Bacaan I: Ul. 26: 16-19
Injil: Mat. 5: 43-48
“ROMO, saya orang Katolik dan selama ini saya berjuang untuk hidup sebagai orang Katolik yang baik. Tetapi, kalau sekarang saya dianggap orang Katolik yang tidak baik, sebagai orang berdosa, tidak boleh terima komuni bahkan saya dikeluarkan dari Gereja Katolik, saya akan terima. Saya akan ikut misa dari luar pagar gereja pun saya ikhlas,” seorang ibu muda datang langsung nyerocos penuh emosi.
“Maaf ibu, sebenarnya ada apa?,” tanya saya dengan heran.
“Romo, saya sudah menikah sudah hampir 15 tahun dan kami dikaruniai seorang anak. Setelah menikah, saya baru tahu kalau suami saya pernah hidup bersama dengan perempuan lain. Saya tahu, karena perempuan itu melabrak saya di rumah.
Masalah itu bisa kami selesaikan baik-baik, saya mau menerima suami dan suami juga berjanji untuk setia dengan perkawinan kami. Ternyata dalam perjalanan, suami berkali-kali selingkuh. Dan alasannya adalah karena saya belum bisa memberi keturunan; dan yang paling menyakitkan adalah ibu mertua ikut menyalahkan saya.
Setelah saru tahun perkawinan saya hamil Romo. Dan saya pikir, suami menjadi insaf, ternyata tidak. Sejak saya hamil, suami tetap dengan perilaku yang sama, selingkuh sana-sini.
Sejak dua tahun belakang ini, suami saya sudah punya isteri lagi dan punya anak dengan istri barunya. Berkali-kali saya minta pisah, toh kenyataannya suami tidak pernah tinggal di rumah, dan saya yang menghidupi keluarga.
Setiap kali saya meminta pisah, ibu mertua selalu mengatakan bahwa perkawinan Katolik tidak boleh cerai. Sebagai isteri, saya harus sabar dan mendoakan.
Menurut ibu mertua, suami saya itu orang baik. Dan sekarang ini, baru kena godaan setan, maka saya harus lebih rajin berdoa.
Sebagai orang Katolik, saya harus bisa mengampuni. Seperti Tuhan Yesus yang telah mengampuni kita. Romo, saya muak sebenarnya dengan nasehat itu, tetapi saya berjuang untuk hidup sebagai orang Katolik yang baik.
Romo, sekarang saya sudah tidak tahan lagi. Rumah tempat saya dan anak saya tinggal, yang saya beli dari hasil jerih payah saya, dijual dengan seluruh perabotnya. Saya tidak pernah tahu, kalau rumah itu dijual. Tahu-tahu ada orang yang datang mengaku sebagai orang yang membeli rumah dan meminta saya pergi. Dengan diberi waktu satu pekan.
Dalam situasi seperti itu, ibu mertua saya tetap dengan nasehat yang suci. Saya diminta mengikhlaskan, dan saya diminta tinggal dengan orangtua saya dulu. Nanti Tuhan pasti memberi ganti yang lebih baik. Saya tetap diminta memaafkan dan mengerti suami yang sedang terkena godaan setan.
Romo, saya bukan Tuhan Yesus. Saya sudah tidak bisa lagi menerima diperlakukan seperti ini. Sekarang saatnya saya melawan. Saya sudah memutuskan untuk meninggalkan suami saya. Dan saya memulai hidup yang baru dengan anak saya.
Romo, itu sudah keputusan saya.
Romo akan menghukum saya apa pun saya terima. Saya tidak akan pernah mengampuni suami dan ibu mertua saya, pun saya juga tidak mau lagi mendoakan,” ibu itu menjelaskan dengan marah.
Betapa mudah membicarakan tentang pengampunan, mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Betapa mudah mengatakan mengampuni dengan memandang Yesus yang tersalib.
Namun dalam kenyataan sehari-hari betapa amat sulit dan rasanya mustahil. Seperti ibu yang mengalami peristiwa seperti itu, betapa kata-kata pengampunan sudah tidak masuk dalam hidupnya.
Adakah kata-kata bijak yang dapat diterima oleh ibu itu dalam situasi seperti itu?
“Ibu, Gereja tidak menghukum ibu. Ibu tetap boleh ke gereja, jangan pernah merasa Gereja akan memberikan hukuman. Gereja amat mengerti akan penderitaan ibu dalam hidup berkeluarga.
Saya bisa mengerti dan menghormati keputusan ibu, dan saya akan membantu untuk mencarikan jalan keluar atas masalah perkawinan ibu, agar ibu dapat hidup dengan putera ibu dengan lebih damai,” jawab saya, dengan penuh harap dapat diterima dan berguna untuknya.
Sabda Tuhan hari ini sejauh diwartakan dalam Injil Matius, Tuhan menegaskan penting menjalankan hukum kasih, bahkan dengan cara yang radikal.
Tetapi kiranya Yesus amat mengerti betapa sulit yang radikal itu dapat dilaksanakan, maka yang dituntut adalah perjuangan terus menerus. “Karena itu haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.”
Bagaimana dengan aku?
Apakah aku di jalan perjuangan untuk menjadi sempurna?