PERNAH di suatu paroki di Keuskupan Agung Medan, tepatnya di Kantor Camat Datuk Bandar Kota Tanjungbalai tertulis data penduduk demikian: Warga yang beragama Islam sebanyak 23.816 jiwa, warga yang beragama Kristen berjumlah 7.838 jiwa, warga yang beragama Hindu berjumlah 4 jiwa, warga yang beragama Buddha berjumlah 88 jiwa, warga yang beragama Kong Hu Chu tidak ada.
Lalu statistik jumlah penduduk itu dijumlahkan sebanyak 31.746 jiwa. Lalu ketika membaca dan memperhatikan data tersebut, kami bertanya dalam hati: Kenapa jumlah umat Katolik tidak ada? Apakah memang warga yang beragama Katolik tidak ada?
Tidak ada yang katolik
Padahal sepengetahuan kita bahwa Agama Katolik belum pernah dikeluarkan dari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Eksistensi Katolik sebagai salah satu agama resmi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap diakui dan sah. Padahal de facto kami sendiri yang membaca data tersebut jelas-jelas penduduk kecamatan tersebut, yang dibuktikan dengan data kependudukan pada Kartu Tanda Penduduk: beragama Katolik dan berdomisili di wilayah kecamatan tersebut.
Mengamati data tersebut, kami merasa gelisah dan bingung: Ada apakah gerangan sehingga data tersebut demikian adanya? Besoknya kami sendiri berinisiatif menemui Bapak Camat. Saat bertemu dengan camat, kami bertanya: “Apakah data kependudukan berdasarkan agama yang ditampilkan itu sungguh akurat, Pak?”
Lalu Pak Camat menjawab: “Kami mohon maaf, data ini memang belum lengkap, karena itu kami berusaha memverifikasi ulang. Dan kalau Bapak bisa membantu kami memberi data yang akurat sesuai dengan agama Bapak, dengan senang hati kami menerima”.
Mendengar jawaban tersebut kemarahan yang sudah terpendam sebelumnya tidak jadi meledak, bahkan luluh. Sebab si camat tidak bertahan pada kesalahannya.
Yang benar
Namun persoalan tidak berhenti disitu saja, kami sendiri melaporkan kenyataan ini kepada Ketua Dewan Pastoral Paroki dan Pastor Paroki Tanjungbalai. Tidak itu saja, kami juga menyampaikan laporan data tersebut kepada umat lingkungan yang berada di wilayah terdekat kantor camat tersebut.
Berdasarkan data statistik paroki ada lima lingkungan berada di kecamatan tersebut, yang menurut data jumlah per Kepala Keluarga, kelima lingkungan tersebut terdiri dari lingkungan St. Andreas 43 KK, St. Petrus 32 KK, St. Theresia 43 KK, St. Maria 41 KK, dan St. Yosef 68 KK. Artinya, ada 227 KK bertempat tinggal di kecamatan dimaksud. Tapi mengapa tak satu pun terdaftar sebagai warga yang beragama Katolik berdomisili di kecamatan itu?
Padahal berdasarkan persentasinya, seluruh umat Katolik di lima lingkungan yang berada di wilayah Kecamatan Datuk Bandar tersebut mencapai 64 % dari seluruh umat Katolik pada Stasi Induk Tanjungbalai tepatnya yang berada di Kota Tanjungbalai. Namun kenyataannya, tak satu orang pun diperhitungkan keberadaannya. Ada beberapa temuan bahwa warga yang beragama Katolik tak memprotes kepada pihak kelurahan atau kecamatan, ketika data keagamaannya di KTP dituliskan beragama Kristen. Umat Katolik merasa hal itu sama saja, padahal kenyataannya tidak demikian.
Tak ada tanggapan
Ketika data itu disampaikan kepada Pastor Paroki dan Ketua Dewan Pastoral Paroki, mereka hanya bingung dan tidak mau bertindak sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Padahal sewajarnya mereka harus marah dan menuntut Camat untuk meminta maaf karena tidak memberikan data yang akurat dan terpercaya. Semestinya mereka harus mendatangi kantor camat untuk mengklarifikasi fakta yang telah dipublikasikan.
Dari fakta diatas terlhat bahwa kadar kekatolikan kedua pejabat Gereja tadi sudah tak wajar lagi, sebab seharusnya mereka merasa tersinggung dan menyampaikan penyataan protes kepada pejabat yang lebih tinggi. Namun hal itu tidak dilakukan.
Ini menjadi satu bukti bahwa rasa kekatolikan sudah mulai memudar. Padahal seharusnya merekalah yang berada di barisan terdepan untuk meminta penjelasan yang rinci dari pejabat yang berwewenang atas pembuatan data yang demikian. Itu yang pertama.
Kedua, warga yang beragama Katolik juga telah hilang kesadaran kekatolikannya, sebab ketika menerima KTP tidak complain kepada petugas kelurahan atau kecamatan yang telah menuliskan data secara keliru.
Ketika umat itu bertanya: “Kenapa agama saya dibuat Kristen, padahal saya Katolik”. Petugas tersebut menjawab: “Samanya itu, Bu”. Setelah itu mereka berlalu dan membawa data resmi kependudukannya yang salah. Ini bukti bahwa sense of catholics telah menipis. Lalu siapakah yang harus bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. (Bersambung)
Oleh karena itu pentingnya berkatekese berkelanjutan dan membudayakan ajaran gereja yang cinta kasih dan peduli terhadap sesama. Jadi janganlah menganggap sepele tentang iman, bagi yang mengimani katolik ya hendaknya menegaskan bahwa saya/kami adalah seorang “katolik” sehingga pencetakaan di KTP jelas indentitasnya. Semua ini untuk memudahkan pendataan umat. Mari membudayaka kebenaran, keadilan dan kejujuran.
Saya sangat setuju dengan apa disampaikan Sdr. Tony bahwa kalau kita mengimani iman Katolik secara otomatis berani pula kita mengungkapkan kita sebagai umat Katolik, yang secara khusus dalam dokumen-dokumen kenegaraan kita, semisal: Kartu Tanda Penduduk (KTP), KK (Kartu Keluarga), dan lain-lain. Artinya, penyataan kita bukan hanya di bibir, namun secara tertulis pun kita berani mengungkapkannya! Thanks for Sdr. Tony atas tanggapannya.
Di publik, kerap kali kita menemukan bahwa publik banyak tidak tahu membedakan mana yang kristen dan mana yang Katolik. Katolik atau kristen disamakan saja. Untuk itu fungsi Penyuluh agama Katolik yang memberi penerangan atau bimbingan tentang kekatolikan amat penting agar publik mengetahui dan menyadari bahwa agama Katolik dan Kristen itu berbeda secara lembaga maupun ritus keagamaan. Terima kasih. Salam
Apa yang diuraikan oleh Bapak Pormadi sangat tepat dan sudah kami lakukan sebagai Penyuluh Agama Katolik. Namun belum terinternalisasikan ke dalam diri umat kita secara khusus, juga terhadap umat non Katolik. Mpga-moga ke depan pemahaman itu semakin lebih baik.
terima kasih bang atas responsenya