Pengalaman Vaksinasi Covid-19 di Kampus BSD Unika Atma Jaya

0
1,457 views
Kampus BSD Unika Atma Jaya di Serpong, Tangerang menjadi lokasi berlangsungnya layanan vaksinasi gratis. (Royani Lim)

MESKI tidak pernah terpapar Covid-19 dan selama hampir setahun ini benar-benar selalu hanya bisa ndekem (tinggal) di rumah saja, pandemi penyakit virus corona ini tetap saja sampai membuat hati keder.

Orang mungkin senang, bisa mendapat kesempatan vaksinasi Covid-19. Tapi, reaksi  emosi saya malah kebalikannya. Stres.

Lantaran, pikiran sudah “diracuni” oleh informasi-informasi negatif. Terutama berita-berita soal indikasi-indikasi gejala fisik pasca vaksinasi.

Itu, demikian kata orang, yang harus tetap diwaspadai.

Hal lainnya adalah kesempatan bisa mendapatkan vaksinasi itu juga mendadak. Baru pukul 23.00 lebih sedikit semalam. Lantaran, di sebuah grup percakapan, Ketua Yayasan Unika Atma Jaya Wiwiek D. Santoso telah mengkonfirmasi bahwa saya boleh disertakan untuk divaksinasi.

Boleh ikut isteri dalam kapasitasnya sebagai pengajar di Atma Jaya, demikian kata teman kami itu.

Jadilah, saya didaftarkan semalam. Hanya beberapa menit sebelum berganti hari dan tanggal. Ternyata tidak sukses.

Justru, itu yang menjadi penyebab awal mengapa stres malah menguasai emosi. Akankah menjadi kenyataan bahwa esok hari saya benar-benar bisa menerima vaksinasi?

Soalnya, tugas saya pertama-tama hanya menjadi “tukang ojek” bagi isteri yang punya akses bisa divaksinasi. Selebihnya, saya masih ragu karena statusnya hanya ikut “numpang” saja.

Nyaman dan lancar

Kampus Unika Atma Jaya BSD di Serpong, Tangerang, tampak sungguh lapang. Lahan parkirnya luas dan juga teduh. Untuk keperluan vaksinasi ini, petugas layanan pemandu informasi berjumlah sangat banyak.

Kehadiran mereka tentu memberi suasana nyaman bagi para calon penerima vaksinasi. Tidak sampai satu menit, kepastian bahwa saya boleh terima vaksin sudah langsung bisa memberi rasa lega.

Selebihnya adalah pelayanan yang cepat, efektif, dan jitu. Alias “cepat tanggap” dengan kebutuhan masing-masing calon penerima vaksin.

Cek identitas diri dan suhu badan setiap calon penerima vaksin oleh pemandu info dan relawan. (Royani Lim)

Yang menarik, para relawan pemandu informasi itu masih anak-anak muda. Hampir pasti, mereka itu para mahasiswa-mahasiswa Unika Atma Jaya sendiri. Tampak bahwa mereka sangat hafal dengan peta lokasi dan mekanisme prosedural sebelum dilakukan vaksinasi.

Ngomong-ngomong, program vaksinasi yang diselenggarakan oleh Unika Atma Jaya di Kampus BSD ini hasil besutan bersama antara tiga instansi. Yakni, Yayasan Atma Jaya, Alumni Atma Jaya, dan Klinik Atma Jaya.

Pihak penting sang pemberi mandat dan prokurasi vaksin yakni Pemda Tangerang melalui Dinas Kesehatan.

Semua prokurasi vaksin telah disediakan oleh Dinkes Tangerang. Pertama-tama memang ditujukan untuk kaum lansia di Tangerang, sedangkan biaya penyelenggaraan ditanggung oleh Unika Atma Jaya.

Screening ketat

Pertama-tama, tentu saja penting masing-masing calon penerima vaksin itu harus membawa kartu identitas diri yang asli. Bukan fotokopian. Berlaku untuk semua orang. Untuk keperluan otentifikasi calon penerima vaksin.

Apalagi bagi mereka yang hanya “numpang” saja. Maka perlu membawa Kartu Keluarga atau Sertifikat Akta Kawin. Dan tentu saja juga KTP.

Semua data diri itu lalu ditunjukkan kepada petugas layanan untuk dilakukan cross-check data identitas diri.

Antrian calon penerima vaksinasi dengan duduk berjarak di halaman depan akses masuk gedung kuliah. (Mathias Hariyadi)

Proses cross-check data calon peserta vaksinasi ini berlangsung sampai tiga kali. Menghadap tiga meja dan setiap meja harus selalu menyodorkan KTP dan KK atau Akta Nikah.

Benar-benar harus korek. Alias tidak boleh terjadi penulisan data sembarangan. Agar kalau terjadi dampak ‘negatif’ pasca vaksinasi, maka tracing histori bisa dilakukan dengan cepat dan benar-benar sudah verified.

