SERING juga terjadi di daerah pemerintahan otonom sekarang ini seperti kabupaten dan kota bahwa Katolik kurang diakui atau sengaja tidak diperhatikan. Bukti yang mau kami sampaikan adalah ketika di pemerintahan kota dan kabupaten dilakukan pelantikan pejabat baik eselon IV, III, dan II agama katolik seringkali diabaikan.
Kerap terjadi bahwa ketika yang akan dilantik adalah pegawai yang beragama katolik, maka pihak yang menyumpahnya bukan rohaniwan dari agama yang bersangkutan. Hal itu sengaja atau tidak, kami sendiri tidak tahu. Tetapi yang jelas ketika terjadi pelantikan pun pegawai yang bersangkutan tidak merasa risih saat dia disumpah oleh rohaniawan dari agama lain.
Kalau ditanya petugas yang berwewenang untuk mengundang rohaniwan tersebut, mereka menjawab: “Kami sudah mengundang rohaniwan Kristen”. “Tapi saya kan Katolik, Pak”, kata pegawai yang akan dilantik.
Lalu mereka menjawab: “Itu toh sama saja”.
Dengan menerima jawaban yang demikian pegawai yang bersangkutan pun tak berani lagi memberikan argumentasi yang lebih jelas. Barangkali ia takut tidak dilantik. Sekali lagi dalam hal ini rasa kekatolikan kita makin memudar, hanya demi sebuah jabatan. Lebih penting jabatan daripada agama dan iman yang dipercayainya. Kalau begitu situasinya, siapa seharusnya yang harus bertanggungjawab terhadap masalah tersebut.
Seharusnya semua umat, tapi paling tidak orang yang bersangkutan dan pejabat Gereja setempat harus membuat terobosan tentang hal tersebut, karena mengetahui persoalannya.
Tidak ada guru agama katolik
Masalah lain yang kami amati hampir sama khususnya menyangkut daerah-daerah dimana kekristenan dan kekatolikan sebagai kelompok minoritas. Kelompok mayoritas pada umumnya sangat tidak peduli dengan keberadaan kelompok minoritas apalagi menyangkut agama.
Salah satu buktinya soal pelajaran agama di sekolah. Dari sekian puluh sekolah negeri mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas di Kota Tanjungbalai, hanya ada satu Guru Agama Katolik yang ditempatkan pemerintah untuk mengajar Agama Katolik.
Memang di kota ini ada tiga sekolah di bawah naungan Yayasan Katolik mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Namun walaupun demikian terjadi, sebaiknya pihak paroki berinisiatif untuk menempatkan guru-guru agama di sekolah tersebut agar anak-anak yang beragama katolik dapat memperoleh pelajaran Agama Katolik di sekolah negeri.
Artinya, pihak parokilah yang bertanggungjawab memfasilitasi hal yang demikian. Sebab kekayaan iman yang dimiliki oleh anak-anak itulah yang hendak kita selamatkan dan kembangkan, daripada mereka harus menerima pelajaran agama kristiani dari dominasi lain. Akibatnya anak-anak yang beragama Katolik pun tidak bisa lagi membuat tanda salib, karena tak pernah dibiasakan di sekolah bahkan di rumah.
100% Katolik, 100% Indonesia
Bercermin pada fakta di atas, kita mesti tetap menggaungkan seruan atau adagium yang pernah dicetuskan oleh Uskup Agung Semarang dahulu yakni Mgr. Albertus Soegiopranata, SJ: “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Warga Negara Indonesia”.
Artinya, dengan cara kita masing-masing harus mampu melestarikan ungkapan tersebut. Walaupun pertanyaan kembali muncul: Bagaimana kita bisa mengatakan kita sebagai warga negara, bila keberadaan kita sebagai warga negara pun tak diakui?
Dengan kata lain, kalimat adagium tadi tak punya makna apa-apa. Sebab keberadaan umat Katolik tidak diakui sama sekali. Dalam kerangka pemahaman yang hampir sama, Uskup Agung Medan, Mgr. Anicetus Bongsu Sinaga pernah juga menandaskan: “Sekali Katolik, Tetap Katolik, dan Utuh Katolik” dalam Bhakti Kekatolikan Sejati yang diuraikan dalam Tri Manifes Pastoral Keuskupan Agung Medan.
Namun adagium itu harus digugat, karena “roh” dari Tri Manifes Pastoral tersebut tidak punya gaung apa-apa.
Menurut hemat kami, kalau kita hendak menjadi 100% Katolik dan 100% WNI, siapa pun yang tercatat sebagai warga Gereja Katolik harus tercatat juga di instansi negara, dimana umat Katolik itu berdomisili. Kalau tidak, berarti hanya mengaku sebagai umat Katolik, tapi hanya “merasa” sebagai warga negara Indonesia, bukan mengaku sebagai bangsa Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Sumpah Pemuda 1928 dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dari kasus data yang kami uraikan di atas, nyatalah bahwa keberadaan umat Katolik kurang diakui, karena itu umat Katolik seharusnya bereaksi menanggapi complain atas tindakan pemerintah tersebut. Karena itu, tindakan pemerintah yang demikian tak bisa ditolerir, apalagi dibiarkan. Karena dalam UUD 1945 pun, keberadaan warga negara yang beragama Katolik pun sah diakui di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. (Selesai)
saya jg katolik sendiri di instansi pemerintahan tempat saya bekerja, bahkan kantor saya mengurusi jemaah umroh dan haji, Puji Tuhan Tuhan selalu menguatkan imanku utk selalu setia pada-Nya, Tuhan Kuatkan imanku selalu dan tunjukkanlah jalan terang-Mu padaku dalam ku bekerja. Amin
Emangnya Mbak Nita bekerja dimana? Kalau bisa ditebak, mungkin di Kantor Kementerian Agama ya. Soalnya sampe mengurusi jemaah umroh dan haji. Salam kenal, ya Mbak. Saya juga bekerja di Kantor Kementerian Agama, Mbak.