Mrk 12:28b-34
SUDAH hampir lima tahun ini, saya berkarya di tengah orang-orang Dayak pedalaman Apau Kayan. Di sana saya mengalami berladang adalah “gaya” dan budaya hidup.
Untuk mereka, berladang sepertinya sebuah profesi hidup. Mungkin mereka memaknai hidup di dunia ini hanya sebagai tempat untuk menumpang hidup sementara.
Sesederhana itukah? Tidak.
Berladang memiliki alur, perjuangan dan kisahnya sendiri. Pilihan hidup berladang adalah pilihan untuk mencintai hidup.
Bisa jadi atau mungkin melalui perjuangan hidup mereka yang berat dan susah payah itu, mereka ingin menguliti hidup kami para kaum religius yang kadang tergoda mengandalkan doa dan berharap pada belaskasihan umat Allah.
Cara dan bagi orang pedalaman mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan bisa ditempuh dan diraih melalui pilihan hidup berladang. Berladang berarti mengalami “hidup biara” di dunia kongkrit.
Kok bisa? Bisa.
Karena di ladang mereka akan di tagih cinta yaitu, kerelaan mereka untuk ikhlas dan tulus dibakar sengat matahari saat bekerja dari pagi sampai sore.
- Kerelaan mereka untuk tidur di pondok dan mau makan seadanya. Kerelaan mereka untuk tidur tanpa AC dan ikhlas ditusuk kedinginan malam.
- Kerelaan mereka untuk ikhlas bersahabat dengan lumpur dan kotoran. Dan kerelaan mereka untuk mengalami “kesunyian” hutan, seperti hidup tanpa lihat TV, sinyal HP dan tanpa dipublikasi oleh media dan semacamnya.
Gaya dan pola hidup mereka ini, nampak seperti teladan hidup yang bisa menjadi pembelajaran bagi kami para imam dan biarawan/i.
Untuk mereka hidup “terasing” dari dunia metropolitan bukan sesuatu yang perlu diratapi dan lantas karena merasa tidak diperlakukan secara adil oleh pemimpin publik, lalu didemontrasi begitu?. Tidak.
Kenyataan hidup diterima saja dengan iklhas, kendati harga “sembako” selangit. Kenyataan yang menimpa kehidupan tidak perlu menyalahkan keadaan dan orang lain.
Sepertinya, mereka sudah didoktrin oleh petuah ini, “Sukar kami menerka apa yang ada di bumi, dan dengan susah payah kami menemukan apa yang ada di tangan, tapi siapa gerangan telah menyelami apa yang ada di surga?” (Keb 9:16).
Atau dari pada banyak menyalahkan si ini dan si itu, lebih baik menyalakan “lilin” dalam hati dan jiwa sendiri. Mengingat, keluarga di rumah hanya berharap mereka cintai lewat penyediaan makanan dan jika bisa pendidikan.
Dan yang kami perjuangan di sini adalah kebutuhan hidup saat ini demi bertahan hidup yang sekilas ini.
Rasul Paulus telah menunjukkan, cinta kepada Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan raganya berkata:
“Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga. Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku. Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kis 20:33-35).
Ketika Rasul Paulus telah melakukan ini, semua dia layak disebut pelita kasih.
Renungan: Mencintai Tuhan dan sesama berarti melupakan diri sendiri
Tuhan memberkati.