KEBENARAN dan keyakinan membawa orang pada sebuah keteguhan. Dan pada akhirnya membuahkan prinsip yang kuat.
Tidak gampang goyah saat menghadapi tantangan, ancaman.
Dengan keyakinan kuat, ia sadar menghadapi resiko kehidupan. Ia berani karena ada yang diandalkan.
Kepercayaan menerangi jalannya; menguatkan untuk tidak ragu dan tidak takut. Ia percaya dan yakin menempuh jalan pemulihan diri dihadapan Allah.
Kiranya inilah salah satu dimensi dari bacaan hari ini.
Bacaan diambil dari Kis 4: 13-21; Mrk. 16: 9-15.
Pengalaman Paskah membuat para murid memiliki daya keberanian mewartakan Yesus. Petrus dan Paulus dihadapkan pada sidang Mahkamah Agama. Mereka dimampukan atas nama dan kuasa Yesus membuat seorang lumpuh berjalan.
Yesus Paska menguatkan kesadaran mereka akan jaminan pasti akan kehidupan. Dalam nama dan kuasa-Nya manusia dipulihkan; disempurnakan dan dicintai.
Dengan kesadaran sepenuhnya, karena Yesus berkali-kali menampakkan Diri, hati mereka semakin terbuka akan Allah.
Mereka mendengarkan suara-Nya; menerima terang kuasa kasih-Nya; memampukan mereka berani keluar dari dirinya sendiri menjumpai orang lain.
Menjadi saksi kebenaran dan kebangkitan Yesus itulah perutusan mereka.
Pengakuan akan Yesus sebagai Tuhan dan juru selamat disebarkan. Pewartaan mereka menghasilkan kepercayaan; membawa orang pada jalan keselamatan dan kehidupan. Cfr Kis 2: 41, 46a-47.
Percaya saja
Tepat duduk di depan saya, seorang sahabat bersaksi.
“Pokok e awak e dewe kudu percoyo Gusti Yesus. Yesus membuat mukjizat. Ia membawa kegembiraan dan kepenuhan sukacita. Kita diselamatkan dalam nama Yesus. Kita hidup berkat darah-Nya. Yesus menguduskan; membuka jalan kehidupan kita. Percayalah.”
Saya mendengar dengan diam. Guru melihat ke arahnya. Ia diam sejenak, mencatat apa yang dikatakan oleh guru.
Dengan suara lirih, ia meneruskan. “Kita, orang-orang yang terberkati loh. Menjadi anak Tuhan. Setiap doa kita akan dikabulkan lo. Dia meringankan langkah kita. Karena Dia segala rintangan dipatahkan. Pokoke awak e dewe kudu percoyo, nyembah Dek nen ae.”
Sering ia nyanyi dengan lirih lagu-lagu rohani. Aku diam saja.
Tetapi, hati kecilku berkata, “Aku juga akan menjadi seorang romo, tapi tidak berkoar-koar seperti dia.”
“Koe dadi pendeta ae,” sela teman yang duduk di sampingnya.
“Hek…e…. aku emang jan arep dadi pendeto. Urip pe enak…cedak karo Gusti… uripe mulyo rak kekurangan.“
Setiap hari aku mendengar di sela-sela pelajaran. Tanpa gentar dan sungkan, ia terus bersaksi mewartakan Yesus.
Kadang ditegur guru. Diam sejenak…lalu melanjutkan bersaksi.
Kesannya, dia tidak takut; dengan penuh semangat mewartakan dan mengajak untuk percaya.
Dia tahu kami rata-rata sudah dibaptis. Ia pun mengundangku datang bersama dia ke gerejanya.
“Aku dah Katolik. Gerejaku di Tugu Muda,” hanya kata-kata itulah yang dapat kukatakan.
Sementara keberanian bersaksi dan gairah untuk mewartakan Yesus sedikit terhalangi oleh keengganan bahkan kesungkanan.
Tepatnya tidak bernyali.
Tapi dalam benakku, aku memang sudah ingin masuk seminari.
Tak ada ketakutan bahkan keraguan. Saya hanya ingin dan gembira. Tak ada jawaban lain kalaulah ditanya kenapa.
Dalam proses pendidikan dan pembentukan ke arah imamat, selalu teringat bacaan Injil hari ini. “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.” ay 15.
Tuhan, berkat pengutusanmu, jadikan aku pewarta tanpa henti walau sulit dimengerti. Amin.