ROMO Bagya telah mengajarkan cara menjadi guru kepada penulis. Romo J. Subagya SJ, selamat jalan menapaki keabadian.
Pagi ini , 14 November 2020, Romo telah berpulang menutup “buku kehidupan”, sementara 30 tahun lampau Romo membuka jalan saya untuk memulai menjadi guru di SMA Kolese de Britto.
Seorang calon guru dari IKIP Sanata Dharma yang baru menyelesaikan praktik mengajar di de Britto boleh menjadi guru honorer di sana. Saya dan keluarga sungguh mengalami dicintai Romo Bagya.
Ketika pertama kali menjadi anggota pengoreksi ujian nasional, seorang guru sekolah lain bertanya, “Anda guru baru de Britto yang dimaksud Romo Bagya?” Ternyata rekan guru tersebut yang pegawai negeri sipil ingin berpindah tugas bersama dengan beberapa sarjana juga melamar ke de Britto.
Sekian waktu kemudian bertanya kepada Romo Bagya dan dijawab “Ini ada mahasiswa yang belum selesai, tapi mau saya angkat jadi guru.”
Pelajaran menjadi guru sesungguhnya saya dapatkan dari Romo Bagya, Rektor Kolese de Britto sekaligus Ketua Pengurus Yayasan de Britto Yogyakarta. Seperti banyak hari yang lain, pagi itu Romo Bagya berkeliling kampus de Britto, singgah di kantor bagian pengolahan nilai ujian.
“Berapa rata-rata nilai bahasa Indonesia?,” sergah Romo Bagya.
“Enam setengah (6,5), Romo, ini sudah bagus,” kataku setengah berbangga.
Romo Bagya menyebut bahwa nilai murid-murid kolese minimal nilainya tujuh setengah atau delapan. Nilai-nilai ujian atau ulangan itu bukan hanya mengukur prestasi murid.
“Gurunya bisa mengajar atau tidak, materinya terserap atau tidak?,” tandas Romo Bagya selanjutnya. Melihat secara utuh proses yang ditempuh guru itu juga penting. Tidak adil, baru menggunakan satu cara mengajar dan satu ulangan lantas menilai murid tidak menguasai pelajaran bahkan tidak menaikkan kelasnya.
Saya paham.
Sejauh saya merasakan dan dapat memahaminya – Romo Bagya tidak pernah bangga ketika murid-murid tidak naik kelas.
Kepadaku di satu kesempatan, “Coba, dihitung, jika kelas 1 tidak naik 20 siswa, artinya 20 kursi yang seharusnya untuk siswa baru bisa dikalikan jumlah perolehan dana pendidikan dan sumbangan pendidikan bulanan yang lebih besar.”
Bukan pertama-tama Romo Bagya mau mengaitkan pendidikan dengan urusan duit, tapi menyadarkan tanggungjawab guru akan kelangsungkan hidup yayasan dengan cara mengajar sebaik-baiknya.
Saya pun paham.
Hal itu menumbuhkan kesadaranku sebagai guru bahwa kinerja yang baik seorang guru berimbas pada banyak hal. Tentu kesadaran ini penting dimiliki guru-guru di sekolah swasta. Sudah semestinya tidak ada murid tinggal kelas, ketika para guru mengajar dengan tuntas.
Di waktu kemudian, sebagian guru muda mengusulkan agar Yayasan membelikan tanah untuk perumahan guru-karyawan, Romo Bagya pun menjawab “Guru-guru De Britto kalau terpencar itu berguna bagi lingkungan, paroki masing-masing, kumpul di satu komplek kalau ada masalah di rumah terbawa ke sekolah atau sebaliknya, itu tidak sehat.”
Saya sangat paham.
Menyentuh keluarga
Tatkala sebagai guru muda dengan anak-anak masih kecil, keluarga saya mengalami beberapa kali kehadiran beliau. Romo Bagya dengan Vespanya datang menyapa kami di sore hari. Putri kecil kami Prima Interpares (Ima) berbisik di telinga ibunya, “Buk, kaos kaki Romo itu bolong, jempolnya kelihatan”.
Yah, Romo yang biasa bersandal sekaligus berkaos kaki pun tak luput dari pengalaman putri-putri kami mengenai kesederhanaan. Jika kemudian hari berjumpa Romo Bagya, selalu tertanyakan “Ima sekarang sekolah dimana, Angi adiknya?”.
Betapa Romo Bagya menyayangi keluarga guru-gurunya. Sapaan-sapaan seperti itulah yang meneguhkan keluarga muda yang sedang memurnikan panggilan sebagai guru.
Keluarga guru-guru muda berulang-kali mengalami berakhir pekan bersama Romo Bagya, saya merasa diopeni semangat keguruan saya lebih dari kebutuhan finansial yang mesti dicukupkan oleh Yayasan.
Sebagai Ketua Yayasan, saya mengalami ketika akan menugasi saya untuk jabatan tertentu, Romo pun datang ke rumah. Keluarga tahu untuk tugas itu. Mengapa saya Romo?
“Pak Kartono pernah menjadi ketua mahasiswa untuk ribuan mahasiswa di kampus, maka mesti bisa.”
Romo Bagya, terima kasih. Saya beruntung mengalami bimbingan Romo ketika mengawali menjadi guru muda.
Mengapa saya tetap kerasan dan gembira menjadi guru SMA Kolese De Britto hingga kini? Jawabnya, juga karena Romo.