MENGAPA diary atau catatan harian perlu ditulis?
Berikut ini beberapa alasannya:
Diary menulis, mencatat pengalaman, menghayati peristiwa hidup yang menyentak tanya pada manusia, Dalam hal apa, arti peristiwa ini buat aku dan hidupku?
Catatan dibuat setelah terkumpul hari-hari syukur karena terselamatkan dari kecelakaan. Karena rasa bahagia bisa memberi ke yang lain. Karena luka tertusuk oleh olok-olok sesama yang menikam ke hati, serta merendahkan martabatnya. Oleh kalimat tajam menghujam, menoreh luka dalam, masuk ke memori, hingga muncul untuk membalas dalam kesumat dendam.
Diary adalah tulisan, rangkaian kalimat yang melukis pengalaman pribadi, bertemu dengan guru yang dengan sahaja memberi teladan tindakan peduli dan menepuk bahu muridnya yang menangis karena teman-teman menyudutkannya, lantaran tak sempat mandi pagi, lantaran membantu mamanya menyiapkan jualan makanan untuk dibawa ke warung-warung, sambil tergesa berangkat ke sekolah.
Diary pribadi mencatat pendek-pendek kalimat patah karena sedih tak kesampaian keinginannya. Hingga tak bisa ditulis panjang. Lantaran bahasa kesal dan amarah menyumbat luncuran kata-kata berjiwa yang biasanya bisa ditulis saat hati berbunga-bunga.
Karena merasa disayang, diperhatikan teman-teman, apalagi didukung dengan ditemani mengerjakan tugas sekolah oleh yang peduli padanya. Kalimat pendek dan patah kecil-kecil, toh ditulis juga karena ia mewakili ucap hati yang sedang pilu dan galau, dihimpit keraguan memilih yang pintas tetapi membuat resah di hati atau bertekun sabar panjang, namun urutan prestasinya tidak mau meloncat cepat.
Catatan harian anak sekolah dan mahasiswa bisa penuh dengan tulisan-tulisan pengalaman belajar dan bergaul dengan teman-teman sekolah. Diary seorang anggota keluarga sebagai yang sulung, punya nuansa cakap-cakap diri dan dialog-dialog hati sendiri dalam solilokui yang “berbeda” nuansa dengan anak yang bungsu.
***
Mengapa?
Data psikologi menjawab dari pengalaman si sulung yang bisa diajak bertanggung jawab di keluarganya untuk ikut memberi perhatian ke adik-adiknya dan tiap kali diajari dipercaya oleh orangtua sebagai yang “tua”, akan membuatnya lebih cepat dewasa daripada yang biasa mendapatkan perhatian ekstra dan diberi “curahan hati” banyak, karena ia lahir sebagai bungsu, yang bontot.
Namun, nuansa diary si sulung dan si bungsu ini dengan kemajuan pengetahuan psikologi dan pemahaman pendidikan anak di keluarga yang makin “setara” perlakuan dan edukasi, memekarkan pribadi menurut keunikan, bakat dan terutama watak masing-masing, kini membuahkan nuansa isi diary yang berbeda dari dekade sebelumnya.
Terpapar tertulis yang di depan, tetaplah digolongkan sebagai catatan harian pribadi, bahkan “subyektif” yang berkisah mengenai si aku, yang menuliskan dan membuat catatan harian dari hari ke hari atau 2-3 kali dalam sepekan.
Lingkup si aku, pelaku hidup ini semakin dewasa dan meluas cakrawala ruang hidupnya, pasti akan menjadi diary “sosial”, artinya, memulai menuliskan pengalaman-pengalamannya sebagai diri yang berinteraksi sosial dengan sesamanya.
Diary atau buku harian, bisa sederhana dibuat sebagai buku catatan, ide-ide yang muncul tiba-tiba untuk menulis, lalu disimpan dahulu untuk kemudian diproses bila saat menulis datang.
Sengaja saya memakai istilah ‘diary’, yang dari bahasa Latin ‘diarium’: ada kata pokok ‘dies’ atau hari di sini. Di zaman digital ini, fungsi ‘diary’ tetap sama, bahkan bisa efisien setelah diketik di layar HP atau WA kita. Hanya harus teliti bila membersihkannya tanpa hirau bisa kehapus. Isi atau substansi tetap, alat boleh berganti.