Setelah semua terverifikasi, saya lalu dibawa ke sebuah ruang tunggu untuk dilakukan screening kesehatan oleh dokter beneran yang bertugas menginvestigasi riwayat penyakit.

Hitam atau putih, tidak ada abu-abu

Kepada seorang dokter muda, saya “diinterogasi” riwayat penyakit yang pernah mengidap di tubuh. To the point saja. Langsung harus dijawab “ya” atau “tidak”.

Bagian screening riwayat sakit atau penyakit ini penting sekali. Agar dokter pemeriksa bisa memutuskan apakah si calon penerima vaksinasi itu masuk kategori “lolos” atau “tidak lolos”.

Kejujuran dan sikap terus-terang menjawab rentetan pertanyaan dokter pemeriksa ini sangat krusial.

Salah omong atau tidak “jujur” bisa berakibat fatal bagi kita -calon penerima vaksinasi itu. Antara lain dampak negatif –sejumlah indikasi yang muncul di tubuh- pasca vaksinasi.

Untunglah saya akhirnya dinyatakan laik dan lolos boleh vaksinasi. Padahal, hari-hari terakhir ini, tenggorokan saya baru “bermasalah” lantaran terkena radang.

Biasalah, begitu ada radang, rebusan daun sirih menjadi obat paling cespleng untuk penyakit karena pergantian musim ini.

Menunggu dengan sabar dan suasana nyaman tercipta. (Royani Lim)

Tidak sakit

Sakit menjadi pengalaman paling tidak mengenakkan bagi setiap orang. Juga bagi saya. Karena pernah operasi amandel, tulang bengkok di lobang hidung, gegar otak ringan, dan sejumlah penyakit lainnya yang intinya menuntut saya harus melakukan pola hidup sehat.

Padahal, saya sama sekali belum pernah merokok. Menjalani pola hidup sehari-hari dengan sangat teratur. Tapi tetap saja bakteri dan virus bisa datang menyergap tubuh kapan saja dan di mana saja, tanpa pernah kita tahu.

Untunglah saya mendapat dua dokter perempuan muda-muda yang menarik untuk diajak “berbincang-bincang” soal sejumlah indikasi fisik pasca vaksinasi.

Kedua dokter perempuan yang masih sangat muda itu lulusan FK Unika Atma Jaya. Satunya bernama Sarah; lainnya bernama Angelique –keduanya berasal dan tinggal tidak jauh dari lokasi vaksinasi. Masih sama-sama dari Serpong.

Pun pula, dr. Sarah adalah alumnus SMA Sancta Ursula BSD dan dr. Angelique lulus dari SMA Penabur di Gading Serpong.

Ngobrol agak sedikit panjang lebar dengan mereka tentu menyenangkan. Tambah ilmu tentang bagaimana mengatasi “kondisi darurat” pasca vaksinasi bila terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan.

Daftar gejala fisik pasca vaksinasi itu ternyata banyak. Muntah-muntah, diare, kejang-kejang, demam tinggi, sesak nafas –sekedar menyebut beberapa saja.

Lalu sejenak kemudian, mak bles jarum suntik dr. Angelique sudah memasukan dosis vaksin ke lengan kiri saya. “Tidak sakit kok,” kata dokter muda ini sembari melempar senyum manisnya.

Maka saya pun resmi sudah menerima vaksinasi. Lalu dibawa oleh petugas layanan ke sebuah ruang observasi. Disuruh menunggu di situ selama 30 menit.

Menunggu giliran di ruang observasi untuk ditanyai apakah muncul gejala-gejala fisik pasca vaksinasi. (Royani Lim)

Di ruangan itu sudah ada beberapa peserta lansia yang baru saja menerima vaksinasi. Mungkin, saya termasuk “pasien” yang paling muda di ruangan itu.

Lalu saya dipanggil oleh anak-anak muda dan harus menghadap mereka di sebuah meja. Diwawancarai apakah sekarang mengalami gejala-gejala fisik seperti yang tercantum dalam daftar.

Saya menjawab: tidak ada.

Nah, dengan demikian, saya pun boleh pulang.

Jadi, rupanya dengan terciptanya mekanisme prosedural vaksinasi yang rapi dan teratur, maka sebenarnya vaksinasi itu sebuah proses yang tidak njelimet dan juga tidak “menakutkan” seperti yang sering dibayangkan orang.

Apalagi, di setiap meja wawancara dan cross-check data itu, anak-anak muda –baik dokter maupun lainnya- selalu memberi atmosfir ramah dan murah senyum.

Total jenderal, alokasi waktu dari menunggu antrian sampai proses suntik vaksin itu makan waktu kurang lebih hanya dua jam saja. Itu pun masih dikasih oleh-oleh minuman bervitamin gratis oleh panitia.

Memang benar kata Bunda Teresa dari Kolkata, rasa damai itu selalu dimulai dari senyum.

Terimakasih Unika Atma Jaya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here