Pertama
Tak berlebihan kalau tahun ini disebut sebagai Annus horribilis, tahun yang mengerikan, zaman penuh kesengsaraan, zaman Kalabendu.
Dampak pandemi Covid-19 demikian dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hingga tanggal 23 Desember, dari 78.950.072 kasus di seluruh dunia yang tercatat, 1.735.179 meninggal.
Pandemi Covid-19 ini telah merusak berbagai sendi kehidupan manusia. Banyak keluarga berduka karena kehilangan sanak saudara. Banyak pula yang kehilangan pekerjaan. Anak-anak yang harus belajar di rumah kehilangan kesempatan untuk bergaul dengan teman-teman sebaya.
Meminjam istilah yang digunakan Romo Muji Sutrisno, pandemi Covid-19 ibarat tombol reset.
Reset berarti mengatur ulang. Jadi apa pun itu yang di-reset akan kembali ke pengaturan awalnya. Kembali ke titik awal. Kembali ke titik nol.
Reset juga berarti menghapus semua data yang dibuat sehingga membuat memori penyimpanan kosong, seperti waktu awalnya. Orang harus lebih banyak tinggal di rumah atau sepenuhnya tinggal di rumah, untuk memutus rantai penularan.
Rumah menjadi sekolah, kantor dan banyak lagi. Covid-19 telah mendorong konsumen online lebih cepat dari yang diharapkan.
Maka itu, para karyawan, pegawai kemudian bekerja dari rumah (WFH). Mal-mal sepi. Kafe-kafe sepi. Pasar sepi. Restoran sepi. Terminal sepi. Bandara sepi. Pelabuhan sepi. Tempat-tempat tujuan wisata, juga sepi.
Orang tidak hanya harus kembali mengatur cara bekerjanya, tetapi juga cara hidupnya. Trauma telah memaksa setiap orang—kaya-miskin, tua-muda, laki-perempuan—untuk menilai kembali kehidupan mereka, dari tempat tinggal hingga apa yang mereka lakukan.
Dunia berubah begitu cepat, dan dengan konsekuensi ekonomi dan kesehatan yang menghancurkan.
Bagi banyak orang, kelangsungan hidup memerlukan perubahan besar, menyeluruh. Orang dipaksa untuk membuat pilihan bijak dalam segala hal: mana yang merupakan kebutuhan utama dan mana yang hanya pelengkap.
Orang juga dipaksa untuk tidak egoistis, memikirkan diri sendiri, tetapi harus memikirkan orang lain. Karena ketidakpedulian pada sesama, akan berakibat fatal.
Kedua
Pandemi Covid-19 juga memaksa orang—yang sadar—untuk berpikir ulang dalam memahami arti kehidupan dan menumbuhkan budaya kepedulian. Memakai masker, menjaga jarak, tidak bergerombol, misalnya.
Memang, ada yang nekad, yang tidak peduli, yang keras kepala dengan melanggar protokol kesehatan. Padahal, peduli adalah bentuk pengakuan terhadap individu sebagai pribadi yang bermartabat yang harus diperhatikan.
Sebenarnyalah, pandemi Covid-19 ini telah—meminjam istilahnya teolog Lutheran dari Jerman Dietriech Bonhoeffer, 1906-1945 (Sindhunata, 2006)—mengajari bagaimana manusia seharusnya berani menjadi manusia; manusia harus menjadi makin manusiawi.
Kata manusiawi menunjuk pada kekhasan manusia dibandingkan dengan makhluk lain. Yang khas pada manusia adalah kesadaran pribadi (akal), kehendak bebas, berdasarkan akal budi.
Dalam kenyataannya, harus diakui, masih banyak manusia yang belum menyadari kemanusiaannya; yang tidak berani menjadi manusia.
Mereka bertindak, misalnya, tidak berdasarkan akal-budi, melanggar batas toleransi akal-budi, melebihi batas kemanusiaan.
Tindakan semacam itu disebut sebagai tindakan tidak manusiawi. Dengan demikian tindakan manusiawi dalam arti luas adalah tindakan yang melibatkan kesadaran (akal), kehendak bebas, dan budi (hati).
Maka, masih meminjam istilah Dietriech Bonhoeffer, pandemi Covid-19 semestinya menjadikan orang semakin menghormati nilai-nilai manusiawi lebih dari nilai-nilai religius.
Apa artinya beribadah sangat tekun dan khusuk tetapi tidak peduli pada sesamanya?
Apa artinya memamerkan simbol-simbol keagamaannya sementara tidak memraktikkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, termasuk toleran pada sesama, siapa pun mereka.
Ketiga
Rasanya, dalam konteks inilah Natal tahun ini dirayakan. Natal adalah kerendahan hati.
Natal bukanlah kekayaan material tapi cinta, bukan keserakahan tetapi kerelaan berbagi, bukan kesombongan tetapi kesederhanaan, bukan egoisme tetapi kebersamaan, bukan inklusivitas tetapi eksklusivitas, bukan permusuhan tetapi persaudaraan.
Natal berarti kembali kepada sejarah bersama bangsa Indonesia, cita-cita bersamanya, dan perjuangan bersama bagi kemanusiaan, bagi nilai-nilai kemanusiaan, bagi Indonesia yang bermartabat.
Jadi, Natal di tengah pandemi Covid-19 ini–yang sepi seperti lebih dari 2000 tahun lalu–baru berarti bila ada keberanian untuk berkorban bagi sesama, terutama yang lemah, yang menderita, yang terpinggirkan, siapa pun mereka.
Dalam bahasa Paus Fransiskus, Natal harus mendasarkan pada “budaya kepedulian,” di mana tidak ada orang yang dibuang.
Selamat Natal. Et in terra pax homibus bonae voluntatis, dan damai di bumi bagi semua orang yang berkehendak baik…