BERIKUT ini sedikit kiat untuk bisa memahami ensiklik Paus Fransiskus terbaru yang bertitel Fratelli Tutti atau Kita Semua Bersaudara.
Dalam ensiklik terbarunya ini, Paus Fransiskus mengambil sikap terus-terang. Alias blak-blakan saja. Kritik sana-sini sembari tegas mengemukakan argumentasinya.
1. Kaum papa miskin, korban langsung xenophobia
Bab 1 berjudul Dark Clouds over a Closed Door (Awan Gelap di atas Pintu Tertutup).
Dalam bab ini muncul sub judul di dalamnya yang berbunyi “Shattered Dreams” (Mimpi-mimpi yang Terlanjur Terceberaikan). “Pada zaman sekarang ini,” demikian tulis Paus Fransiskus,” tampaknya sudah mulai muncul tanda-tanda kemunduran zaman.”
Makin tidak jelas lagi rumusan atau istilah-istilah yang dulu selalu dianggap telah “baku”. Seperti misalnya demokrasi, kebebasan, keadilan. Semua itu punya arti apa sekarang ini (bagi kita semua)?
“Pemahaman kita atas hal-hal itu telah dibengkokkan dan diarahkan untuk kepentingan-kepentingan kekuasaan; juga untuk melegitimasi tindakan-tindakan (salah),” tulis Paus.
Dunia sekarang ini –maksudnya adalah masyarakat internasional—sudah mengalami apa yang disebut xenophobia. Takut atau kecemasan berlebihan terhadap (kehadiran) orang-orang “asing”.
Korban pertama dari xenophobia, demikian kata Paus, adalah kaum papa miskin.
2. Peringatan melawan semangat populisme buta
Populisme buta adalah fenomena umum di tatanan masyarakat di mana tokoh politik sengaja memanfaatkan emosi-emosi sempit (sektarian) untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.
Dan emosi-emosi sempit itu bisa dimunculkan dengan sengaja meneriakkan politik identitas berdasarkan etnisitas, agama, budaya, dan lainnya.
“Mereka itu sering dan suka sekali memanipulasi kata ‘rakyat’. Padahal sejatinya, mereka ini tidak pernah berjuang untuk ‘rakyat’ sebagaimana biasa kita pahami dari arti kata itu,” kata Paus.
Tentu, ‘rakyat’ dalam artian yang sebenar-benarnya. Karena itu, Paus Fransiskus tidak ragu-ragu menohok model kepemimpinan umum yang sering dinilainya “palsu” dan tidak “sehat” secara moral.
Dan fenomena macam ini sering kali terjadi pada sosok pemimpin politik yang suka mencari ketenaran diri atas nama “rakyat”. Demikian kritik Paus Fransiskus terhadap praktik-praktik semangat populisme palsu.
Sudah barang tentu, kata ‘rakyat’ ini punya makna sangat berbeda. Antara pemahaman oleh para politisi oportunis dengan seorang Kardinal Jorge Mario Bergoglio –kini Paus Fransiskus—yang juga suka menggunakan kata ‘rakyat’ untuk menggemakan Teologi Pembebasan di Amerika Latin.
Sekedar diketahui, ada sedikitnya 95 kali kata ‘rakyat’ muncul dalam Ensiklik Fratelli Tuti ini.
Artikel No. 182 dalam ensiklik jelas menyebut ini. “Setiap orang –kita semua—hanya akan menjadi manusia atau pribadi sepenuhnya, manakala kita sendiri merasa diri menjadi bagian dari apa yang sering kita maknai sebagai ‘rakyat’.
3. Persaudaraan sosial
Ensiklik ini –dari namanya Fratelli Tutti —saja sudah jelas dimaksudkan bukan hanya perkara persaudaraan insani (antar pribadi-pribadi manusia). Lebih dari itu, Fratelli Tutti adalah perkara tentang persaudaraan sosial.
Sebuah tema besar yang sudah menjadi minat Kardinal Bergoglio sejak menjabat Uskup Keuskupan Agung Buenos Aires di Argentina tahun 2000 silam.
“Cinta yang mampu melewati batas-batas haruslah menjadi batu pijakan setiap kota dan negara dari mana persaudaraan sosial itu kemudian bisa diretas,” tulis Paus.
Persaudaraan sosial dalam masyarakat itulah yang menjadikan kesediaan universal yang sejati itu kemudian muncul ke permukaan. Contohnya ada dalam kisah seorang Samaria yang baik hati (Lukas 10: 25-37).
4. Setiap orang punya hak untuk hidup secara bermartabat
Salah satu prasyarat akan terselenggaranya persaudaraan sosial adalah terjaminnya martabat hidup setiap orang. Karena paham ini, Paus tidak kurang tegasnya berkali-kali mengecam pemerintahan dan tokoh politik -termasuk orang Katolik sendiri—yang sering kali mengambil sikap tidak peduli terhadap kaum migran –termasuk di dalamnya para pengungsi politik.
Martabat manusia itu datangnya dari Allah sendiri, karena kita semua ini adalah mahkluk yang diciptakan hampir serupa dengan Allah.
Dalam konteks inilah, gagasan tentang hukuman mati juga telah ditolak keras oleh Paus Fransiskus.
5. Seni perdamaian
Menciptakan perdamaian di dunia ini tak ubahnya kerja (mengolah) seni. Justru karena telah dan akan melibatkan semua orang.
“Ini bukan pertama-tama soal tidak adanya perang. Melainkan, perdamaian itu murni sebuah upaya, komitmen tanpa henti dari setiap orang untuk mengakui, melindungi, dan merawat martabat manusia,” tulis Paus.
Perdamaian itu baru bisa ada dan tercipta, kalau ada semangat saling memaafkan dan mengampuni.
“Dengan semangat pengampunan itu, kita berusaha menghadirkan keadilan tanpa harus terperangkap masuk ke dalam semangat balas dendam atau malah menciptakan ketidakadilan dengan membiarkan segala sesuatu tanpa kepedulian kita,” tulis Paus yang Jesuit ini.
PS: Diolah dari berbagai sumber.