PANDEMI Covid-19 telah membuat hidup kita pontang-panting. Memporak-porandakan keseharian, aktivitas, meletupkan dampak sosial, psikologis, dan ekonomi secara massif.
Berikutnya, menyeruakkan pertanyaan moral. Perlukah berterus-terang declare, katakan diri atau keluarga terpapar Covid-19?
Kesaksian jujur
Perlu-tidaknya membuat deklarasi publik mengusik nurani, ketika Romo Teddy Aer MSF (alm) dengan “gagah berani” declare dirinya positif Covid-19.
“Umat yang telah melakukan kontak intensif dengan saya, sebaiknya segera periksa diri. Dengan rendah hati, saya mohon maaf telah membuat Anda direpotkan,” tulisnya sebelum meninggal awal Januari 2021.
Saya tersentak kagum membaca pernyataan jujur almarhum yang berani declare kondisi kesehatannya secara publik.
Ini bukan hanya sikap rendah hati. Juga soal tanggungjawab moral akan keselamatan orang lain.
Maksud dan tujuan mulia
Declare diungkapkan untuk maksud dan tujuan sangat mulia. Agar orang lain bisa langsung sigap bertindak preventif agar jangan sampai tertular.
Declare memotivasi orang bereaksi cepat-tepat agar rantai penyebaran putus. Saat bersamaan, orang wajib menjaga diri lebih sehat lagi.
Inilah tanggungjawab moral kepada sesama yang perlu dikumandangkan. Berani jujur bicara kondisi kesehatan pribadi sama artinya ikut menghindarkan sesama terdekat jangan sampai mengalami kejadian serupa.
Masalahnya, maukah kita declare seperti Romo Teddy?
Penulis mencatat, sikap jujur berterus-terang soal Covid-19 masih minim. Yang menyedihkan, praktik berani declare itu justru sangat sedikit dilakukan oleh mereka yang rajin meneriakkan sikap jujur dan berterus-terang: para pastor.
Ironis. Sangat sedikit, para klerus pimpinan tarekat bernyali mau declare. Ada kecenderungan, malah “menyembunyikan” kasus Covid-19 yang melanda komunitasnya agar tak terendus publik atau media.
Serba terbuka
Kita menggugat, untuk apa para klerus masih merasa perlu “menjaga” rahasia? Justru dengan berani declare, tarekat telah melakukan imperatif moral sangat mulia: mencegah sesama agar jangan sampai mengalami hal serupa.
Berharap kaum klerus bisa ringan jiwa mau declare? Rasanya masih jauh dari harapan. Yang berani declare patut ditiru dan dipuji karena punya implikasi moral-sosial positif.
Itulah yang penulis kagumi atas “keberanian” Sr. Yustiana CB selaku Provinsial Kongregasi Suster CB yang declare ada 55 orang positif Covid-19 di Biara Santa Anna, Yogyakarta, akhir Januari 2021.
Energi batin
Berani declare muncul cluster biara tentu butuh energi batin luar biasa. Ini wujud sikap rendah hati dan peduli pada hidup orang lain.
“Semakin terbuka berterus-terang, justru kita membantu pihak lain mengambil langkah antisipasi dan pada gilirannya banyak pihak malah berkenan membantu kita,” kata Sr. Yustinia CB.
Keyakinan itu menemukan validitas kebenarannya; banyak pihak datang membantu Biara St. Anna. Mengobati yang sakit, menyediakan obat-obatan dan vitamin agar para pasien cepat sembuh.
Peristiwa ini harus membuka matahati kaum klerus untuk makin terbuka dan jujur, kalau anggotanya terpapar Covid-19 dan berani declare. Tidak jelas mengapa habitus baru ini tidak bisa dengan cepat “mewabah” di kalangan kaum klerus.
Sekali waktu, declare terpaksa dilakukan. Tapi lebih karena keperluan delegasi kewenangan jabatan. Usai declare, komunikasi publik langsung putus.
Dulu René Descartes mengatakan: “Je pense, donc je suis” (Saya berpikir, maka saya ada), maka kini saatnya orang berani declare: “Saya kena Covid-19, segera selamatkanlah dirimu.”