KEADILAN sebagai ungkapan iman. Keadilan mampu membuat orang dapat menikmati haknya, kebebasannya. Bahkan dapat memberi atau pun menikmati kebaikan yang kita terima atau sebaliknya.
Keadilan dan kebaikan membutuhkan keberanian untuk keluar dari kepentingannya sendiri. Dari dirinya sendiri untuk menjumpai orang lain.
Kiranya itu dapat menjadi salah satu dimensi dari bacaan rohani hari ini.
Bacaan diambil dari Yes 42: 1-7; Yoh. 12: 1-11.
Penyelidikan Kanonik
Sepasang calon pengantin datang mau Penyelidikan Kanonik.
Ini adalah langkah formal Gereja Katolik di mana pastor melakukan investigasi terhadap kedua calon pengantin. Pastor menegaskan, apakah masih ada “halangan” yang membuat mereka tidak layak menikah.
Misalnya, salah satu calon sudah menikah sehingga masih terikat dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain, dll.
“Oke, kapan rencana pernikahan? Keduanya Katolik?”
“Iya Romo. Enam bulan lagi Romo.”
Namun, pas hari yang ditentukan, mereka malah tidak datang. Sepekan kemudian baru datang dan minta maaf.
Maka dibuatlah jadwal lagi. Pas hari H, memberi tahu tidak bisa datang lagi, karena di luar kota.
Giliran saya lupa
Jadwal ulang lagi. Ketika saatnya, kini saya yang lupa.
“Romo di mana. Kami sudah di pastoran.”
“Waduh… Sori ya… ini sedang di luar kota. Daerah Cikapundung.”
“Kami ke sanakah Romo atau menunggu?”
“Datanglah kemari dulu. Baru nanti Kanonik ya.”
Mereka menyanggupi mau datang ke lokasi.
Permukiman pemulung
Di belantara Sungai Cikapundung, saya mengenal beberapa orang pemulung. Mereka tinggal di pinggir bantaran sungai dalam gubuk-gubuk yang kecil yang terbuat dari kardus dengan atap plastik.
Tidak ada lampu, hanya “semprong”.
Bangunan liar. Tikus berkeliaran. Sang suami pemulung. Isteri mengambil apa pun yang hanyut dengan galah bambu yang ujungnya ada saringan.
Ada satu keluarga yang mempunyai bayi. Saya mengunjungi dan bicara bersama mereka.
Calon temanten datang. Saya menjumpainya di parkiran. Mereka kaget. Tidak menyangka saya berada di sana.
“Lagi apa Romo?”
“Ya, mengunjungi bayi. Lihat yuk.”
Baru pertama kali melihat apa itu kemiskinan
Terkesan langkah mereka ragu-ragu
“Romo mau ke mana? Serem ih, takut banyak tikus. Jijik Romo. Kami tunggu di sini aja; di mobil, ih…”
“Sebentar aja. Lihatlah si bayi. Lalu kita pulang dah langsung Kanonik.”
Sampai depan gubug? Ia lihat bayi itu dan orangtuanya. Saya perkenalkan mereja.
“Duh neng, cantik-cantik mau ke sini.”
Tersenyum kaku. Menunduk diam. Berdiam diri. Kadang seperti kaget, karena tikus lewat. Terputus kata.
Sesampai di pastoran mata merah, diusap dengan tisu.
Si pria berkata, “Romo saya kaget dan takut. Pertama kali saya melihat keadaan seperti itu. Mau kerjakah mereka?”
“Saya pernah tawarkan. Tetapi mungkin profesi sebagai pemulung telah menghidupi mereka sekian tahun.”
Yang calon pengantin puteri menyela, “Sedih Romo. Mereka butuh apa. Saya bisa bantu apa mo?”
Dan mereka berjanji akan memberikan sesuatu, tapi bersama saya
Sesuatu menyentuh batin mereka. Perjumpaan itu membuka mata mereka.
Mereka merasa terberkati. Kesadaran muncul. Di luar dirinya begitu banyak orang yang berjuang berusah payah untuk hidup; bertahan dalam setiap pergulatan dengan pertaruhan nyawa.
Beberapa kali, saya dengar mereka beberapa kali datang mengulurkan bantuan.
Hati yang terbuka, batin yang tersentuh membuka lembaran baru dalam hidup. Mereka belajar keluar dari batasan diri sendiri dan merasa lega bila dapat memberikan sesuatu.
Senang rasanya.
Mereka menemukan sukacita ketika berbagi.
Nabi Yesaya meneguhkan calon pengantin itu, “Ia membuka mata bagi yang buta”, ay 7.
Dari Injil pun kita bisa memperoleh dukungan, pembenaran inspirasi dan berkat seperti apa yang dilakukan Maria.
“Maria mengambil setengah Kati minyak narwastu murni yang mahal harganya lalu meminyaki kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya itu… biarlah dia melakukan hal ini mengingat hari penguburan ku.”, ay 3, 7.
Kebaikan itu selalu menyebar.
Hanya orang yang pernah mengalami kasih Allah, ia menemukan kegembiraan dalam berbagi.
Tuhan, ajariku melihat dengan mata hati-Mu dan bersimpuh di kaki-Mu. Amin. ???