SEORANG diplomat, sahabat lama, Hadimartono mengirimkan lewat WA sebuah foto dilengkapi penjelasan singkat. Foto itu menggambarkan seorang laki-laki menggendong lelaki lain. Lelaki yang menggendong bernama Muhammad, yang tidak bisa melihat, buta. Sedangkan lelaki yang digendong bernama Samir, yang tidak bisa jalan, lumpuh, berkaki kecil.
Muhammad yang bertubuh jangkung seorang Muslim, sedangkan Samir yang pendek, Nasrani.
Foto kedua sahabat yang sejak kecil sudah yatim-piatu itu diambil pada tahun 1889, di Damaskus, Suriah. Di kota itulah keduanya bahu-membahu, kerjasama—Muhammad menggunakan mata Samir untuk melihat dan Samir menggunakan kaki Muhammad untuk berjalan—mencari penghidupan.
Mereka bekerja di sebuah warung kopi.
Pada waktu itu, dunia sedang dilanda pandemi flu yang juga dikenal dengan sebutan Flu Rusia. Pandemi flu yang berlangsung antara 1889-1890 tersebut dikabarkan menewaskan sekitar satu juga orang di seluruh dunia. Dan, ini merupakan pandemi terdahsyat pada abad ke-19.
Pandemi flu ini mula pertama muncul di Siberia dan Kazakhstan; tapi sumber lain menyebutkan bermula di St Petersburg, lalu bergerak ke Moskwa, kemudian menyeberang lautan masuk ke Finlandia, balik lagi ke daratan Eropa, Polandia. Dari sini menyapu wilayah-wilayah Eropa lainnya. Tahun berikutnya sudah melintasi samudera dan masuk ke daratan Amerika Utara dan Afrika.
Muhammad dan Samir lolos dari sergapan flu mematikan itu. Sebab, menurut cerita, keduanya yang sejak kecil hidup serumah dikaruniai umur panjang. Samir meninggal lebih dahulu; dan seminggu kemudian, karena kesedihannya yang teramat sangat ditinggal mati sahabatnya, Muhammad meninggal setelah bertahun-tahun berbagi mata dan kaki dengan Samir.
***
Persaudaraan mereka yang begitu kuat itu telah menegaskan kebenaran pepatah dalam bahasa Jawa, Manungsa iku kanggonan sipating Pangeran, manusia itu memiliki sifat Tuhan yang mahabaik, mahakasih, mahapengampun. Dalam rumusan lain, Ceecilius (230-168 SM), seorang penyair dan dramawan, mengatakan Homo homini deus est, si suum officium sciat, manusia adalah dewa bagi manusia lain, jika ia mengetahui kewajibannya.
Muhammad telah menjadi dewa bagi Samir; begitu sebaliknya, Samir adalah dewa bagi Muhammad. Cicero (106-43 SM) seorang negarawan Romawi juga mengatakan, Homo homini Deus, manusia adalah Allah bagi sesamanya: bila saling membantu, mendukung, meneguhkan, mengasihi, mengampuni, dan juga menghormati sesama. Dasarnya adalah sesama manusia merupakan imago Dei, gambaran citra Allah.
Kisah Muhammad dan Samir berkebalikan frontal dengan yang dikemukakan oleh Titus Maccius Plautus (254-184 SM) seorang penulis drama komedi zaman Romawi. Plautus mengatakan tentang sifat keganasan manusia yang digambarkan seperti serigala. Homo homini lupus est; manusia adalah serigala bagi sesamanya, yang lantas dipopulerkan oleh seorang filsuf Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679).
Frase yang sangat populer itu, lengkapnya—seperti dikatakan oleh Plautus—demikian, lupus est homo homini, non homo, quom qualis sit non novit, kira-kira terjemahan bebasnya adalah manusia serigala bagi sesama, ia bukan manusia jika tidak paham hakikatnya. Tentu, hakikat kemanusiaan, seperti diungkapkan dalam pepatah dalam bahasa Jawa di atas (Manungsa iku kanggonan sipating Pangeran) dan Latin (Homo homini deus est), karena manusia adalah gambaran Allah Pencipta.
Apa yang telah menjadi perekat persaudaraan antara Muhammad dan Samir? Kebersamaan itu lahir bukan didasarkan atas agama, melainkan humanisme, kemanusiaan. Kemanusiaan itu tidak membeda-bedakan.
Oleh karena tidak membeda-bedakan maka menerima kemanusiaan berarti menerima pluralitas, menerima perbedaan. Perbedaan mereka karena agama justru memperkuat kemanusiaan Muhammad dan Samir. Mereka menyadari bahwa setiap orang—tidak peduli siapa—diciptakan oleh tangan mahacinta yang sama.
***
Dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya. Mereka saling tergantung. Ini yang telah melahirkan dan menumbuhkan sebuah persaudaraan. Persaudaraan semacam ini bukanlah persaudaraan basa-basi, persaudaraan yang sarat akan kepentingan. Melainkan persaudaraan sejati.
Dalam persaudaraan sejati, seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran. Itulah yang dilakukan oleh Muhammad dan Samir. Teman sejati itu akan sependirian dan sependapat. Teman adalah seseorang, yang menjadi tempat dapat mengungkapkan isi hati dengan kepercayaan penuh. Teman adalah seseorang, yang saling menghormati, bukan berdasarkan kelayakan tetapi berdasarkan kesamaan pikiran.
