KETIKA menjalankan tugas orientasi pastoral di Seminari Menengah Christus Sacerdos Pematangsiantar, saya diberi tugas mengawasi para seminaris di asrama baik waktu makan, istirahat, olahraga, studi malam, dan kerja bakti. Sebagai orang baru yang “kembali ke kandang”, karena sebelumnya juga menjalani pendidikan di sana, beberapa kebiasaan dan suasana menjadi baru bagi saya.
Menjadi pamong seminari
Biasalah sebagai orang baru prinsipnya “lebih baik mengikuti” apa yang sedang terjadi. Namun ada satu hal yang menggelitik saya setiap kali selesai makan siang dan malam, ketika para decanus (ketua) masing-masing rumah menyampaikan pengumuman. Pengumumannya demikian: “Bagi adik-adik kelas kami –kelas Probatorium– kalau melewati ruang tidur abang kelas, tidak boleh ribut. Kalau masih ribut akan mendapat hukuman. Atau lebih baik tak usah lewat tempat ruang tidur daripada mengganggu”.
Kemudian ada juga yang lain mengatakan: “Bagi siapa saja yang terakhir memakai bola kaki di lapangan harus mengembalikannya kepada seksinya. Kalau hilang harus menggantinya dan mengangkat tahi babi selama seminggu”.
Mendengar beberapa pengumuman itu saya risih dan agak jengkel. Sebab saya berpikir bahwa sekolah tersebut adalah “sekolah cinta” dimana orang diarahkan untuk saling mencintai dan lebih memberikan cintanya secara total kepada orang lain, lewat jalan panggilan menjadi imam.
Loh, kalau begitu mengapa ada ancam-mengancam dan hukum-menghukum? Apakah memang demikian model pendidikan yang harus dijalankan di tempat persemaian panggilan menjadi gembala umat? Kemudian tibalah giliran saya memberikan renungan (homili) saat perayaan ekaristi hari Minggu. Lalu rasa risih dan kejengkelan saya dicetuskan lewat renungan (homili) tanpa terkesan untuk menggurui.
Berbuat kesalahan dan dosa
Dalam Injil Matius 18:15-20 Yesus menyatakan demikian: “Apabila saudaramu berbuat dosa, tegurlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai”.
Bila seseorang berdosa atau bersalah, ada beberapa tahap pendekatan yang harus dijalankan agar tujuan yang mau dicapai dalam diperoleh. Pertama, kalau ada seorang saudara bersalah atau berdosa, tegurlah ia di bawah empat mata. Artinya, dua orang saja yang membahas dan mencari solusi persoalan tersebut. Namun kalau saudara tersebut tidak mendengarkan pendapat kita barulah melangkah ke tahap berikut.
Kedua, jika ketika face to face tidak mendengarkan juga, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya dengan keterangan dua atau tiga orang saksi perkara tersebut dapat dipecahkan. Jika saudara tersebut juga tidak mau mendengarkan, sampaikanlah masalah tersebut kepada orang banyak atau jemaat.
Ketiga, jika ia juga tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan orang banyak (jemaat), pandanglah dia sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Kalau dikategorikan sebagai orang yang tidak mengenal Allah berarti tidak ada cinta dan kasih dalam dirinya. Dia mau berbuat dan berbicara semaunya saja tanpa mau menghargai dan menghormati orang lain. Padahal dengan cara demikianlah saudara tadi mampu menerima kritik persaudaraan (fraterna correctio).
“Fraterna correctio”
Fraterna correctio dilakukan atas dasar semangat saling mencintai dan menyayangi, saling menghargai dan menghormati satu sama lain, saling memperbaiki dan menawarkan solusi yang terbaik bagi saudara yang sedang bersalah. Tetapi banyak orang tidak bisa menerima kalau diperlakukan dengan cara demikian. Dia merasa bahwa dia dipermalukan, disudutkan.
Padahal apa yang dilakukan berdasarkan metode biblis di atas tadi merupakan cara yang sangat manusiawi dan saling membangun. Sebab, awalnya mulai dari empat mata, kemudian enam mata atau delapan mata, lalu kemudian komunitas. Artinya, seseorang yang bersalah tersebut tidak secara langsung dipermalukan atau disudutkan di hadapan orang banyak. Begitu juga dengan kasus-kasus yang terjadi di tengah masyarakat bahwa bilamana masih ada rasa saling peduli di antara anggota masyarakat, atau antarsesama masih mau menerima pendapat dan peringatan dari sesama anggota masyarakat serta masih saling menghargai satu sama lain, tidak banyak orang harus menyelesaikan persoalan di kantor polisi apalagi sampai di meja hijau dalam sidang pengadilan.
Dahulu banyak persoalan di tengah masyarakat, dipecahkan melalui musyawarah kampung baik perkara kekerasan, pencurian, penipuan atau hal-hal yang bersifat kebaikan. Hal yang sama juga bisa diterapkan dengan kasus-kasus yang melanda Indonesia saat ini secara khusus masalah korupsi yang menggerogoti seluruh sendiri kehidupan berbangsa. Ketika seseorang melakukan tindak korupsi lalu diingatkan oleh seorang teman sejawatnya, lalu kalau tidak diterima. Diingatkan oleh beberapa teman orang teman sekantornya, kemudian diterima, persoalan korupsi tidak akan sampai ke pengadilan atau bahkan ke pengadilan khusus tindak pidana korupsi.
Persoalannya sekarang adalah masing-masing individu kurang peduli dengan orang lain. Begitu juga ketika ada orang yang berniat baik untuk meningatkan dan menasehati, banyak orang mengatakan: “Urus saja urusanmu sendiri, tak usah kau urusi orang lain”, katanya.
Padahal apa yang dikorupsikan itu adalah hak bersama yang dialokasikan pemerintah untuk kepentingan dan kesejahteraan orang banyak. Artinya, fraterna correctio saat ini tak berlaku lagi. Kritikan persaudaraan atau peringatan untuk mencapai kebaikan tidak diperdulikan orang lagi. Kalau begitu, mau dibawa kemanakah negara kita ini, karena sesama anggota masyarakat tidak mau menerima kritik persaudaraan atau fraterna correctio?
Koreksi atau kritikan kedalam kepada diri sendiri mestinya lebih dikehendaki Tuhan , sebelum kita memberi nasehat ,atau mencoba membetulkan sesama. Apalagi di zaman modern ini . Coba kita dengarkan apa kata Santo Agustinus ; soal betapa sulitnya bagi kita untuk menanggalkan kelekatan kita ( menyangkal diri ) ; ” Yesus pun akan stress , melihat kelakuan pengikut 2 Nya ” .