BARU-baru ini seorang pastor di pedalaman Papua meminta saya memberi pelayanan pastoral Natal bagi umatnya di salah satu stasi di parokinya. Saya insaf, pastor itu bukannya tidak memahami keadaan. Tentu saja ia tidak inginkan hal buruk terjadi atas diri saya, jika saja saya pergi membantunya.
Ia ingatkan saya akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan dan membesarkan hati saya dengan cerita bahwa di tempatnya keadaan sejauh ini baik-baik saja. Karena umat di pedalaman tempat dia bermisi sangat mengharapkan pelayanan ekaristi Natal, ia melabrak rasa takut dan hakulyakin bahwa saya tidaklah terlalu bodoh untuk mengabaikan kehidupan.
Ia yakin saya tidak bakal membawa wabah kematian bagi umatnya di sana. Sama besarnya dengan keyakinan itu ialah bahwa sekembalinya nanti saya dari Papua, saya tidak akan membawa virus itu ke Flores.
Jika toh masih tetap ada keraguan, atau supaya pasti saya bebas virus keyakinan itu dapat diverifikasi dengan karantina atau isolasi selama dua pekan.
Momok bernama covid-19
Betapa pun permintaan pastor di pedalaman Papua itu urgen, sebagian orang yang memandang covid-19 sebagai hantu tuyul, ternyata melihat permintaan seperti itu sebagai momok.
Seturut arti tuyul, covid-19 agaknya telah menjadi siluman. Sekarakter dengan tuyul, covid-19 meresahkan, tapi anehnya ia dipelihara dan selebihnya digunakan. Tuyul dipahami sebagai makhluk halus yang konon tampak sebagai bocah berkepala gundul, dapat diperintah oleh pemeliharanya untuk misalnya mencuri uang tetangga.
Seperti rasa takut terhadap hantu merupakan sesuatu yang tidak dipersoalkan akal sehat kendatipun ia tidak terjangkau indra, demikian juga rasa takut terhadap covid-19. Orang merasa sah-sah saja untuk merindingkan bulu kuduk, jika mendengar cerita tuyul covid-19.
Sama wajarnya antara merasa ciut ketika melintasi tempat angker pada malam hari dengan lutut gemetar dan dengkul panas dingin, saat sesama manusia saling berpapasan. Sampai dengan tingkat sekian, eksistensi hidup manusia akan terus berlanjut dan berjalan berdampingan dengan ketidakwarasan demi ketidakwarasan.
Apakah pernyataan ini menggambarkan diri kita yang terlalu ceroboh, kurang pengertian, fatalistis, dan sombong?
Apakah dengan menganggap covid-19 sebagai hantu tuyul akhirnya ketahuan bahwa kita bukanlah manusia berbudi luhur dan berjiwa arif?
Maksud saya, apakah dengan menulis hal-hal tetek bengek kayak ini kita sebenarnya sedang mengumumkan sikap pemberontakan lantaran dilarang bepergian ke luar daerah?
Dapat saja memang kita menjadi gampang baper, tidak mudah move on, dan suka cari selak. Namun, sebenarnya dengan mencari selak sebanding dengan artinya, kita sedang membuka, menyingkapkan, menyingsingkan sesuatu.
Menyelak, dalam pengertian sesungguhnya berarti mendesak dan menggesa-gesakan, dan jika memang begitu, hal apakah yang didesak, dibongkar, disingkapkan, disingsingkan?
Bahaya merisaukan
Keterbatasan wawasan berpikir untuk menghadapi realitas selalu merupakan bahaya paling merisaukan bagi makhluk berakal budi.
Di seberang keterbatasan itu akhirnya seperti kata filsuf Slavoj Zizek (2020), mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita memang memerlukan covid-19 sebagai semacam tuyul.
Zizek menamai tuyul itu ‘bencana besar’ yang dibutuhkan agar manusia mulai memikirkan hal-hal yang begitu mendasar dari kehidupan.
