Renungan Harian
19 Februari 2021
Bacaan I: Yes. 58: 1-9a
Injil: Mat. 9: 14-15
BEBERAPA tahun yang lalu, saya diundang makan oleh beberapa teman di sebuah rumah makan. Hari itu, kami makan bersama seperti reuni dengan teman-teman kerja saya dahulu.
Kami menikmati makan malam sambil ngobrol “ngalor ngidul”, bercanda dan tertawa lepas bersama.
Malam itu sungguh malam “melepas” obrolan yang sudah lama tidak kami nikmati.
Di tengah obrolan itu, salah seorang teman bertanya:
“Eh, ngomong-ngomong kalian puasa tidak?”
Hari itu adalah Masa Prapaskah.
“Puasa, cuma hanya tiap hari Jum’at saja,” jawab seorang teman.
“Sama, saya juga seperti dia,” jawab teman lain.
“Wah parah nih kalian, masa puasa hanya tiap hari Jum’at,” teman yang bertanya tadi menimpali.
“Sudah beberapa tahun, saya selalu puasa 40 hari, mulai Rabu Abu sampai nanti Jum’at Agung,” teman itu menegaskan.
“Wah keren, emang beda kalau orang saleh dengan kami-kami orang berdosa ini,” sahut salah seorang teman sambil tertawa.
“Lho, kalau kamu puasa 40 hari kapan? Saya sering melihat kamu makan di luar?” tanya seorang teman.
“Iya, tetapi makan malam. Saya sehari hanya makan sekali, makan malam saja. Sepanjang hari saya tidak makan dan minum, sampai nanti matahari terbenam,” teman saya menerangkan.
“Lalu, kenapa juga malah makan di luar?” tanya seorang teman lagi.
“Habis bagaimana ya, orang rumah itu tidak mau tahu kalau saya sedang puasa. Isteri menyediakan makanan di rumah itu seperti hari-hari biasa, tidak ada perubahan. Maksud saya, berubahlah menyediakan makanannya, ada yang berbeda, kan dia tahu kalau saya sedang puasa. Beberapa kali saya ngomong, tetapi ujungnya malah ribut soal makanan. Dari pada ribut di rumah mending saya makan di luar,” jawab teman saya.
“Dab, dab (mas) kalau seperti itu mending kamu gak usah puasa. Ngapain juga kamu puasa kalau malah lebih boros dan menyia-nyiakan masakan isterimu. Lebih baik kamu tidak puasa tetapi selalu makan di rumah dan mensyukuri makanan yang disediakan isterimu.
Menurut saya itu sudah bentuk puasa. Dab, dab kamu puasa 40 hari tetapi selama 40 hari kamu bikin kesel isterimu untuk apa?,” salah seorang teman komentar, dan kami tertawa.
“Eh, setan-setan, kalian tidak puasa tetapi malah mengkotbahi orang yang puasa. Kalian jalani puasa dulu seperti saya baru kalian bisa merasakan apa yang aku rasakan. Dasar setan-setan bisanya cuma mengganggu,” jawab teman saya.
“Namanya juga setan, jadi tugas kami memang mengganggu, kalau untuk mengganggu harus puasa dulu ngapain kami jadi setan,” jawab teman lain, yang ditanggapi dengan tawa terbahak kami semua.
Kiranya benar apa yang dikatakan teman saya, meski karenanya kami disebut setan.
Puasa sesuatu yang baik dan luhur, tetapi kalau dengan puasa membuat orang lain bahkan isteri sendiri menjadi sakit hati dan kesal menjadikan makna puasa hilang.
Maka benar kata teman saya lebih baik tidak berpuasa, tetapi membuat orang lain menjadi damai dan merasa dicintai.
Sebagaimana sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan Nabi Yesaya yang mengkritik cara puasa orang-orang Yahudi:
“Berpuasa yang Kukehendaki ialah: engkau harus membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk; membagi-bagikan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri”.
Bagaiman dengan aku?
Bentuk puasa seperti apa yang aku jalani?