Inilah Cucuku

0
430 views
Ilustrasi - Kakek dan cucu perempuannya (Freepik)

REVA berkumpul bersama semua saudaranya. Saat peringatan 40 hari meninggal Ibu Suriantini di Panti Bhakti Luhur Tropodo Sidoarjo. Mereka tidak berangkat bersama, karena Reva sudah sampai di panti sejak kemarin. Ia ingin menemui ibunya mendahului saudara-saudaranya dan menjemput Pak Amran di apartemen miliknya yang ditinggali saat ia mengunjungi Bu Suriantini di RSJ secara rutin.

Pak Amram memiliki apartemen yang disewakan terhadap eman belas pekerja asing di sekitar Galaxy. Selain itu, ada anak angkat Pak Amran yang mengelola dan menjaga apartemen itu sekalian berkuliah di Unair.

Ada bulik-nya yang ikut menghadiri doa ibunya. Reva berusaha mendekati bulik-nya, tetapi beliau mlengos, membuang muka. Ketika Reva semakin mendekat, bulik-nya pura-pura sibuk dengan HP-nya. Akhirnya Reva menyerah.

Sejak bertemu di kereta, bertemu lagi saat ibunya meninggal, dan ini pertemuan yang ketiga, Reva belum pernah berbicara dengan bulik-nya itu. Badan gemuknya sangat mengintimidasi dan membuat Reva takut untuk lebih mendekat. Biarlah. Masih ada kesempatan lain setelah acara senja ini.

Reva duduk di bagian depan di samping Pak Amran yang tampak semakin tua, walaupun masih tampak gagah dan kuat. Tangan Pak Amran selalu mengenggam tangan Reva. Ada rasa takut Pak Amran melihat tatapan adik-adik Reva, terutama bulik-nya. Ada sorot menunduh Reva berlalu tak pantas. Tapi itu semua diabaikan oleh Reva. Setelah misa, mereka akan  tahu siapa Pak Amran.

***

Selesai misa, semua yang hadir menikmati nasi rawon dengan kecambah mentah dan telur asin setengah, tidak lupa kerupuk udang, dan tentu sambal khas untuk kelengkapan menikmati rawon.

Rawon adalah sejenis cara memasak daging seperti gulai dengan bumbu keluak, pucung, atau kepayang (Pangium edule) sehingga kuahnya berwarma hitam kecoklatan. Rawon adalah makanan khas Jawa Timur. Di Surabaya dikenal rumah makan dengan sebutan yang agak horor, “Rawon Setan”. Sebutan itu melekat dan tenar bukan karena  buka di dekat kuburan dan gelap melainkan bukanya tengah malam, dan rawon ini menjadi ikon Surabaya.

Selain itu di Surabaya ada juga “Rawon Nguling” yang tidak terlalu gelap dan ada beberapa cabang di Surabaya dan sekitarnya. Kalau ingin agak mewah, menikmati rawon bisa dilengkapi dengan tempe goreng, perkedel, dan empal, daging sapi berbumbu yang digoreng.

Selesai makan, Reva mengajak semua saudaranya berpindah ke ruang sebelah sambil menggandeng Pak Amran. Setelah semua duduk dengan tatapan penuh selidik, khususnya bulik-nya, Reva memulai bicara.

“Bapak ini adalah Kakek Amran. Beliau adalah mertua ibu kita. Kakek Amran sekarang ini sudah sebatang kara. Beliau telah mengangkat Mbak sebagai ahli warisnya secara yuridis formal. Ikatan darah di antara kami memang tidak ada. Tetapi ikatan kasih dalam Tuhan yang menyatukan hubungan Kakek dan Mbak sebagai cucu ini terjalin.”

“Ikatan hukum Kakek dengan ibu kita juga tidak ada, karena suami ibu adalah anak tiri Kakek dan sudah meninggal. Bagian warisan suami ibu yang anak tiri Kakek sudah dihabiskannya. Satu cucu yang sebetulnya bisa dianggap sebagai ahli waris juga sudah meninggal lebih dahulu. Kuburnya ada di samping ibu kita. Dan itu adalah adik bungsu kita.”  

“Kakek berharap tidak ada gugatan apa pun kepada Mbak dari kalian, apalagi kalian menganggap ‘punya’ hak atas warisan Kakek Amran. Di luar ada pengacara Kakek yang telah menyiapkan pernyataan kalian bertiga juga bulik untuk tidak nguthik-uthik harta Kakek yang ada dalam tangggung jawab Mbak, sampai Kakek memutuskan lain.”

Semua membisu. Mereka hanya saling tatap dan ada harap mendapatkan kecipratan.

Pak Nugraha, pengacara Pak Amran masuk membacakan harta kekayaan Pak Amran berupa kebun sawit, kebun karet, pabrik pengolahan minyak sawit, perusahan otobus dengan 100 armada bus antaprovinsi antarnegara, 50 unit apartemen, lima mobil mewah, dan tiga moge, motor gede.