Saya kenal seorang ahli masak, ia pun ternyata punya diary untuk mencatat bumbu atau pas lihat tayangan atau info kuliner, dicatatlah di sana.
***
Dalam ranah pengenalan diri di jalan spiritual. Rekoleksi atau retret oleh pembimbingnya memberi saran bahkan wajib menuliskan meditasi atau refleksi hariannya di diary.
Ini menapaki jalan perkembangan rohani para suci, yang berusaha mengolah pengalaman doa atau dialog dengan Tuhan di buku harian. Tulisan itu, setelah diketik atau ditulis akan memberi ingatan saat pengalaman yang dituliskan itu.
Guna pokoknya adalah bukan banyaknya pengalaman itu dalam terang iman sambil terus bertanya: “kemana Tuhan, Kau memanggil langkah setapak ke depan lagi”.
Maka benarlah, di awal sebuah perjalanan mengenal Tuhan, dimulai dengan ‘Panggilan’ (P huruf besar), namun yang sehari-hari harus ditangkap jeli dalam diskresi adalah panggilan-panggilan (p huruf kecil) Nya untuk kini dan di sini (nunc et hic).
Istilah inggrisnya lebih menancap untuk yang kerap memakainya, yaitu: call dan callings.
Ketika refleksi doa ditulis lalu refleksi siang atau malam dirangkum, maka seakan kita membaca lagi ‘surat dialog dengan Tuhan’, meski kadang speechless atau blanc kosong, sulit nulis ya, ditulis saja “kosong”.
Ada ‘diary’. Cakap-cakap sendiri atau solilokui, yang ditulis ketika data menyepi sendiri, lebih tepat dan pas ditengah gaduh riuh hiruk pikuk ramai wacana dan omongan. Verbalisme mengundang antitesis hening, sama seperti hidup yang terlalu prosa harus diimbangi dengan puisi. Bila puisi terlalu berpanjang-panjang, maka butuh antitesis puisi mini, bahkan puisi yang berbisik.
Semua paparan ini akan ‘menguap’ bila tidak ditulis. Guru bahasa Indonesia di SMA dulu (kini sudah almarhum), menegaskan bahwa pengalaman yang tidak ditulis kembali akan melenyap seperti asap rokok yang hilang di udara, meski si perokoknya berusaha menghisapnya ke mulut untuk dinikmatinya. Ternyata tetap menguaplah dan yang tinggal paru-paru kena penyakit.
Nasehat ini tepat, karena dulu juga pernah merokok tetapi sekarang sudah 10 tahun lalu stop demi kesehatan.
***
Pramoedya Ananta Toer juga menulis kalimat bagus mengenai pentingnya menulis sebagai berikut:
“Orang boleh pandai setinggi langit, namun selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Menulis adalah sebuah keberanian.”
Dan Pramoedya dengan ‘berani’ di Pulau Buru, dengan kertas bekas bungkus semen, menulis Bumi Manusia. Itu pun di zaman rezim otoriter Soeharto, begitu terbit bukunya lalu dilarang.
Maka kembali ke diary, tulisan Anda di buku harian, paling tidak mencatat ‘secuil sejarah’ Anda, tiap hari, tiap bulan bila tidak bisa rutin.
Itulah sebabnya di tradisi-tradisi rumah komunitas sejak peradaban tulis dikenal, dimulailah tradisi ‘historia domus,’ yang isinya menulis dan mencatat peristiwa-peristiwa harian penting dan yang memberi makna perjalanan sejarah kecil bagi rumah itu.
Untuk mengakhiri tulisan ini, pertanyaan menggelitik dari mahasiswa saat saya promosi ‘membiasakan menulis’ dan tentunya membaca, adalah bagaimana ketika ‘reading habit’ dan ‘writing habit’ tidak hanya sukar dibuat kebiasaan seperti saat ini?
Saya jawab, benar sebagian, namun sebagian lain keliru baca generasi muda generasi penulis yang semangat dan antusias meski lebih banyak menulis SMS, chatting daripada menulis serius.
Mendengar ini, tertawalah yang lain dan ‘diary’ sebagai latihan disiplin menulis untukku dan untuk mengenal jalan setapakku dengan sesama dan terutama dengan Tuhan menjadi langkah pertama.
Bila ditunda silahkan mengingat Pramoedya Ananta Toer dengan kalimat nasehat dahsyatnya.