Perjumpaan tak Terduga Reva dengan Buliknya

0
266 views
Ilustrasi -- tetangga penumpang di gerbong KA by Thrillist

REVA terbiasa berbusana layaknya para suster Misionaris Klaris. Sack dress selutut longgar dan flat shoes. Nyaman dan leluasa bergerak, walaupun tidak bisa menyembunyikan postur tubuhnya  yang memang tidak terlalu tinggi. Berbusana seperti itu membuatnya nyaman dan leluasa, apalagi harus naik kereta api.

Totebag warna ungu tua bergambarkan siluet wajah perempuan terselip di ketiak kanannya. Di dalamnya terdapat dompet dengan 5 lembar uang ratusan, 3 lembar lima puluhan, 3 lembar sepuluh ribuan, 5 lembar lima ribuan, 1 lebar dua ribuan, dan 5 keping ribuan, 7 keping lima ratusan, dan 1 keping ratusan, selain KTP, ATM, dan kartu  BPJS.

Selampai basah dan kering, hand sanitizer dalam ukuran 125 ml, kantong kecil berisi rosario yang selalu dibawanya, hadiah dari suster kepala biara Novisiat saat ia menetapkan pelariannya. Ada handuk kecil ungu muda dan botol pocari sweat yang masih tersisa seperempat botol. Tentunya HP jadul yang masih tetap setia mengikutinya.

Selain itu yang perlu diketahui. Reva selalu menyediakan bacaan ringan untuk merintang waktu dalam perjalanan, terutama saat menunggu. Kali ini Reva membawa Anak Cahaya karya Tereliye.

Ia melenggang memasuki stasiun begitu turun dari GoCar dan setelah melihat map GoFood  masih dalam perjalanan mengantarkan pesanan serabinya. Ia mencari tempat duduk di pinggir depan stasiun agar bisa mengamati lalu lalang kendaraan di sekitar stasiun.

Dalam 17 menit pesanannya datang, diterimanya lima kotak serabi yang dibayar dengan GoPay, tak lupa diberinya bonus sepuluh ribu rupiah sebagai ucapan terima kasih atas pelayanannya yang memuaskan.

***

Dengan menggenggam tas berisi serabi di tangan kirinya, Reva mencetak tiket dan memasuki peron dengan menunjukkan tiket bersama dengan KTP-nya. Kembali ia mencari tempat di sudut menunggu kereta yang akan datang 49 menit lagi. Hatinya menghangat. Bayangan wajah bapaknya yang tersenyum membat hatinya meluahkan kasih. Didoakannya bapaknya agar damai dan tenang, termasuk membuat dirinya juga damai dan tenang.

Ia asyik membaca kisah Anak Cahaya, anak kampung sederhana yang memiliki keberanian menembus hutan dan pergi ke kota dengan menumpang gerobak dan perjalanan malam hari dengan menggendong adik bayinya melaporkan gerombolan pemberontak yang menyerang kampung dan penyandera bapaknya.

Di tengah membaca ia merasa ada sesuatu yang terasa menyengat di pantatnya, Reva berdiri dan mencari sesuatu di sekitar tempat duduknya dan matanya terpaku pada sesosok perempuan yang masih dikenalnya, bulik-nya.

Walaupun badannya semakin melar, ia tidak bisa melupakan bulik-nya itu. Ada kegamangan, mendekat dan menyapanya atau menunggu bulik-nya mengenalinya. Dan Reva memutuskan untuk menunggu. Dilihatnya bulik-nya mendekat, mulutnya akan menyapa, namun ternyata melewatinya menuju kursi kosong lima kursi dari tempat Reva berdiri.

Ternyata bulik-nya tidak mengenalinya. Beberapa kali ia melirik perempuan tambun yang duduk dengan pantat yang memenuhi kursi, bahkan ada gelambir di sekitar kursi yang menunjukkan bahwa bulik gemuk dan berlemak. Tetapi bulik tak terusik.

“Salahkah aku, kalau tak menyapanya?,” Reva menimbang-nimbang, namun gagasannya  justru melayang ke masa lalu.

Begitu doa empat puluh hari meninggal bapaknya selesai, bulik-nya itu datang bersama suaminya dan menyuruh Reva dan ketiga adiknya meninggalkan rumah yang ternyata sudah bersertifikat atas nama suami bulik-nya.

Yang Reva ketahui rumah itu atas nama ibunya sebagai silih atas rumahnya yang disita akibat utang arisan yang entah berapa. Tak mungkin otak anak baru selesai SD mampu membayangkannya.

Negosiasi alot bapaknya agar mendapatkan tempat tinggal pengganti diwujudkan oleh penyita rumah dalam bentuk sebuah rumah petak sangat sederhana (RSS) di dekat kuburan.

Dengan cepat malam itu mereka berempat diangkut bulik-nya ke sebuah rumah kontrakan yang semakin tidak layak huni.