Hal itu membuat mata ketiga saudara Reva dan para istreinya serta bulik-nya membelalak. Harta yang hampir menyentuh tiga trilyun membuat mata mereka berbinar, merasa ikut memiliki kekayaan yang tak akan habis untuk tujuh turunan bila dikelola baik-baik.

Reva sudah terbiasa hidup sederhana. Kaul kemiskinan walaupun tidak diucapkan dalam pernyataan kaul, telah menjadi napas hidup Reva.  Mungkin itu yang menjadi pertimbangan Pak Amran menyerahkan semua hartanya kepada Reva.

Dengan berat hati ketiga saudara Reva dan buliknya menandatangani pernyataan yang disiapkan pengacara dengan kop notaris terkenal di Surabaya.

Pak Amran hanya terdiam, menjadi pengamat yang jeli, mengamati sorot tamak dari saudara-saudara Reva. Hal itu membuat ia muak. Dengan berbisik Pak Amran memberi tahu Reva agar berhati-hati dengan adiknya yang tertua dan iparnya termuda, lebih-lebih bulik-nya.

Pak Amran berdiri memeluk bahu Reva dengan kata-kata tegas “Ini cucuku,” kemudian menyalami bulik dan semua saudara Reva dan kembali ke apartemen bersama pengacara dan supirnya.

***

Ada rasa sungkan dari bulik dan saudara-saudara Reva. Mereka berusaha mendekat dan berusaha menjilat.

”Mbak pulang dengan mobil sendiri?,” ipar termudanya mendekat dan sok ramah.

”Tidak,” jawab Reva,

”Besok pagi saya naik Argo Wilis, tiket sudah di tangan?,” tambah Reva.

”Mengapa tidak membawa pulang salah satu mobil mewah Mbak. Mas Hari bisa nyopiri lho Mbak,” desak Deniya menunjukkan ketamakannya bisa menguasai salah satu kekayaan yang dipercayakan kepada Reva.

“Lho kalian bertujuh kan membawa mobil sendiri?,” tanya Reva penuh selidik.

“Mobil itu bisa disuruh balik, kalau Mbak mengizinkan kami memakai salah satu mobil mewah Mbak, boleh ya Mbak?,” bujuk adik ipar yang sok akrab itu sambil memegang tangan Reva.

“Mobil yang mana? Mbak tidak punya mobil,” jawab Reva.

”Lho tadi kan pengacara menyebutkan bahwa Mbak punya lima mobil mewah, mosok tidak rela memberikan satu saja untuk adiknya, jadi orang kaya jangan pelit Mbak!,” bujuk adik ipar yang tidak tahu diri itu.

Kelihatan keberaniannya didukung oleh yang lain secara tidak langsung.

”Memang kalau saya beri satu mobil mewah, gaji suamimu cukup untuk membayar pajaknya? Tahu tidak untuk Alphard yang tadi dipakai oleh Kakek  pajaknya lebih dari 14 juta lho,” jelas Reva.

Ada sorot kaget dari yang ada di ruangan itu, tetapi dengan beraninya perempuan serakah itu nyeletuk, ”Ya Mbak yang mbayar, kami tinggal pakai. Itu gunanya punya saudara kaya raya, benar kan Bulik, Mbak, Mas?,” kata perempuan itu sambil mengedarkan pandangan minta dukungan dari yang ada dalam ruangan ini.

”Kata siapa harta kekayaan dan uang bersaudara. Pengacara Kakek telah menjelaskan kedudukan harta kekayaan Kakek. Tidak ada milik kalian, jangan ngarep,” jelas Reva tegas yang membuat mereka semua cep klakep, terbungkam.

Mereka semua klepat keluar ruangan itu, kecuali istri adik Reva tertua. Melania. Dengan lembut ia mengambil tangan Reva. ”Mbak tabah ya, amanat Kakek Amran kepada Mbak sungguh berat, tetapi Mbak layak mendapat kepercayaan itu. Gunakan kekayaan itu untuk kebaikan bukan untuk kesombongan apalagi pamer. Jangan takut dianggap pelit. Bukan untuk cari muka tetapi saya tulus menyayangi Mbak. Tolong simpan nomer HP saya. Hubungi saya kalau ada apa-apa,” kata Melania sambil menyelipkan kertas berisi nomor HP-nya.

Belum juga Reva menjawab, dari luar terdengar teriakan bulik-nya, “Melan, cepat. Jangan ngarep kecipratan rezeki!”

“Sabar ya Mbak. Saya pamit dulu,” kata Melania sambil menyalami Reva.

Reva hanya bisa tersenyum melihat sorot tulus dari adik iparnya itu.

Hubungan Reva dengan saudara-suadara mulai sekarang diuji; bukan oleh derita melainkan oleh kelimpahan harta milik Pak Amran.

Semoga ujian ini semakin mendewasakan Reva dalam memaknai harta, keluarga, dan hidupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here