahun tidak kunjung sembuh, bahkan akhirnya malah meninggal dunia.
Penderitaan tidak sampai di situ. Anakku yang duduk di bangku kuliah memutuskan untuk berhenti kuliah karena sakit.
Anak-anakku yang lain, sibuk dengan dunianya sendiri. Tidak mau membantu orang tuanya.
Semua ladang dan sawah terpaksa saya sendiri yang mengerjakan supaya ada penghasilan. Sepertinya, rencana dan harapan untuk meraih kehidupan yang layak dan bahagia semua hancur berkeping-keping.
Hidupku bagaikan kaca yang jatuh di lantai pecah terserak kemana-mana.
Aku semula bersusah payah menata hidup keluargaku, tetapi sekarang hancur berkeping-keping
Selanjutnya, dia berkata,.
Kakakku bingung dan frustasi. Dia sudah lelah dan kehabisan “tenaga” untuk membangun kembali mulai dari awal.
Membangun hidup dari nol, sangat tidak mudah. Apalagi usianya yang sudah tidak seproduktif dulu. Dia mulai pesimis dan pasrah berharap Tuhan memanggilnya pulang.
Ya… seperti itulah beban hidupku satu bulan terakhir ini”
Kisah pengalaman hidup sahabat saya ini berpasan dengan Firman Tuhan melalui Yeremia yang mengatakan. “Hidup manusia itu seperti tanah liat di tangan tukang periuk”.
Ada kalanya semua angan-angan yang kita bangun dengan baik, malah di tangan Tuhan dibiarkan jatuh ke lantai, hancur berkeping-keping.
Apa yang menurut kita, baik dan indah ternyata Tuhan malah melihatnya tidak baik.
Terkadang dorongan ambisi kita untuk menata hidup baik berdasarkan selera kita, malah berujung berantakan di tangan Tuhan.
Adanya respon yang berbeda inilah, kita diingatkan kembali bahwa hidup yang ditata oleh Tuhan itulah yang mempunyai unsur keindahan.
Kalau Tuhan menghancurkan hidup kita berkeping-keping, sangat mungkin saat itu, Dia sedang mulai menata kembali serpihan-serpihan pecahan yang tersisa menjadi lukisan hidup yang sangat indah.
Dengan demikian, kita paham bahwa lukisan hidup manusia menjadi indah atau tidak, semua tergantung seberapa sabar, tabah, dan taat kita mau hidup dibimbing oleh Firman Allah.
Itulah mengapa Pemazmur berkeyakinan, “Firman Allah itu bagaikan pelita yang menerangi sambil menyoroti jejak-jejak jalan hidup manusia” (bdk.Mzm 119:105).
Kalau kita hidup tanpa “pelita-Nya”, kita akan terjegal dan menuburuk tembok, kemudian jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.
Renungan: Momen terindah dalam hidup adalah saat sadar bahwa hidupnya retak dan pecah hancur berkeping-keping”
Tuhan memberkati.