Akan tetapi, jika hal mendasar yang dimaksudkan Zizek ialah solidaritas global dan ajakan agar virus membangkitkan komunisme modern, bagi saya hal mendasar itu adalah pertanyaan apakah dunia berhenti berjalan dan membiarkan “tuyul” covid-19 menghancurkan segalanya.
Apakah dunia berhenti dengan larangan untuk bepergian? Apakah persoalan seputar virus dan hal-hal lain selesai dengan imbauan untuk bertahan di rumah?
Apakah kejayaan dan kepongahan nenek moyang bernama pandemi covid-19 hilang hanya jika kita puas memakai otoritas kita sebagai orangtua untuk menghardik anak-anak kita yang alergi rumah?
Bukankah sebenarnya kita sedang memanipulasi tuyul bangsat covid-19 itu untuk memperbesar otoritas, mengekalkan pengaruh, menyingsingkan lengan patriarki, dan akhirnya merayakan absurdisme?
Jika saya sebagai orangtua sungguh percaya bahwa putra-putri saya sanggup menjunjung tinggi kehidupan, melakukan proteksi terhadap diri mereka secara mandiri dan benar ketika berada di tempat umum, menghargai dan memperlakukan diri dan orang lain secara wajar, mengapa saya terlalu picik mengekang dan memenjarakan mereka di bawah ketiak ketakutan dan kuasaan saya?
Sementara kita mengunci mereka di rumah mungkin saja di luar sana darah mereka amat dibutuhkan untuk menyelamatkan nyawa orang yang membutuhkan donor. Apalah gunanya informasi protokol kesehatan mengenai jaga jarak, pakai masker, cuci tangan – dibagikan, diedukasikan, dijadikan sikap dan nilai baru, jika toh orang dilarang keluar dari rumah?
Yuval Noah Harari
Pertanyaan-pertanyaan baper di atas menggiring kita kepada kepelikan memilih dan memiliki sikap yang paling bijak, paling rasional, dan paling realistis. Tentang soal ini filsuf dan sejarawan Yahudi Yuval Noah Harari menulis “Dalam masa krisis seperti sekarang, kita dihadapkan dengan dua pilihan penting secara khusus. Pertama, antara pengawasan totaliter dan pemberdayaan sipil. Kedua, antara isolasi nasionalis dan solidaritas global.” (Yuval Noah Harari: The World After Coronavirus, 20 Maret 2020.)
Sependapat dengan Zizek, Harari mengatakan hanya solidaritas global yang dapat membantu manusia di seantero jagad secara kolektif. Namun, harapan itu menjadi nyata hanya jika yang kaya bersedia membantu yang miskin dan tidak berpunya. Negara kaya tidak egoistis memboikot vaksin misalnya, seraya membiarkan warga dari negara-negara miskin binasa.
Selain menggarisbawahi pentingnya pengawasan dan mengimbau agar orang mesti taat, Harari menyingkapkan hal lain, yaitu bahwa pengawasan itu harus menabrak persoalan krusial, yakni bahwa ruang privat manusia dicopot.
Ia berkata bahwa “hingga kini, saat jarimu menyentuh layar gawai dan menekan sebuah pranala, pemerintah ingin mengetahui secara seksama apa yang kamu tekan. Tetapi dengan virus corona, fokus perhatian berubah. Sekarang pemerintah ingin mengetahui temperatur jarimu sekaligus tekanan darah di balik kulit.”
Harari sadar, salah satu persoalan yang kita hadapi saat ingin tahu posisi kita berdasarkan pengawasan adalah tidak ada satu pun dari kita yang mengetahui cara kita diawasi, dan apa yang akan terjadi pada tahun-tahun selanjutnya. Sampai kapankah orangtua bertahan menjadi pengawas buat putra dan putrinya?
Seakan menyadari pentingnya persoalan ini, Bambang Soesatyo, ketua MPR RI menulis opini yang patut dibaca dan dijadikan bahan refleksi. (Bdk. https://news.detik.com, 5 Juni 2020).