Ada pepatah yang berbunyi, “A friend in need is a friend indeed.” Pepatah tersebut kurang lebih berarti bahwa seorang sahabat akan hadir di saat-saat yang dibutuhkan untuk saling membantu dan berbagi satu sama lain.
Seorang sahabat juga akan memberikan pujian dan penghargaan atas keberhasilan sahabatnya dan saling menguatkan serta saling menyemangati di setiap kegagalan yang dihadapi sahabatnya. Seorang sahabat senantiasa mencurahkan isi hati dan pemikirannya serta akan selalu setia berdiri di pihak sahabatnya.
“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.”
Begitu bunyi kata-kata bijak kuno yang menggambarkan tentang persahabatan sejati. Barangkali kisah persahabatan antara Bung Karno dan Bung Hatta, bisa menjadi salah satu contohnya.
Walaupun berselisih paham dalam berpolitik, Bung Karno dan Bung Hatta tetap mampu menjaga hubungan pribadi di antara mereka dengan baik. Bagi kedua proklamator itu, politik dapat dikatakan hanyalah jalan untuk mewujudkan idealisme mereka dan bukannya untuk memecah-belah, menghancurkan persahabatan. Kedua tokoh itu memiliki kedekatan emosional yang sangat khusus, walaupun Dwi Tunggal mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden tanggal.
***
Contoh lain diberikan dalam persahabatan antara Moh Natsir yang Masyumi dan IJ Kasimo yang Katolik.
Dalam bukunya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah (2009), Ahmad Syafii Maarif menulis, “Betapa seorang Natsir atau Prawoto Mangkusasmito begitu dekat dengan Ignatius Joseph Kasimo, Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan, atau Johannes Leimena, baik pada masa revolusi kemerdekaan maupun sesudahnya.
Atau antara Burhanuddin Harahap dengan Ida Anak Agung Gde Agung yang Hindu. Kasimo bahkan bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mencoba melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era demokrasi terpimpin (1959-1966).”
Mereka itu—Natsir, Kasimo, dan Leimena—adalah orang-orang penting dari kelompok agamanya masing-masing. Natsir yang berasal dari Minangkabau di tahun 1950-an adalah petinggi Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia, partai terbesar di zaman Soekarno.
Kasimo adalah salah satu pendiri partai politik “Katholiek Djawi” yang lalu berubah nama menjadi “Perkoempoelan Politiek Katholiek” di Djawa dan lalu menjadi Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI) yang kelak pada tahun 1949 Kasimo akan menjadi ketua umumnya, dan Ketua Umum Partai Katolik.
Bagi IJ Kasimo, seperti ditulis JB Soedarmanta dalam bukunya Politik Bermartabat Biografi IJ Kasimo (2011), perbedaan politik tidak memisahkan persaudaraan dan persahabatan pribadi.
“Misalnya, Natsir dari Masyumi mengaku di dalam sidang konstituante ingin menghajar Dipo Nusantara (DN) Aidit, pemimpin PKI, dengan kursi. Hingga selesai sidang, tak ada kursi yang melayang. Malahan, usai sidang, Aidit lebih muda dari Natsir membuatkan segelas kopi dan keduanya berbincang-bincang soal keadaan keluarga masing-masing,” tulis JB Soedarmanta.
“IJ Kasimo juga dekat dengan Prawoto Mangkusasmito yang juga tokoh Masyumi. Menurut cerita Kasimo pernah membantu Prawoto membeli rumah di Yogyakarta. Saat ditanyakan itu, Kasimo berdalih, “Kalau tangan kananmu memberikan sesuatu, janganlah tangan kirimu tahu,” katanya.
Kini banyak yang mengartikan bahwa politik adalah alat untuk mewujudkan, merealisasikan ambisinya, termasuk nafsu kekuasaannya (juga nafsu untuk memperkaya diri), nafsu untuk mendominasi kelompok lain, dan juga nafsu untuk menyingkirkan kelompok atau golongan lain.
Persahabatan di dunia politik pun terjadi atas dasar kepentingan dan hiduplah homo homini lupus est.
Maka itu, sulitlah terbangun persahabatan seperti yang dijalin antara Muhammad dan Samir, yang berbeda agama. Yang terjadi, perbedaan agama malah dijadikan alasan untuk menyingkirkan.
Kisah Muhammad dan Samir hanya terjadi di Damaskus, pun pula pada tahun 1889, jauh tahun sebelum Damaskus hancur-hancuran karena perang saudara, perang sektarian, perang karena perebutan pengaruh negara-negara lain di kawasan.
Kisah persahabatan seperti antara Bung Karno dan Bung Hatta, antara Natsir, Prawoto dan IJ Kasimo serta Herman Johannes, Albert Mangaratus Tambunan, atau Johannes Leimena, antara Burhanuddin Harahap dengan Ida Anak Agung Gde Agung, hanyalah ada dalam buku-buku sejarah saja.
Memang, semestinya, historia magistra vitae, sejarah adalah guru kehidupan; historia lux veritatis, sejarah cahaya kebenaran seperti yang dikatakan oleh Cicero (106-43 SM) negarawan Romawi.
Belajar sejarah, menurut Machiavelli (1469-1527) filsuf politik zaman Renaisans dari Italia, merupakan awal dari reformasi politik sebab sejarah merupakan guru kehidupan.
Tetapi, sayangnya, kita lebih senang mengagumi masa lalu dari pada mencontohnya, seakan masa lalu adalah album kenangan yang enak diputar ulang untuk sekadar didengarkan…