Hari Minggu Biasa XXVII
Bacaan I: Yes. 5: 1-7
Bacaan II: Flp. 4: 6-9e
Injil: Mat. 21: 33-43
BEBERAPA waktu yang lalu saya berjumpa dengan sahabat lama. Sudah amat lama saya tidak pernah berjumpa, bertahun-tahun tidak pernah kontak, dan tidak disangka-sangka bisa ketemu.
“Hai, hai sekarang tugas di mana?,tanyaku mengawali pembicaraan.
“he…….he tugas di mana ya? Aku sekarang kerja dan tinggal di rumah,” Jawabnya.
“ha? Tinggal di rumah? Yang bener, sejak kapan?,” tanyaku heran, karena sebelumnya saya dengar dia masuk biara.
“Sudah lama Mo, aku mundur setelah berjuang untuk menghayati hidup di biara,” Jawabnya. “Ceritanya panjang mo,” tambahnya seolah menangkap rasa penasaranku.
“Mo, seperti yang kamu tahu, aku amat dekat dengan ibu. Dan dalam keluargaku, aku yang bisa menjadi teman bagi ibuku. Aku dengan ibu sudah seperti teman, ibu bisa curhat apa pun ke saya.”
“Saat aku memutuskan masuk biara, ibu amat mendukung niatku, walaupun aku tahu itu berat. Aku pun sebenarnya juga berat harus meninggalkan ibu, tetapi aku merasa panggilanku cukup kuat. Dalam perjalanan hidup membiara, saya menyadari bahwa ibu dan keluargaku amat membutuhkan aku.”
“Aku dalam kebimbangan besar, satu sisi aku menyadari panggilan hidupku, tetapi sisi lain aku merasa kok egois hanya memikirkan diriku sendiri mengabaikan ibu dan keluargaku. Setelah bergulat lama aku memutuskan untuk mundur dari biara.”
“Waduh mo, setelah aku mundur dan tinggal di rumah, pergulatanku lebih berat. Bertahun-tahun aku berjuang untuk menyesuaikan diri hidup sebagai orang “biasa” amat sulit. Aku sering merasa masih hidup di biara, berlaku seperti ketika masih di biara.”
“Bagi saya omongan orang, cibiran orang karena aku mundur dari biara gak seberapa sulit dibanding pergulatanku untuk menyadari bahwa sekarang aku ini orang “biasa”. Semua serba canggung, serba aneh, dan rasanya serba salah.”
“Tetapi sekarang, aku bersyukur, bahkan amat bersyukur bahwa aku dulu memutuskan mundur dari biara. Aku amat bersyukur karena aku bisa menemani ibu dan membantu keluargaku. Bahkan saat ibu gerah (sakit) sampai ibu seda (meninggal), aku selalu di samping beliau, tidak pernah aku jauh dari ibu, bahkan aku tidur seranjang dengan ibu. Seandainya aku masih di biara pasti hal itu tidak akan terjadi. Aku bahagia banget bisa menemani ibu dan menghantar perjalanan ibu pulang ke rumah Allah dan Bapanya.”
Dan banyak hal aku menemani dan mendampingi adik-adikku, keponakan-keponakanku yang membutuhkan untuk ditemani dan didampingi. Ketika adik-adikku sudah berkeluarga aku tahu mereka punya kesibukan dengan keluarganya masing-masing. Maka kalau ada salah satu adik yang sedang kesulitan, aku selalu hadir dan menemani. Dan aku menjalankan itu dengan bahagia bahkan itu memberi kebahagiaan padaku.
“Sekarang, aku menemani bapak dan melayani bapak yang juga mulai sepuh. Adik-adikku yang sudah berkeluarga, pasti mereka juga sibuk sehingga sulit selalu menengok bapak. Tetapi dengan adanya aku yang menemani bapak, adik-adikku menjadi lebih tenang dengan keluarganya.”
“Mo, kalau aku boleh mengatakan pengalaman syukurku yang paling indah adalah aku bersyukur untuk rencana dan karya Allah yang indah bagi hidupku. Aku dulu berpikir rencanaku yang kupahami sebagai rencana Tuhan adalah hidup membiara. Saat aku mundur ada pergulatan batin yang luar biasa seolah mengingkari rencana Tuhan dan panggilanNya.”
“Ternyata saat aku mau bergulat dan terbuka ternyata rencana Tuhan lain tidak seperti yang aku pikir dan pahami. Tuhan memanggilku dan meletakkanku untuk tinggal dan memberikan diri dan hatiku untuk keluargaku. Dan saat aku menjalani dengan rela aku menemukan kebahagiaan yang luar biasa.”
“Rencana Tuhan bukan rencanaku, dan rencanaku bukan rencana Tuhan; tetapi rencananya amat indah dan luar biasa. Hanya butuh kerelaan untuk mengalami sedikit rasa sakit untuk memahaminya.”
Dia menutup kisah panjangnya yang luar biasa.
Sebagaimana sabda Tuhan yang diwartakan St. Matius hari ini, mengajak kita untuk memurnikan hidup rohani kita.
Sering saya terjebak dengan rencana-rencanaku, harusnya begini, harusnya begitu, dan memaksakan kehendakku. Aku sering menutup diri pada rencana Allah bagiku.
Aku tidak mau melihat atau bahkan tidak peduli dengan rencana Allah, karena terpukau pada rencanaku.
Rencana Allah jauh lebih indah dan lebih bermakna daripada rencanaku: “Batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan telah menjadi batu penjuru. Hal itu terjadi dari pihak Tuhan, suatu perbuatan ajaib di mata kita.”
Adakah aku mau membuka diri pada rencanaNya?