Menurut Soesatyo pada saat tidak adanya kepastian tuyul covid-19 bakal hilang, pilihan untuk terus melanjutkan kehidupan secara baru mesti diambil. Pilihan itu menyangkut keberanian untuk menerapkan normal baru.
Soesatyo berpendapat bahwa keharusan untuk menerapkan normal baru diambil agar semua orang punya peluang untuk bertahan dan bergerak maju. Mereka yang berkecukupan terpaksa membiayai hidup harian dari tabungan. Fondasi banyak perusahaan juga melemah karena harus terus membayar gaji karyawan, sementara pendapatan nyaris nol akibat terhentinya putaran roda bisnis. Keceriaan anak dan remaja nyaris hilang karena harus berdiam di rumah.
Siapa pun akan menyetujui pendapat di atas, sebab tidak satu pun makhluk berakal budi sanggup memastikan tuyul covid-19 meregangkan nyawa terakhir, dan keberadaannya pun sulit diprediksi. Dan, ketika keberadaan pandemi tuyul itu tidak bisa dihitung, yang muncul di awal adalah dilema; menunggu sampai akhir, atau bersiasat untuk mencegah kehancuran.
Kalau memilih menunggu, berapa lama pilihan waktunya? Ini pun tak bisa dijawab. Maka, mau tidak mau, pilihannya adalah bersiasat untuk bisa hidup berdampingan dengan tuyul itu. Agar bisa terhindar dari kemungkinan penularannya diperlukan protokol kesehatan yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh semua orang.
Protokol kesehatan itu merumuskan tatanan baru bagi perilaku setiap orang dan interaksi antar-individu di ruang publik, di kantor atau tempat kerja, pasar, rumah makan atau kafe hingga sekolah dan rumah ibadah.
Rumusan protokol kesehatan diperlukan bagi upaya melabrak pengawasan yang cenderung otoritatif dan cenderung ‘pukul rata’. Sikap ‘pukul rata’ itu tampak misalnya dalam larangan menolong mendonorkan darah bagi orang yang hampir mati kehabisan darah, lantaran alergi terhadap apa pun yang bersifat ke luar dari rumah.
Akar dari apatisme, tidak sudih menolong walaupun dituntut urgensi, bukan tuyul covid-19, melainkan absurdisme. Absurdisme dimengerti sebagai paham (aliran) yang didasarkan pada kepercayaan bahwa manusia secara umum tidak berarti dan tidak masuk akal.
Dengan didasarkan pada paham itu tuyul covid-19 hanyalah sarana yang mempertebal kedurhakaan. Atas dasar itulah strategi karantina wilayah dan berbagai pembatasan tidak dapat diterapkan jika penerapan sistem itu menghancurkan nilai kemanusiaan, mematikan solidaritas, menggeruskan moralitas universal, memudarkan warna-warni kehidupan, dan memperkokoh absurdisme.
Sikap yang paling mungkin dan netral tatkala bertarung menghadapi tuyul covid-19 ialah “strategi keluar (exit strategy)” yaitu sebuah cara untuk menghentikan berbagai kebijakan pembatasan dan mengembalikan kehidupan normal.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyarakan strategi keluar itu dengan melakukan test, tracing, treat dan isolate. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mendesak saran itu disertai anjuran untuk mendidik, melibatkan, dan memberdayakan masyarakatnya untuk hidup di bawah normal baru. Tidak ditemukan pengawasan otoriter dalam anjuran itu. Searah dengan Ghebreyesus, Presiden Jokowi di Indonesia memakai istilah ‘berdamai dengan virus corona’, karena tuyul itu dipastikan tidak cepat hilang.
Dalam kaitan dengan seruan untuk berdampingan dengan tuyul itu dibutuhkan transformasi gaya hidup dan cara berpikir, bukan pengawasan yang absurd.