Tak Tergantikan

0
222 views
Ilustrasi - Bapak dan puterinya (Almerja)

APA yang terjadi bila kematian adalah akhir segala sesuatu? Tidak ada kehidupan, setelah kematian seperti yang dipercaya oleh orang-orang Sanhendrin di dalam dunia alam pikir Yahudi saat itu.

Mungkin, orang berusaha keras sedapat mungkin tidak mati. Apa pun risiko dan mahal biayanya. Tetapi, dapatkah orang menghindari kematian?

Hari Jumat dalam Pekan Suci disebut Jumat Agung.

Karena pada hari itu terjadi sebuah peristiwa sangat agung, ilahi, suci dan menggetarkan hati.

Peristiwa yang menggerakkan untuk percaya. Pada Jumat Agung, kita mengenang kurban Kalvari; mengundang setiap dari kita untuk teguh berdiri di bawah kaki salib Yesus.

Bilur-bilur luka-Nya; sengsara dan kematian-Nya dikenang dan dihormati dengan mencium salib-Nya. (Di masa Covid-19 ini tidak dilakukan upacara penciuman salib).

Itulah cara Dia menebus kita. Cahaya cinta-Nya tidak dapat ditelan oleh kegelapan. Dan kita semakin menyadari bahwa manusia hanya bisa menjadi manusia bila berada dalam cinta

Bacaan diambil dari Yes 52: 13-53: 12; Ibr 4: 14-16, 5: 7-9; Yoh. 18: 1-19: 42.

Melin dan bapaknya

“Romo, kalau ada waktu bolehlah mengunjungi keluarga Pa Budin,” pinta seorang umat.

“Ada sesuatukah?”

“Kunjungi aja Mo, biar tahu sendiri. Apalagi sekarang anaknya lagi sakit, Mo.”

Saya pun lalu datang mengunjunginya. Puteri semata wayangnya, umur 14 tahun, sedang sakit demam.

“Saya Budin Mo. Melin anak saya. Beberapa hari ini kena demam, tapi sudah dibawa ke dokter.”

Saya diajak masuk ke kamarnya. Wajah agak pucat dan badan sedikit panas. Melin hanya diam dan menjawab beberapa pertanyaan dengan singkat.

Tiba-tiba saya berkata, “Nyonya di mana?”.

Budi mengajak saya ke ruang tamu. Dengan pelan, dia bercerita.

“Kami telah menikah selama 20 tahun Romo. Kendati dia gampang sakit, kami tetap membangun keluarga dalam kesadaran penuh. Ketika isteri saya hamil, dokter pernah bilang: Ada kelainan di dalam rahimnya, tetapi tidak mengganggu pertumbuhan sang calon bayi.”

“Saya menjaganya. Saya gembira akan hadirnya anak kami yang pertama. Saya sungguh mencintainya dan gembira ingin memeluk buah hati kami dokter.”

“Dok, selamatkan mereka berdua. Merekalah itu hidup saya; kekuatan saya;  kebahagiaan; bahkan segala-galanya.”

Proses kelahiran pun terjadi. Anak selamat, tetapi ibunya tidak.

“Saya tidak bisa bicara. Hanya menangis dan menangis. Proses pemakaman pun bagai mimpi dan tidak percaya. Ia pulang kepada Bapa dan meninggalkan si anak sebagai gantinya. Saya marah, sedih kecewa dan mengutuki hidup. Saya menjauh dari Tuhan,  menghindar dari-Nya dan berpaling.”

“Apakah si anak tahu?”

“Tahu Romo”

Lalu?

Kadang Melin memandang foto ibunya dan kadang berkata, “Aku persis Mami ya Pi?”.

“Aku tersenyum tapi hatiku pedih. Rasa ingin bertemu memancar kuat; rasa kangen yang luar biasa.”

“Tidakkah terbersit mau mencari pengganti?”

“Tidak, Romo.”

“Melin, setujukah?”.

Kadang diam menangis; kadang keberatan. Ia tidak ingin rasa sayang padanya berkurang.

“Maka saya memutuskan untuk membesarkan menemani anak kami saja, Mo.”

Aku pun terkagum.

“Begitu besarkah cinta? Betapa luhurkah rasa kasih sayang itu? Betulkah tak tergantikan?”

“Saya tak ingin menghapus kenangan indah bersama dia.”

“Kehadiran anak menjadi kekuatan untuk tetap menjadi seorang bapak yang baik bagi anakku, Melin.”

Yesaya berkata, “Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.” ay 5b.

Dalam Kitab Ibrani ditulis, “Ia adalah pokok keselamatan abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” ay 9.

“Adakah jalan yang membuka kepastian akan hidup abadi?”

Tuhan, sengsara dan Salib-Mu, tumpuan kepercayaanku. Amin.?⚘?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here