Renungan Harian 27 September 2020: Kesepian

0
874 views
Ilustrasi - Sangat sibuk tapi toh kesepian. (Istimewa)


Hari Minggu Biasa XXVI
Bacaan I: Yeh. 18: 25-28
Bacaan II: Flp. 2: 1-11
Injil: Mat. 21: 28-32
 
SORE itu, saya memimpin misa requiem untuk seorang teman. Gereja yang cukup besar itu terasa sempit, karena banyaknya orang yang ikut perayaan ekaristi.

Saya melihat banyak orang menangis, berduka kehilangan dia. Suasana duka menyelimuti perayaan ekaristi itu.
 
Almarhum memang sosok yang luar biasa. Seorang lelaki yang selalu berpenampilan rapi, ramah dengan setiap orang, murah hati, dan ringan tangan untuk membantu.

Seorang pria yang sukses dalam karirnya, seorang yang aktif dalam berbagai organisasi dan organisasi yang dia pimpin selalu sukses dalam aktifitasnya.

Maka tidak heran banyak orang yang kehilangan sosok ini.
 
Saat menunggu perayaan ekaristi dimulai, ingatan saya membawa pada pengalaman beberapa tahun sebelumnya. Hari itu saya mengunjungi dia di rumah sakit. Dia dirawat bukan karena penyakit yang diidapnya, tetapi akibat percobaan bunuh diri yang dia lakukan.
 
Peristiwa percobaan bunuh diri itu cukup menggemparkan di kalangan teman-teman, dan menimbulkan banyak tanya.

Kami mengenal dia sebagai orang yang sukses dalam karir, orang yang banyak teman, dalam berbagai aktifitas sukses, banyak membantu orang sehingga membuat orang yang dibantunya menjadi luar biasa.

Dia orang yang punya kharisma kepemimpinan luar biasa, orang perfeksionis, selalu teratur dan tertata baik.

Mengapa harus mengakhiri hidup dengan cara demikian?
 
Saat saya menjenguknya, dia menangis melihat saya. Dia meminta saya untuk menegakkan tempat tidurnya supaya dirinya bisa setengah duduk. “Sori Wan,” katanya berbisik, sambil meneteskan air mata.

“It’s ok,” jawabku.

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sudah, tenang, istirahat, yang penting cepet sembuh,” kata saya mencoba menenangkan dia.

“Saya malu dengan diri saya sendiri, saya tolol,” katanya sambil berurai air mata.
 
“Wan, saya ini sesungguhnya tidak seperti yang kamu  dan teman-teman lihat dan kenal. Hidup saya kering, saya kesepian dan lelah. Saya merasa punya banyak teman, bergaul di sana-sini, main bareng ke sana-ke mari tetapi ternyata tidak ada seorang pun yang dekat dengan saya. Bagi banyak orang ternyata saya bukan pilihan untuk menjadi teman mereka. Saya merasa banyak dari mereka lebih senang kalau saya tidak ada.”
 
“Wan, kamu tahu saya selalu melakukan yang terbaik untuk banyak teman, dan mereka selalu memuji teman yang aku bantu bahwa acaranya sukses luar biasa dan hebat, tetapi dia hanya mengucapkan terima kasih yang kurasa basa-basi. Dia di depan saya tidak memuji sedikit pun atas apa yang telah saya buat; dia malah memuji orang lain yang tidak berbuat gak seberapa, itu pun orang itu bertindak karena saya suruh.”
 
“Kamu ingat acara yang kita buat? Aku kerja setengah mati, dan acara itu luar biasa. Tidak ada satu pun orang yang memuji saya Wan, yang dipuji siapa? Pembawa acara yang mengatur acara detail dan tepat waktu, padahal kamu tahu semua itu aku yang buat.”
 
“Wan, saat aku pengin jalan, makan keluar dan aku mengajak beberapa teman, mereka selalu mengatakan ini dan itu, yang bagi saya itu bentuk penolakan halus. Saya lelah dengan hidup saya.”

“Saya mau membuktikan bahwa saya berguna untuk banyak orang, tetapi ternyata sia-sia tidak ada gunanya.”

Dia mengakhiri keluh kesahnya yang luar biasa.
 
“Kamu sudah melakukan hal luar biasa. Jangan pernah menjadikan hidupmu untuk membuktikan sesuatu, dan jangan berharap hasil dari apa yang kamu perbuat. Menabur saja, menabur dan menabur, siapa yang panen biar waktu yang menentukan,” kata saya menghibur.

Sejak dia keluar dari rumah sakit, saya melihat hidupnya jadi lebih ceria, dan bersemangat melakukan apa pun. Teman-teman merasakan dan melihat perubahan hidupnya.

Dia jauh menjadi lebih ramah, jauh lebih hormat pada orang lain dan menghasilkan karya-karya yang jauh luar biasa. Penyesalan yang mengubah hidupnya.
 
Lamunan saya hilang, ketika salah satu teman mengatakan misa sudah siap dimulai.
 
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Matius, kata kuncinya adalah menyesal.

Menyesal karena tahu bahwa menolak tawaran rahmat. Dan penyesalan itu menjadikan diri semakin terbuka dan peka akan tawaran-tawaran rahmat Allah.
 
Jangan-jangan aku tidak peka terhadap tawaran rahmat Allah karena aku selalu menutup diriku.


 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here