Bacaan I: 1Kor. 8: 1b-7. 11-13
Injil: Luk. 6: 27-38
BAPAK yang mempunyai kebun luas di belakang rumahnya itu adalah pendatang di desa itu. Orang-orang di desa itu mengatakan bahwa bapak itu pensiunan pegawai tinggi yang memilih tinggal di desa itu.
Dengar-dengar bapak itu sewaktu masih bekerja pernah tugas di desa itu.
Kebun di belakang rumahnya yang luas itu nampak hijau dan asri. Kebun itu ditanami singkong, ubi, sayuran, dan beberapa pohon buah seperti jeruk, mangga dan pepaya.
Akan tetapi yang menarik perhatian adalah pekerja kebun itu adalah orang-orang asli desa itu. Menurut pandangan banyak orang, orang-orang asli desa itu tidak mungkin untuk menjadi pekerja kebun seperti itu.
Suatu saat, memenuhi rasa penasaran saya akan kehebatan bapak pendatang itu, saya berkunjung ke rumahnya. Untuk mendapatkan jawab atas pertanyaan, bagaimana beliau bisa mempekerjakan orang-orang asli desa itu.
Ketika saya bertanya bapak itu mulai berkisah:
“Bapak Pastor, ketika saya mulai tinggal di desa ini, cita-cita saya adalah menikmati masa pensiun saya dengan berkebun. Ketika saya menceritakan mimpi saya ini ke teman-teman sesama pendatang, mereka mengusulkan agar saya membuat pagar untuk kebun yang mau saya tanami. Saya keberatan untuk membuat pagar, karena saya berkeinginan membuat pagar hidup, yaitu pohon-pohon buah.”
“Semua menertawakan saya. Menurut mereka hal itu tidak mungkin, karena dengan cara itu kami tidak pernah akan menikmati hasil kebun. Semua akan habis dicuri oleh orang-orang desa ini. Mereka menjelaskan banyak hal berdasarkan pengalaman mereka yang sudah lama tinggal di sini.”
“Saya berketetapan untuk menjalankan niat saya. Saya mendatangkan orang-orang dari kampung saya, untuk memulai membersihkan kebun dan mulai bertanam. Dan betul, ketika singkong dan ubi mulai bisa dipanen, banyak yang hilang, mungkin hampir separo hilang. Kami diam dan tetap menanam. Teman-teman menertawakan saya, Bapak Pastor.”
“Suatu waktu ketika ada yang mengambil singkong, ditangkap oleh pekerja kebun saya. Ada lima orang yang ditangkap. Mereka saya tanya apakah mereka yang selama ini mengambil singkong dan ubi di kebun saya. Mereka mengakui dan menyebut ada banyak yang lain juga. Hasil jarahan itu mereka bagi-bagi untuk kawan-kawannya. Bapak Pastor, mereka “mencuri” singkong dan ubi untuk dimakan, bukan untuk dijual.”
“Saya bicara dengan mereka, mereka boleh ambil dari kebun ini; tetapi mereka harus bantu-bantu pekerja kebun, dan mereka mau. Sejak saat itu, ada 10 orang yang bantu-bantu. Memang mereka belum terbiasa bekerja di kebun; tetapi lama-kelamaan mereka bisa.”
“Di awal mereka bekerja, mereka kerja sedikit, tetapi mengambil banyak. Pekerja-pekerja saya mengeluh, tetapi saya menenangkan mereka, karena orang-orang itu adalah orang-orang yang lapar.”
“Kira-kira setelah satu tahun orang-orang asli desa itu mulai bisa berkebun dengan benar dan mengambil hasil secukupnya. Orang–orang asli desa itu adalah orang-orang yang kuat dengan tenaga besar. Sehingga semua kebun dapat digarap dan menghasilkan luar biasa.”
“Sejak saat orang-orang desa itu bekerja, kebun kami aman dan kami dekat dengan orang-orang asli. Bahkan saya sudah dianggap sebagai saudara dan sesepuh oleh mereka.”
Demikian bapak itu mengakhiri kisahnya.
Kasih bapak pendatang itu membangun jembatan antara dirinya sebagai pendatang dengan orang-orang asli desa itu.
Kasih menjadikan bapak itu bersaudara dengan orang-orang asli. Andai bapak pendatang itu membangun pagar, maka ceritanya pasti amat berbeda, karena beliau tidak akan pernah diterima oleh orang-orang asli desa itu.
Pagar membuat pemisah, siapa beliau dan siapa orang-orang asli.
Sebagaimana dikatakan Santo Paulus kepada umat di Korintus: “Saudara-saudara, Pengetahuan menjadikan orang sombong, tetapi kasih itu membangun.”
Bagaimana dengan diriku?
Aku membangun pagar atau membangun jembatan?