Reva tidak berpikir dan tidak bisa berpikir. Ia manut saja ketika diangkut. Reva masih terbelenggu kisah tragis hidupnya yang tidak bisa dibicarakan kepada siapapun. Ia sebetulnya akan curhat kepada bulik-nya esok hari, tetapi malam itu dia sudah membuangnya. Dan peristiwa kelam itu terbenam.

***

Cukup lama ternyata kembara masa lalu Reva, dengan buku di pangkuannya tetap terbuka namun tidak dibaca, tahu-tahu kereta yang akan membawanya pulang sudah berhenti. Dilihatnya bulik-nya sudah tidak ada. Reva perlahan memasuki kereta dan mencari tempat duduk sesuai dengan gerbong dan nomor kursinya.

Tratab, pandangan mata Reva tertumbuk pada seorang perempuan yang ternyata ada di kursi sampingnya. Dengan sedikit gemetar dan ragu-ragu ia pura-pura tidak mengenal.

”Maaf, ibu ini kursi saya,” kata Reva sambil menunjukkan karcis yang tertera kursi 7D.

”O, iya, baiklah. Silakan,” jawabnya tanpa menoleh dan menatap Reva sambil menggeser pantatnya di kursi 7C.

Reva pun duduk dengan gelisah, tetapi perempuan itu sudah menutup mata dan begitu kereta berangkat ia sudah mendengkur. Dengkur yang bertahun lalu dipakai Reva untuk menandai saatnya ia bisa bernapas lega dari teror bulik-nya.

Semua pekerjaan buliknya selalu dilimpahkan kepadanya, apalagi bila ibunya tidak ada. Berkali-kali ia melirik, tetapi perempuan itu kelihatannya terlalu mengantuk dan lelah.

Karcis perempuan itu terjatuh, Reva mengambil dan mengamatinya. Ia turun Surabaya. Diletakkannya karcis itu di pangkuannya. Dan ia tidak bisa menduga ada urusan apa buliknya ke Surabaya. Sejauh pengetahuan Reva tidak ada keluarganya yang tinggal di Surabaya.

***

Selama perjalanan Reva gelisah. Beberapa kali tanganku berusaha menyentuh bulik-nya, tetapi takut dan ragu-ragu lebih kuat menahannya. Takut dan ragu juga yang membuat mulutnya tak leluasa dan enggan membuka dan memanggil “Bulik. Bulik”.

Stasiun Paron yang sekarang berubah nama  menjadi Stasiun Ngawi sudah dilewati. Kereta tetap melaju. Begitu kereta melewati stasiun Magetan yang dulu bernama stasiun Barat, Reva bersiap-siap turun. Bulik-nya masih tetap terlelap dalam tidurnya.

Reva memberanikan diri dengan menulis pesan singkat di balik karcis. ”Bulik, yang tadi duduk di sebelah Bulik adalah Reva. Kalau Bulik ingat saya, bisa menghubungi nomer ini”.

Reva menuliskan nomer teleponnya dan menyelipkan karcisnya dan karcis yang tadi jatuh ke dalam sela-sela tangan yang mendekap tas yang tampak kumal dan penuh barang bawaan. Berat hatinya dan timbul rasa iba melihat bulik-nya yang bertambah gemuk, tetapi tampak tua, tak sehat, dan memikul beban berat.

Tetapi Reva juga tak memiliki keberanian untuk membangunkan raksasa perempuan yang sedang tidur itu. Ingatannya kembali melayang dan dinginnya air seember yang diguyurkan kepadanya terasa membasahi seluruh tubuh dan rambutnya, dan menghadirkan gigil.

Ketika itu ia membangunkannya, memberi tahu bahwa adiknya menangis. Ia merinding dan sedikit gemetaran membayangkan kedinginan di pagi itu yang seakan terulang dan barusan terjadi.

Dengan gigil dingin dan takut yang masih tersisa dalam memorinya dan sekarang mencuat, Reva melewati bulik-nya sambil berbisik, ”Selamat jalan Bulik. Tuhan Yesus melindungi”.

Dengan gesit Reva turun. Ketika berjalan mau keluar stasiun, ia menengok bulik-nya yang ternyata telah terjaga. Ia melongok ke jendela dan bersitatap dengan bulik-nya. Terlihat mata bulik-nya membeliak dan berteriak yang tak jelas apa yang dikatakannya.

Bersamaan dengan itu kereta pun mulai bergerak meluncur ke arah timur. Perjalanan menegangkan itu tetap menggelayuti pikiran Reva ketika ia keluar stasiun menuju biara di depan rumah sakit tempatnya bekerja.

Sore menjelang malam itu menyisakan gelisah, walaupun ada kelegaan atas pemaafan terhadap bapaknya. Maaf itu akan meringankan langkah hidup Reva selanjutnya.

Bagaimana dengan bulik-nya dalam perjalanan ke Surabaya?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here