PW St. Ambrosius, Uskup dan Pujangga Gereja
Bacaan I: Yes. 35: 1-10
Injil: Luk. 5: 17-26
PAGI itu saya melihat anak muda pulang gereja mengambil barang ke kantor sekretariat. Dia keluar menenteng dua kantong plastik besar.
“Selamat pagi romo,” sapanya.
“Selamat pagi, banyak sekali bawaanmu. Kamu mau kemana?,” sapa saya.
“Ini belajaan saya romo, untuk jualan,” jawabnya.
Saya agak terkejut mendengar jawabannya. Saya kenal anak muda ini salah satu aktivis di gereja, dan dia sedang menyelesaikan pendidikan SMA.
“Lho kamu sekarang jualan? Jualan apa?,” tanya saya.
“Romo, sejak pandemi ini kan tidak sekolah, sementara saya tidak boleh pulang ke kampung, orangtua meminta saya untuk tetap tinggal di kos. Jadi selama pandemi ini saya tidak pulang dan tinggal di kos.
Romo, orangtua saya di kampung itu pedagang, situasi semacam ini penghasilan orang tua amat berkurang, sehingga kiriman dari rumah juga berkurang; sementara kebutuhan saya lebih banyak.
Sekarang ini harus beli kuota untuk sekolah, belum lagi pengin ngemil karena di kos terus jadi bosan. Saya juga tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir. Daripada cuma protes-protes, saya pikir lebih baik saya berusaha mencari uang agar kebutuhan saya bisa tercukupi.
Saya banyak berdoa dan berharap romo, namun seperti kata romo, berharap itu tidak cukup hanya menunggu, orang harus berbuat sesuatu untuk mewujudkan harapan itu.
Maka saya putuskan saya bikin makanan dan saya jual. Saya menawarkan ke teman-teman dan orang-orang di gereja lewat online maupun langsung.
Puji Tuhan romo, banyak orang menolong saya, sehingga makanan saya laku. Hasil penjualan itu dapat mencukupi kebutuhan saya, bahkan saya sudah tidak minta kiriman dari rumah lagi.
Awalnya, saya pikir apa yang saya lakukan hanya untuk bertahan dalam pengharapan pandemi ini cepat berlalu namun ternyata apa yang saya lakukan tidak hanya bertahan tetapi mendatangkan rahmat luar biasa.”
Anak muda itu menjelaskan.
“Wah hebat, keren kamu. Cowok tetapi tidak malu untuk bikin makanan dan jualan makanan. Keren luar biasa, selamat ya, semoga semakin laris,” pujian tulus saya.
Apa yang dilakukan anak muda ini sungguh luar biasa dan membuat saya kagum. Bagi saya anak muda ini adalah contoh orang yang hidup di dalam pengharapan.
Berani berjuang, tidak meratap dan mengeluh. Melakukan usaha tanpa kehilangan harapan.
Kiranya sabda Tuhan dalam nubuat nabi Yesaya tentang gambaran tanah terjanji yang membahagiakan bukan nubuat untuk menina bobokan umat. Akan tetapi lebih dari itu sebuah ajakan untuk berjuang menata diri dalam harapan.
Tuhan tidak pernah meninggalkan umatnya. “Kuatkanlah hatimu, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan ganjaran. Ia sendiri datang menyelamatkan kalian.”
Bagaimana dengan aku?
Apa yang aku perbuat dalam pengharapan? Apakah aku bertahan dalam pengharapan?